Ekonomi Moneter Dalam Sejarah Ekonomi Islam
Agung
Eka Saifudin (2824133003)
e-mail:
agung.sayfuddin@gmail.com
Mei 2015
Abstrak
Perdagangan
merupakan dasar perekonomian di Jazirah Arab sebelum islam datang. Prasyarat
untuk melakukan transaksi adalah adanya alat pembayaran yang dapat dipercaya. Secara
alamiah transaksi yang berada di daerah Mesir atau Syam menggunakan dinar
sebagai alat tukar, sementara itu di Persia menggunakan dirham. Ekspansi yang
dilakukan Islam ke wilayah Persia dan
Romawi menyebabkan perputaran mata uang ini meningkat. Bahkan pada masa
pemerintahan Imam Ali, dinar dan dirham merupakan satu-satunya mata uang yang
digunakan. Kemudian inflasi adalah sebuah fenomena alam yang menimpa
kehidupan masyarakat di seluruh dunia sejak masa dahulu, hingga sekarang,
terjadi ketika harga-harga secara umum mengalami kenaikan dan berlangsung
terus-menerus.
Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang pada
zaman itu sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan antara satu mata uang
dan mata uang lainnya. lni diperlukan karena setiap mata uang mempunyai
kandungan logam mulia yang berlainan sehingga mempunyai nilai yang berbeda
pula.
A.
PENDAHULUAN
Manusia diciptakan oleh Sang Maha Kuasa
yaitu Allah disertai dengan hawa nafsu. Berbeda dengan malaikatyang diciptakan
tanpa hawa nafsu, yang mana mereka selalu taat pada perintah Allah. Namun
manusia diciptakan di bekali dengan akal pikiran. Disinilah kelebihan dari
manusia, dalam menggunakan akal pikiran untuk perbuatan yang tidak merugikan
orang lain dan mementingkan diri sendiri. Pada dasarnya manusia
adalah makhluk yang membutuhkan makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal.
Sejak pertama kali diciptakan manusia bekerja keras dalam kehidupan demi
memenuhi kebutuhan hidupnya, baik berupa barang maupun jasa. Kebutuhan manusia
yang semakin lama semakin meningkat dan banyak ragamnya mendorong manusia
sebagai makhluk sosial untuk saling tukar menukar hasil-hasil produksi mereka.
Pada
awalnya manusia tidak mengenal uang, tetapi mereka melakukan pertukaran barang
dengan barang sampai mereka mendapat petunjuk dari Allah untuk membuat uang.
Waktu demi waktu berlalu, manusia terus mencari bahan untuk membuat uang (pada
waktu itu emas dan perak). Akhibatnya daya beli meningkat dan disertai dengan
harga barang juga meningkat. Dari sinilah sistem ekonomi islam mulai muncul.
Tidak jauh beda dengan sistem ekonomi konvensional misalnya inflasi, percepatan
uang beredar, sumber dana perbankan dan lain-lain. Dalam tulisan ini akan
dibahas kompenen yang berpengaruh terhadap konsep ekonomi moneter, sebagai
berikut.
B. MATA UANG
Semakin
lama populasi manusia semakin meningkat, maka dibutuhkan langkah ke depan untuk
meningkatkan swasembada dalam memenuhi kebutuhan hidup. Karena itu, sistem
pertukaran barang dan jasa sangat diperlukan guna memudahkan proses pemenuhan
kebutuhan hidup tersebut. Barter merupakan sistem transaksi yang pertama kali
digunakan manusia. Namun dalam perjalannya terdapat beberapa kendala yaitu:[1]
1. Sulit menyamakan keinginan atas barang yang
ditukarkan.
2. Sulitnya menentukan kadar nilai barang yang
ditukarkan karena adanya perbedaan jenisnya.
3. Sulitnya menyimpan komoditas yang kita miliki sampai
kita menemukan orang yang menginginkan atas komoditas tersebut.
Dengan adanya kesulitan tersebut,
manusia terus melakukan pencarian untuk mendapatkan, media sebagai alat tukar
yang dapat diterima oleh semua pihak. Di awal sistem transaksi klasik, manusia
menggunakan hewan sebagai alat tukar. Akan tetapi, karena adanya kesulitan
dalam menyimpan dan ketersediannya terbatas, maka sistem tersebut ditinggalkan.
Selanjutnya digunakan batu sebagai alat tersebut, tetapi karena terjadinya
penumpukan batu sebagai alat tidak mempunyai nilai. Kemudian ditemukan bahan
tambang sebagai alat tukar, diantaranya besi atau tembaga.[2]
Al-Ghazali
(1058-1111M) mempunyai wawasan terhadap mengenai berbagai problema barter yang
dalam istilah modern disebut sebagai: [3]
1.
Kurang memiliki angka penyebut yang
sama (Lack of common denominator)
2.
Barang tidak dapat dibagi-bagi (Indivisibility
of goods)
3.
Keharusan adanya dua keinginan yang
sama (double coincidence of wants)
Pertukaran
barter menjadi tidak efisien karena adanya perbedaan karakteristik
barang-barang. Al-Ghazali menegaskan bahwa evolusi uang terjadi hanya karena
kesepakatan dan kebiasaan (konvensi) yakni tidak akan ada masyarakat tanpa
pertukaran barang dan tidak ada pertukaran yang efektif tanpa ekuivalensi, dan
ekuivalensi demikian hanya dapat ditentukan dengan tepat bila ada ukuran yang
sama. Uang tidak diinginkan karena uang itu sendiri. Uang baru akan memiliki
nilai jika digunakan dalam pertukaran. Ghazali menyatakan bahwa salah satu
tujuan emas dan perak adalah untuk dipergunakan sebagai uang (dinar dan
dirham). Beliau juga mengutuk mereka yang menimbun keping-kepingan uang atau
mengubahnya menjadi bentuk yang lain. [4]
Al maqrizi (1364-1442M)
menguraikan bahwa bangsa Arab jahiliyah menggunakan dinar emas dan dirham perak
sebagai mata uang mereka yang masing-masing diadopsi dari Romawi dan Persia
serta mempunyai bobot lebih berat dari pada di masa islam.
Setelah
islam datang, Rosulullah menetapkan berbagai praktik muamlah yang menggunakan
kedua mata uang tersebut, bahkan mengkaitkannya dengan hukum zakat harta.
Penggunaan kedua mata uang tersebut terus berlanjut tanpa perubahan sedikit pun
hingga tahun 18 H ketika khalifah Umar bin Khattab menambahkan lafaz-lafaz
islam pada kedua mata uang tersebut. Perubahan yang sangat signifikan
terjadi pada tahun 76 H. Khalifah Abdul Malik bin Marwan melakukan reformasi
moneter dengan mencetak dinar dan dirham islam. Penggunaan kedua mata uang ini
terus berlanjut sampai pemerintahan Al Mu’tashim, khalifah terakhir dinasti
Abbasiyah.[5]
Menurut Al Maqrizi,
kekacauan mulai terlihat ketika pengaruh Mamluk semakin kuat di kalangan
istana, termasuk kebijakan percetakan mata uang dirham
campuran. Pencetakan fulus dimulai pada masa pemerintahan Dinasti
Ayyubiyah Sultan Muhammad Al Kamil ibn Al Adil Al Ayyubi, sebagai alat tukar
terhadap barang-barang yang tidak signifikan dengan rasio 48 fulus untuk
setiap dirhamnya. Pasca pemerintahan
sultan Al Kamil, pencetakan mata uang tersebut terus berlanjut hinga pejabat di
tingkat provinsi terpengaruh laba yang besar dari aktivitas ini. Kebijakan sepihak mulai diterapkan dengan meningkatkan
volume percetakan dan menetapkan rasio 24 fulus per dirham. Akibatnya, rakyat
mengalami banyak kerugian karena harga barang-barang yang dulu berharga ½
dirham menjadi 1 dirham. Keadaan ini semkain memburuk ketika aktivitas
percetakan fulus meluas pada masa pemerintahan Sultan Al Adil Kitbugha dan
Sultan Al Zahir Barquq yang mengakibatkan penurunan nilai mata uang dan
kelangkaan barang-barang.[6]
Menurut pandangan Al Maqrizi, mata uang yang dapat
diterima hanya mata uang yang terdiri dari emas dan perak, selain itu menurutnya tidak layak disebut mata uang.
Di lain pihak menurut pandangan al Maqrizi uang bukan satu-satunya factor yang
mempengaruhi kenaikan harga-harga. Menurutnya penggunaan mata uang emas/perak
tidak serta merta menghilangkan inflasi dalam perekonomian karena inflasi dapat
juga terjadi karena factor alam dan tindakan sewenang-wenang dari penguasa.
Pada
mulanya mata uang yang dipakai bukan berasal dari kawasan dunia Islam, sebab
ketika kaum muslim baru melebarkan sayapnya mereka belum lagi mengenal industri
mata uang. Karenanya, di kawasan-kawasan baru yang mereka kuasai, yaitu mata
uang Byzantium, Persia dan Yaman kuno. Ketika pulang Syam, mereka membawa dinar
emas Byzantium. Dan Iraq medirham Persia. Kadang-kadang membawa dirham Himyar
Yaman. Tidak aneh bila mata uang yang dipakai dunia Islam satu bergambar pedang
salib, sedangkan di sisi yang satunya bergambar rumah persembahan api.[7]
Mata uang yang bercorak
benar-benar Islam barulah dibuat pada masa khalifah Abdulah Malik bin Marwan.
Pembuatan uang masa itu didasarkan pemikiran bahwa mata uang selain memiliki
nilai ekonomi juga sebagai pernyataan kedaulatan dinasti Islam. Di samping itu,
mata uang juga berfungsi sebagai sarana pengumuman keabsahan pemerintahan pada
waktu itu yang namanya terpateri pada mata uang tersebut Khalifah Abdulah Malik
bin Marwan pun memerintahkan Arabisasi mata uang sebagian dari politik
Arabisasi aparatur negara masa pernerintahannya.[8] Mata
uang yang dibuat di dunia waktu itu disebut sikkah Menurut Ibn Khaldun kosa
kata sikka berasal dari cincin besi
bahan mata uang, yang dalam pembuatannya dipukul dengan palu. Kosa kata sikkah selain dikenakan terhadap mata
uang juga dikenakan terhadap gedung tempat pembuatan mata uang. Karenanya
gedung tersebut juga disebut dar as-sikkah. Darul as-sikkah tersebar diberbagai pelosok wilayah Islam, pada
waktu itu, sehingga darul as-sikkah
dikenal sampai di luar kawasan Islam.[9]
Dalam al-Quran juga
telah dijelaskan tentang bentuk uang di surat Al-Imran ayat 75 terkait dengan
uang Dinar dan surat Yusuf ayat 20 tentang uang dirham.
75.
di antara ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta
yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika
kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali
jika kamu selalu menagihnya. yang demikian itu lantaran mereka mengatakan:
"tidak ada dosa bagi Kami terhadap orang-orang ummi. mereka berkata Dusta
terhadap Allah, Padahal mereka mengetahui.[10]
20.
dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, Yaitu beberapa dirham saja,
dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.[11]
Menurut Muhammad Rawas
Qal’ah Ji, syarat minimal sesuatu dianggap sebagai uang adalah substansi benda
tersebut tidak bisa dimanfaatkan secara langsung melainkan hanya sebagai media
untuk memperoleh manfaat, dan dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki otoritas
untuk menerbitkan uang seperti Baitul Maal atau bank sentral. Namun pada
masa pemerintahan Bani Umayyah, pembuatan uang (dinar atau dirham) bukan
merupakan otoritas pihak tertentu dalam pemerintahan. Dalam sejarah islam,
bentuk uang yang digunakan pada umumnya adalah full bodied money atau
uang intrinsik, dan nilai instrinsiknya sama dengan nilai ekstrinsiknya. Jenis
yang umum dinar emas seberat 4,25 gram dan dirham perak seberat 2,975 gram.[12]
Gambar
1.1: Spesifikasi Uang Dinar dan Dirham
Sumber: https://helmysyamza.files.wordpress.com/
Di dunia Islam mengenal
dua jenis mata uang utama, yaitu mata uang dinar
emas, diambil dari kosa kata denarius,
dan dirham perak yaitu berasal dari
kosa kata drachmos. Selain kedua jenis tersebut, terdapat mata uang pecahan
atau disebut maksur seperti qitha dan
mitqal. Pada abad keempat hijrah
dunia Islam mengalami krisis mata uang emas dan perak, maka dibuatlah dari
tembaga atau campuran tembaga dengan perak yang disebut fulus (diambil dari bahasa latin follis, yaitu mata uang tembaga
tipis. Mata uang tersebut juga disebut al-qarathis
karena mirip dengan lembaran kertas.[13]
Nilai mata uang ditetapkan oleh
khalifah. Memang penetapan itu sendiri tidak lepas dari pertimbangan nilai riil
di masyarakat dan naik turunnya nilai dari waktu ke waktu. Perlu dikemukakan
mata uang pada waktu itu ditimbang, karena untuk mencegah penipuan, mereka
lebih suka menggunakan standar timbangan. Khusus yang telah mereka miliki,
yaitu; auqiyah, nasy, nuwah, mitsqal, dirham, daniq, qirath dan habbah. Mitsqal merupakan
berat pokok yang sudah diketahui umum yaitu setara dengan 22 qirath kurang satu habbah. Di kalangan mereka berat 10 dirham sama dengan 7 mitsqal. Berat timbangan sebesar 4, 25
gram emas sama dengan 1 dinar, yaitu sama dengan 1 mitsqal.[14]
TABEL
1.1: Konversi Berat Dinar
Standar Berat Syar'i
|
Perhitungan
|
Berat Emas (gram)
|
Keterangan
|
1 mitsqal (1 dinar)
|
-
|
4.25
|
Standar berat dinar
|
1 daniq emas
|
1/8 x 4.25 gr emas
|
0.53125
|
1 mitsqal = 8 daniq
|
1 qirath
|
1/20 x 4.25 gr emas
|
0.2125
|
1 mitsqal = 20 qirath
|
1 habbah syair
|
1/72 x 4.25 gr emas
|
0.059
|
1 mitsqal = 72 habbah
syair
|
1 dirham
|
7/10 x 4.25 gr emas
|
2.975
|
1 dirham = 7/10 mitsqal
|
10 dirham
|
10 x 2.975 gr perak
|
29.75
|
10 dirham = 7 mitsqal
|
1 nasy
|
20 x 2.975 gr perak
|
59.5
|
1 nasy = 20 dirham
|
1 nuwah gr perak
|
5 x 2.975 gr perak
|
14.875
|
1 dirham = 8 daniq
|
1 daniq perak
|
1/6 x 2.975 gr perak
|
0.495
|
1 dieham = 6 daniq
|
1 auqiyah
|
40 x 2.975 gr perak
|
119
|
1 auqiyah = 40 dirham
|
Catatan : - Habbah sya'ir = biji gandum
- 10 dirham = 7 mitsqal
Setelah muncul mata
uang fulus mata uang mulai dihitung.
Setelah banyak mata uang bercap khalifah muncullah kelompok orang-orang
memberikan jasa dalam mempermudah transaksi keuangan dan penukaran mata uang
yang disebut sebagai para penukar uang (as-shayyrifah).
Di samping itu muncul istilah keuangan yang menunjukkan bahwa tempat penukaran
berubah fungsinya menjadi bank. Istilah tersebut antara lain shaftajah, shakk, khath, hawwalah.[15]
Bobot mata uang dirham relatif stabil pada periode-periode awal
pemerintahan Islam Untuk melindungi kepercayaan, beberapa denomisasi dirham
dikeluarkan. Tapi, karena fiuktuasi harga perak, nilai tukar antara dinar dan
dirham juga terfluktuasi.
Perbandingan antara dua
mata uang logam adalah 10 pada zaman Rasulullah saw dan tetap stabil pada level
itu selama periode keempat khalifah pertama (11-41/632-661). Namun stabilitas
ini tidak bisa berlangsung terus menerus. Dua logam mulia itu rnenghadapi berbagai
tekanan dari permintaan, maupun dari penawaran sehingga menimbulkan
ketidakstabilan harga relatifnya. Pada paro kedua periode Ummayah
(41-132/661-750), perbandingan harga relatif sekitar 12, sementara pada periode
Abbasiyah (132-656750-1258) mencapai 15 atau kurang. Rasio itu terus mengalami
fluktuasi ada berkali-kati mengalami kemerosotan sampai pada tingkat 20, 30,
dan bahkan 50.[16]
Fluktuasi ini tidak disebabkan penurunan
nilai mata uang, tetapi lebih disebabkan kemerosotan harga relatif perak
terhadap emas. Ketidakstabilan ini membuat mata uang dari logam buruk keluar
dari sirkulasi mata uang logam baik, suatu fenornena abad ke-16 yang dikenal
dengan Gresham's Law Penerimaan yang begitu luas terhadap mata uang Arab dalam
perdagangan antara wilayah-wilayah muslim dengan dunia lain pada masa itu
benar-benar berlaku dengan ditemukannya sejumlah mata uang Arab di Rusia, Eropa
dan Timur Jauh.
C. PENAWARAN DAN PERMINTAAN UANG
Pada bagian ini akan di bicarakan
tentang mata uang. Yang di maksud adalah Dinar dan Dirham yang merupakan satuan
moneter di Kerajaan Roma dan Persia.
Pada masa pemerintahan Nabi
Muhammad di Madinah, kedua mata uang ini di impor. Dinar dari Roma, dirham dari
Persia. Besarnya volume impor dinar dan dirham dan juga barang-barang komoditas
yang di ekspor kedua Negara tersebut dan ke wilayah-wilayah yang berada di
bawah kekuasaannya. Biasanya, jika permintaan uang (money demand)
pada pasar internal meningkat , maka
uanglah yang di impor. Sebaliknya, bila permintaan uang turun maka komoditas
lah yang di impor. Hal yang menarik disini adalah tidak adanya pembatasan
terhadap impor uang. Karena permintaan internal
dari Hijaz terhadap dinar dan dirham sangat kecil sehingga tidak
berpengaruh terhadap penawaran (supply) dan permintaan (demand)
dalam perekonomian Roma dan Persia. Sekalipun demikian, selama pemerintahan
nabi uang tidak di penuhi dari keuangan Negara semata melainkan dari hasil
perdagangan dengan luar negeri.[17]
Setelah Persia di taklukkan, percetakan
uang logam di wilayah itu terus-menerus beroperasi. Sementara itu, kaum
muslimin secara perlahan-lahan mulai di perkenalkan pada tekhnologi percetakan
uang, sehingga pada masa kepemimpinan Imam Ali kaum muslimin secara resmi
mencetak uang sendiri dengan menggunakan nama pemerintah Islam. Beberapa ahli
sejarah menduga bahwa percetakan uang
bahkan sudah dilaksanakan sejak masa kepemimpinan Umar atau Usman,
tetapi bukti-bukti yang ada memperlihatkan bahwa pembuatan uang di mulai pada
masa kepemimpinan Imam Ali. Ketika mata uang masih di impor, kaum muslimin
hanya mengontrol kualitas uang impor itu, namun setelah mencetak sendiri, kaum
muslimin secara langsung mengawasi penawaran uang yang ada.[18]
Tentu saja periode kepemimpinan Imam Ali
sangat singkat karena beliau mati syahid setelah empat tahun menjadi khalifah.
Ketegangan politik selama masa khulafaur Rasyidin cukup tinggi, sehingga uang
yang di cetak oleh keuangan muslim tidak dapat beredar luas. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa penawaran uang selama masa itu sama seperti pada masa
Nabi Muhammad. Tinggi rendahnya permintaan uang bergantung pada frekuensi
transaksi perdagangan dan jasa. Sementara itu situasi yang kurang kondusif.
Permusuhan kaum Qurays terhadap kaum muslimin, dan keterlibatan kaum muslimin
pada sedikitnya 26 gazwa dan 32 sariya. Yang berarti rata-rata
enam kali perang dalam setiap tahunnya menimbulkan precautionary demand
(permintaan uang untuk pencegahan) untuk berjaga-jaga terhadap kebutuhan yang
tidak diduga dan tidak di ketahui sebelumnya.
Sebagai akibatnya, permintaan terhadap
uang selama periode ini umumnya bersifat permintaan transaksi dan
pencegahan.Selain dari yang sudah di sebutkan di atas, tidak ada lagi motif
penggunaan uang. Karena kanz (penimbunan uang) dilarang. Tidak ada
seorang pun yang berhak menyimpan uangnya dengan tujuan spekulasi pada nilai
tukar.[19]
Hal yang dapat menyebabkan fluktulasi pada nilai uang dalam jangka pendek
adalah aktifitas-aktifitas yang di larang dan di nyatakan illegal oleh pembuat
syari’at (seperti kanz dan talaqir rukban). Mengubah uang menjadi
asset lain, terutama asset financial juga dapat menyebabkan ketidakstabilan
padapasar uang.Transaksi ini dapat menimbulkan pengaruh, pertama, Bila
dilakukan dalam volume besar, dan kedua, adanya pasar asset financial yang
aktif.
Sepanjang pengamatan kami, tidak ada
pasar semacam ini pada awal periode islam. Sebabnya, pertama, volume kredit
bila di bandingkan dengan uang tunai relative tidak signifikan. Kedua,
penggunaan jenis instrumen financial dalam bentuk konsep ataunota perjanjian utang dan dengan potongan harga, juga
relative tudak signifikan bila dibandingkan dengan volume penggunaan dinar dan
dirham dalam peredaran uang. Dengan demikian dapat dikatakan, pembelian dan
penjualan instrument penjualan bukanlah transaksi yang umum pada waktu itu.
Bukti-bukti sejarah mengindikasikan transaksi ini kurang popular bahkan sebelum
islam datang. Akibatnya, pasar uang berada
dalam keseimbangan pada jangka panjang dan nilai uang tetap stabil.[20]
D.
INFLASI
Dengan
mengemukakan berbagai fakta bencana kelaparan yang terjadi di Mesir, Al-Maqrizi
menyatakan bahwa peristiwa inflasi adalah sebuah fenomena alam yang menimpa
kehidupan masyarakat di seluruh dunia sejak masa dahulu, hingga sekarang.
Inflasi menurutnya terjadi ketika harga-harga secara umum mengalami kenaikan
dan berlangsung terus-menerus. Pada saat ini, persediaan barang dan jasa
mengalami kelangkaan dan konsumen, karena sangat membutuhkannya, harus
mengeluarkan lebih banyak uang untuk sejumlah barang dan jasa yang sama. Al-Maqrizi membahas permasalahan inflasi secara
lebih detail. Ia mengklasifikasikan inflasi berdasarkan faktor penyebabnya ke
dalam dua hal, yakni: (a) Inflasi yang disebabkan oleh faktor alamiah (Natural
Inflation), dan (b) Inflasi akibat kesalahan manusia (Human Error
Inflation).[21]
a. Inflasi Alamiah
(Natural Inflation)
Inflasi ini disebabkan oleh berbagai faktor
natural yang sulit dihindari manusia. Menurut Al-Maqrizi, saat suatu bencana
alam terjadi, berbagai bahan makanan dan hasil bumi lainnya mengalami gagal
panen, sehingga persediaan barang-barang tersebut mengalami penurunan yang sangat
drastis dan terjadi kelangkaan. Di lain pihak, karena sifatnya yang sangat
signifikan dalam kehidupan, permintaan terhadap berbagai barang itu mengalami
peningkatan. Harga-harga kemudian membumbung tinggi, jauh melebihi daya beli
masyarakat. Hal ini sangat berimplikasi terhadap kenaikan harga berbagai barang
dan jasa lainnya. Akibatnya, transaksi ekonomi mengalami kemacetan, bahkan
berhenti sama sekali, yang pada akhirnya menimbulkan bencana kelaparan, wabah
penyakit, dan kematian di kalangan masyarakat. Keadaan yang semakin memburuk
tersebut memaksa rakyat untuk menekan pemerintah agar segera memperhatikan
keadaan mereka.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa sekalipun suatu bencana telah berlalu,
kenaikan harga-harga tetap berlangsung. Hal ini merupakan implikasi dari
bencana alam sebelumnya yang mengakibatkan aktivitas ekonomi, terutama di
sektor produksi, mengalami kemacetan. Saat situasi telah normal, persediaan
barang-barang yang signifikan seperti benih padi, tetap tidak beranjak naik,
bahkan tetap langka. Sedangkan permintaan terhadapnya meningkat tajam. Akibatnya,
harga barang-barang ini mengalami kenaikan yang kemudian diikuti oleh kenaikan
harga berbagai jenis barang dan jasa lainnya, termasuk upah dan gaji para
pekerja.
Jika memakai analisis
konvensional, yaitu persamaan identitas (teori kuantitas uang dari Irving
Fisher), maka:[22]
MV = PT = Y
Dimana:
M
= jumlah uang yang beredar
V = perputaran uang dari satu tangan ke tangan
dalam satu periode
P
= tingkat harga
T = jumlah barang dan jasa
Y = tingkat pendapatan nasional
maka
Natural Inflation dapat diartikan sebagai :[23]
1)
Gangguan terhadap jumlah barang dan jasa
yang diproduksi dalam suatu perekonomian (T). Misalnya T↓ sedangkan M dan V
tetap, maka konsekuensinya P↑. Maksudnya, jika barang dan jasa yang dihasilkan
sedikit tetapi uang yang ada di masyarakat banyak, maka untuk memperoleh barang
dan jasa tersebut masyarakat harus membayar dengan harga lebih karena
keterbatasan barang dan jasa tersebut.
2)
Naiknya daya beli masyarakat secara
riil. Misalnya nilai ekspor lebih besar dari pada nilai impor, sehingga secara
netto terjadi impor uang yang mengakibatkan M↓ sehingga jika V dan T tetap maka
P↑.
Lebih jauh, jika
dianalisis dengan persamaan :
AD = AS
dimana; Y = pendapatan nasional
C =
konsumsi
I =
investasi
G = pengeluaran pemerintah
(X-M) = net export
maka
:[24]
Y = C + I + G + (X – M)
Natural inflation akan
dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya, yaitu :
1)
Akibat uang yang masuk dari luar negeri
terlalu banyak, dimana ekspor (X↑) sedangkan impor (M↓) sehingga net export
nilainya sangat besar, maka mengakibatkan naiknya Permintaan Agregatif (AD↑)
Gambar
1.2: Demand Pull Inflation
Sumber: Adiwarman A. Karim, Ekonomi
MakroIslam
Misalnya :
Pada masa khalifah Umar ibn Khattab, kafilah
pedagang yang menjual barangnya di luar negeri membeli barang-barang dari luar
negeri lebih sedikit nilainya daripada nilai barang-barang yang mereka jual,
sehingga mereka mendapat keuntungan. Keuntungan yang berupa kelebihan uang
tersebut dibawa masuk ke Madinah sehingga pendapatan dan daya beli masyarakat
akan naik (AD↑). Naiknya Permintaan Agregat akan membuat kurva AD bergeser ke
kanan dan akan mengakibatkan naiknya tingkat harga secara keseluruhan (P↑).
Kemudian, yang dilakukan oleh Umar ibn Khattab dalam mengatasi masalah tersebut
adalah beliau melarang penduduk Madinah untuk membeli barang-barang selama 2
hari berturut-turut. Akibatnya, adalah turunnya Permintaan Agregat (AD↓) dan
tingkat harga menjadi normal.
2)
Akibat dari turunnya tingkat produksi
(AS↓) karena terjadinya panceklik, perang, ataupun embargo dan boycott.
Sumber: Adiwarman A. Karim, Ekonomi
MakroIslam
Misalnya :
Pada saat pemerintahan Umar ibn Khattab pernah
terjadi masa panceklik yang mengakibatkan kelangkaan gandum, diibaratkan pada
gravik sebagai kurva AS yang bergeser ke kiri (AS↓) yang mengakibatkan naiknya
harga-harga (P↑). Yang dilakukan oleh Umar ibn Khattab dalam mengatasi
permasalahn ini, beliau melakukan impor gandum dari Mesir, sehingga Penawaran
Agregat (AS) barang di pasar kembali naik (AS↑) yang kemudian berdampak pada
penurunan harga-harga (P↓).
Contoh kondisi kekinian:
WONOGIRI -- Kenaikan harga beras mulai pertengahan
Fabruari disinyalir dipicu oleh musim paceklik. Istilah ini dikenal masyarakat
Jawa sejak dulu yang mengisyaratkan masa ekonomi sulit saat puncak musim hujan
hingga mahalnya harga pangan. Kepala Dinas Perdagangan Perindustrian Koperasi
dan UMKM (Disperindagkop UMKM) Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Guruh Santoso
menyebut,saat ini sedang masa paceklik. "Wajar jika harga mahal karena
menipisnya stok barang," katanya, Selasa (24/2). Dulu, lanjut Guruh, musim
paceklik terjadi kalau sudah memasuki puncak musim hujan. Petani menunggu masa
panen sekitar satu-dua bulan. Saat itu, lumbung cadangan pangan mulai menipis. Dalam
kondisi seperti ini, hukum ekonomi berlaku. Stok barang sedikit dan permintaan
banyak. Ini jelas memicu harga barang melambung.[25]
b. Inflasi Akibat Kesalahan Manusia (Human Error Inflation)
Selain faktor alam, Al-Maqrizi menyatakan bahwa inflasi dapat terjadi
akibat kesalahan manusia. Ia menganalisis, ada tiga hal utama yang baik secara
sendiri-sendiri atau pun bersama-sama menjadi penyebab terjadinya inflasi.
Ketiga hal tersebut adalah: (1) Korupsi dan Administrasi yang Buruk, (2) Pajak
yang Berlebihan, dan (3) Peningkatan Sirkulasi Mata Uang Fulus.[26]
a) Korupsi dan Administrasi yang Buruk
(Corruption and Bad Administrations)
Menurut Al Maqrizi pengangkatan pejabat pemerintahan
yang berdasarkan pemberian suap, dan bukan kapabilitas akan menempatkan
orang-orang yang tidak mempunyai kredibilitas pada berbagai jabatan penting dan
terhormat baik di kalangan legislative, yudikatif, maupun eksekutif. Mereka rela menggadaikan seluruh hartanya sebagai
kompensasi untuk meraih jabatan.[27]
Akibatnya,
ketika mereka
mendapatkan jabatan yang tinggi, mereka mulai menyalah
gunakan kekuasaan untuk
meraih kepentingan pribadi, baik untuk memenuhi kelangsungan
hidupnya maupun
nafsu untuk memiliki kemewahan
hidup. Pada akhirnya masyarakat
umum yang menjadi korbannya.
Misalnya contoh kasus korupsi Gayus Tabunan kemaren,
Jakarta - Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) telah berhasil melakukan
lelang eksekusi barang rampasan dalam perkara tindak pidana korupsi Gayus
Halomoan Partahanan Tambunan. Dari penjualan aset Gayus menghasilkan uang
sebesar Rp 7,774 Miliar. Dilansir dari keterangan tertulis DJKN, Rabu
(24/12/2014), barang yang dilelang berupa 31 keping logam mulia yang terjual Rp
1,41 miliar, dan sebidang tanah serta bangunan yang laku terjual Rp 6,364
miliar. "Tanah dan bangunan di atasnya ditambah sarana dan prasarana
dengan luas tanah 250 m2, luas bangunan 223 m2 yang terletak di Perumahan
Gading Park View, Blok ZE-6 No,1 Kelurahan Sunter Agung, Kecamatan Kelapa
Gaging, Jakarta Utara," kata Direktur Hukum dan Humas DJKN Tavianto
Noegroho.
Lelang yang dilaksanakan di aula KPKNL Jakarta TIV
Jalan Prapatan No.10, Jakarta Pusat dengan cara penawaran lelang secara lisan
dengan harga semakin meningkat. Kedua aset milik Gayus ini dilelang atas
permintaan Kejaksaan Agung RI berdasarkan putusan pengadilan Negergi Jakarta
Pusat No.34/Pid.B/TPK/2011/PN.Jkt.Pst tanggal 1 Maret 2012 Jo. Putusan
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No.22/Pid/TPK/2012/PT.DKI tanggal 1 Maret 2012 Jo
Putusan Mahkamah Agung Nomor 53 K/Pid.Sus/2013 tanggal 26 Maret 2013 atas nama
Gayus Halomoan Partahanan Tambunan.[28]
Atau misalnya juga kasus korupsi yang ada di suatu
perusahaan. Jika kita merujuk pada persamaan MV = PT, maka korupsi akan
mengganggu tingkat harga (P↑) karena para produsen akan menaikkan harga jual
produksinya untuk menutupi biaya-biaya yang telah mereka keluarkan. Harga yang
terjadi terdistorsi oleh komponen yang seharusnya tidak ada sehingga akan
mengakibatkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Pada akhirnya, akan
terjadi inefisiensi alokasi sumber daya yang akan merugikan masyarakat secara
keseluruhan. Jika merujuk pada persamaan AS-AD maka akan terlihat bahwa korupsi
dan administrasi pemerintahan yang buruk akan menyebabkan kontraksi pada kurva
Penawaran Agregatif (AS↓).[29]
b) Pajak yang Berlebihan
(Excessive
Tax)
Menurut al Maqrizi, akibat dominasi para pejabat
bermental korup dalam suatu pemerintahan, pengeluaran negara mengalami
peningkatan secara drastis. Sebagai kompensasinya mereka menerapkan system
perpajakan yang menindas rakyat dengan memberlakukan berbagai pajak baru serta menaikkan tingkat pajak yang telah
ada. Hal ini dapat menaikkan tingkat harga-harga.[30]
Efek
yang ditimbulkan oleh pajak yang berlebihan pada perekonomian hampir sama
dengan efek yang ditimbulkan oleh korupsi dan administrasi yang buruk yaitu
kontraksi pada kurva Penawaran Agregatif (AS↓).[31]
c) Peningkatan Sirkulasi Mata Uang Fulus
(Excessive seignorage)
Seignorage artinya keuntungan dari percetakan koin yang didapat oleh
percetakannya dimana biasanya percetakan tersebut dimiliki oleh pihak penguasa
atau kerajaan.[32] Ketika terjadi defisit
anggaran sebagai akibat dari perilaku buruk para pejabat yang menghabiskan uang
negara untuk berbagai kepentingan pribadi dan kelompoknya, pemerintah melakukan
pencetakan mata uang fulus secara besar-besaran. Menurut Al-Maqrizi, kegiatan
tersebut semakin meluas pada saat ambisi pemerintah untuk memperoleh keuntungan
yang sangat besar dari pencetakan mata uang yang tidak membutuhkan biaya
produksi tinggi ini tidak terkendali. Pemerintah mengeluarkan maklumat yang
memaksa rakyat menggunakan mata uang itu. Jumlah fulus yang dimiliki masyarakat
semakin besar dan sirkulasinya mengalami peningkatan yang sangat tajam.
Al-Maqrizi mengemukakan bahwa kebijakan pemerintah tersebut berimplikasi
terhadap keberadaan mata uang lainnya. Keadaan ini menempatkan fulus sebagai
standar nilai bagi sebagian besar barang dan jasa. Akibatnya, uang tidak lagi
bernilai dan harga-harga membumbung tinggi yang pada akhirnya menimbulkan
kelangkaan bahan makanan.[33]
Di lain pihak, ekonom Islam Ibn al-Maqrizi
berpendapat bahwa pencetakan uang yang berlebihan jelas-jelas akan
mengakibatkan naiknya tingkat harga (P↑) secara keseluruhan (inflasi). Menurut Al Maqrizi kenaikan harga-harga komoditas
adalah kenaikan dalam jumlah bentuk uang (fulus) atau nominal, sedangkan jika
diukur dengan emas (dinar) maka harga-harga tersebut jarang sekali mengalami
kenaikan. Ibn al-Maqrizi berpendapat bahwa uang sebaiknya
dicetak hanya pada tingkat minimal yang dibutuhkan untuk bertransaksi
(jual-beli) dan dalam pecahan yang mempunyai nilai nominal kecil (supaya tidak
ditumpuk atau hoarding).[34]
E.
BANK
Aransemen profit-sharing
(bagi-hasil) seperti mudharabah dan musyarakah hampir pasti sudah ada sebelum
datangnya Islam. Di Timur Tengah pra-Islam, kemitraan-kemitraan bisnis yang
berdasarkan atas konsep mudharabah berjalan berdampingan dengan konsep pinjaman
sistem bunga sebagai cara untuk membiayai berbagai aktivitas ekonomi (Crone,
1987; Kazarian; 1991; Cizaka, 1995). Setelah kedatangan Islam, transaksi
keuangan berbasis bunga pun dilarang dan semua dana harus disalurkan atas dasar
profit-sharing. Teknik kemitraan bisnis, dengan menggunakan prinsip mudharabah,
dipraktikkan sendiri oleh Nabi Muhammad saw bertindak sebagai mudharib (wakil
atau pihak yang dimodali) untuk istrinya, Khadijah. Sementara Khalifah yang
kedua, Umar bin Khattab, menginvestasikan uang anak yatim pada para saudagar
yang berdagang di jalur perdagangan antara Madinah dan Irak.[35]
Praktek perbankan dalam
sejarah Islam telah dikenal sejak zaman Abbasiyah, walaupun masih dilakukan
secara perorangan. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis
mata uang pada zaman itu sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan antara
satu mata uang dan mata uang lainnya. lni diperlukan karena setiap mata uang
mempunyai kandungan logam mulia yang berlainan sehingga mempunyai nilai yang
berbeda pula. Orang yang mempunyai keahlian khusus ini disebut naqid, sarraf, dan jihbiz.
Istilah jihbiz mulai dikenal sejak
zaman Muawiyah (661-680M) yang sebenamya dipinjam dari bahasa Persia, hahbad
atau hihbud. Pada masa pemerintahan Sasanid, istilah ini dipergunakan untuk
orang/yang ditugas-kan mengumpulkan pajak tanah.[36]
Peranan bankir pada zaman Abbasiyah
mulai populer pada pemerintahan Muqtadir (908-932M). Saat itu, hampir setiap
wazir mempunyai bankir sendiri. Misalnya, lbnu Furat menunjuk Harun ibnu Inuan
dan Joseph ibnu Wahab sebagai bankirnya. Lalu Ibnu Abi lsa menunjuk Ali ibn
1sa, Hamid ibnu Abbas menunjuk Ibrahim ibnu Yuhanna, bahkan Abdullah al-Baridi
mempunyai tiga orang bankir sekaligus: dua Yahudi dan satu Kristen. Kemajuan
praktek perbankan pada zaman itu ditandai dengan beredarnya sakk (cek)
dengan luas sebagai media pembayaran. Bahkan, peranan bankir telah meliputi
tiga aspek, yakni menerima deposit, menyalurkannya, dan mentransfer uang.[37]
F.
PENUTUP
Pada sejarah singkat diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa sistem moneter pada zaman Rasulullah menggunakan bimetallic
standart yaitu dengan kombinasi emas dan perak (uang dinar dan uang dirham)
sebagai alat pembayaran. Di masa Imam Ali mata uang masih di impor, kaum muslimin hanya
mengontrol kualitas uang impor itu, namun setelah mencetak sendiri, kaum muslimin
secara langsung mengawasi penawaran uang yang ada. Tinggi rendahnya permintaan
uang bergantung pada frekuensi transaksi perdagangan dan jasa. Al-Maqrizi membahas permasalahan inflasi secara lebih detail. Ia
mengklasifikasikan inflasi berdasarkan faktor penyebabnya ke dalam dua hal,
yakni: (a) Inflasi yang disebabkan oleh faktor alamiah (Natural Inflation),
dan (b) Inflasi akibat kesalahan manusia (Human Error Inflation). Praktek perbankan dalam sejarah Islam mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis
mata uang pada zaman itu sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan antara
satu mata uang dan mata uang lainnya.
[1]Footnote dihapus untuk menghindari hal-hal yang tidak seharusnya.
mei 2015 matakuliah Ekonomi Moneter IAIN Tulungagung.