BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara malaikat Jibril sebagai mu’jizat.
Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar
hukum yang mencakup segala hal.
Mempelajari isi Al-Qur’an akan menambah
perbendaharaan baru, memperluas pandangan dan pengetahuan, meningkatkan
perspektif baru dan selalu menemui
hal-hal yang selalu baru. Lebih jauh lagi, kita akan lebih yakin akan keunikan
isinya yang menunjukkan Maha Besarnya Allah sebagai penciptanya.
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Oleh
karena itu, ada anggapan bahwa setiap orang yang mengerti bahasa Arab dapat
mengerti isi Al-Qur’an. Lebih dari itu, ada orang yang merasa telah dapat
memahami dan menafsirkan Al-Qur’an dengan bantuan terjemahnya, sekalipun tidak
mengerti bahasa Arab. Padahal orang Arab sendiri banyak yang tidak mengerti
kandungan Al-Qur’an. Maka dari itu, untuk dapat mengetahui isi kandungan
Al-Qur’an diperlukanlah ilmu yang mempelajari bagaimana tata cara menafsiri
Al-Qur’an yaitu Ulumul Qur’an dan juga terdapat faedah-faedahnya. Dengan adanya
pembahasan ini, kita sebagai generasi Islam supaya lebih mengenal Al-Qur’an,
karena tak kenal maka tak sayang.
B.
Rumusan Masalah
Adapun
permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1.
Apa
pengertian ‘ulumul Qur’an dan ruang linkup pembahasan ‘ulumul Qur’an ?
2.
Bagaimana
sejarah perkembangan ‘ulumul Qur’an ?
3.
Apa
tujuan dan manfaat ‘ulumul Qur’an ?
C.
Tujuan Masalah
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui pengertian ‘ulumul Qur’an dan ruang lingkup pembahasan ‘ulumul
Qur’an.
2.
Untuk
mengetahui sejarah perkembangan ‘ulumul Qur’an.
3.
Untuk
mengetahui tujuan dan manfaat ‘ulumul Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Dan Ruang Lingkup ‘Ulumul Qur’an
1.
Pengertian ‘Ulumul Qur’an
Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang
terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata “ulûm” adalah bentuk
jama’ dari kata “ilmu” (mashdar dari ‘alima) yang berarti pengetahuan atau
pemahaman. Sedangkan kata “al-Qur`an” adalah bentuk isim mashdar dari “qara`a”,
berposisi sama dengan kata “qirâ`ah” yang berarti bacaan. Sedangkan menurut terminologi terdapat
berbagai definisi yang dimaksud dengan ulumul Qur’an diantara lain :
1. As-Suyuthi dalam kitab Itmamu Al-Dirayah
mengatakan :
“Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunnya,
sanadnya, adabnya, makna-maknanya, baik yang berhubungan dengan
lafadz-lafadznya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan
sebagainya”.
2. Al-Zarqani memberikan definisi sebagai berikut:
“Beberapa pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an
Al-Karim dari segi turunnya, urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya,
penafsirannya, kemu’jizatannya, nasikh mansukhnya, penolakan hal-hal yang bisa
menimbulkan keraguan terhadapnya, dan sebagainya”.
Dari pendapat diatas dapat
disimpulkan bahwa ulumul Qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang
berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaannya sebagai Al-Qur’an
maupun aspek pemahaman kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia
atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait dengan
keperluan membahas Al-Qur’an.
2.
Ruang Lingkup Pembahasan Ulumul
Al-Qur’an
Ulumul
Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas.
Ulumul Qur’an meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an,
baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab,
seperti ilmu balaghah dan ilmu I’rab al-Qur’an. Disamping itu, masih banyak
lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya. Dalam kitab Al- Itqan, Assyuyuthi
menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari tiap-tiap cabang terdapat beberapa
macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu Bakar Ibnu Al-Araby yang
mengatakan bahwa ulumul Qur’an terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini didasarkan
kepada jumlah kata yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan dikalikan empat. Sebab,
setiap kata dalam al-Qur’an mengandung makna Dzohir, batin, terbatas, dan tidak
terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika
dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak
terhitung. Firman Allah :
قُل لَّوْ
كَانَ الْبَحْرُ مِدَاداً لِّكَلِمَـتِ رَبِّى لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن
تَنفَدَ كَلِمَـتُ رَبِّى وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَداً
Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu
(pula).(Q.S. Al-Kahfi 109).
Berkenan
dengan persoalan ini, M. Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat bahwa ruang lingkup
pembahasan Ulumul Qur’an terdiri atas enam hal pokok berikut ini :
a. Persoalan turunnya Al-Qur’an (Nuzul Al-Qur’an)
a. Persoalan turunnya Al-Qur’an (Nuzul Al-Qur’an)
b. Persoalan Sanad
(Rangkaian para Periwayat)
c. Persoalan Qira’at (Cara pembacaan Al-Qur’an)
d. Persoalan kata-kata Al-Qur’ an
e. Persoalan makna-makna Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum
f. Persoalan makna Al-Qur’an yang berpautan dengan kata-kata Al-Qur’an
c. Persoalan Qira’at (Cara pembacaan Al-Qur’an)
d. Persoalan kata-kata Al-Qur’ an
e. Persoalan makna-makna Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum
f. Persoalan makna Al-Qur’an yang berpautan dengan kata-kata Al-Qur’an
B. Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an
1.
Fase Turunnya Al-Qur’an
Nabi Muhammad SAW dan para
sahabatnya sangat mengetahui makna-makna al-Qur’an dan ilmu-ilmunya,
sebagaimana pengetahuan para ulama’ sesudahnya. Hal itu disebabkan karena
Rasulullah yang menerima wahyu dari sisi Allah SWT, juga mendapatkan rahmat-Nya
yang berupa jaminan dari Allah bahwa kalian pasti bisa mengumpulkan wahyu itu
ke dalam dada beliau.
Setiap Rasulullah selesai menerima
wahyu ayat al-Qur’an, beliau menyampaikan wahyu itu kepada para sahabatnya.
Rasulullah SAW menjelaskan tafsiran-tafsiran ayat Al-Qur’an kepada mereka
dengan sabda, perbuatan, dan persetujuan beliau serta dengan akhlaq-akhlaq dan
sifat beliau. Para sahabat dahulu tidak/belum membutuhkan pembukuan Ulumul
Qur’an itu adalah karena hal-hal sebagai berikut:
1). Mereka terdiri dari orang-orang Arab murni yang
mempunyai beberapa keistimewaan, antara lain:
a). Mempunyai daya hafalan yang kuat
b). Mempunyai
otak yang cerdas
c). Mempunyai
daya tangkap yang sangat tajam
d). Mempunyai kemampuan bahasa yang luas terhadap
segala macam bentuk ungkapan, baik prosa, puisi, maupun sajak.
2). Kebanyakan mereka terdiri dari oarang-orang yang ummi,
tetapi cerdas
3). Ketika mereka mengalami kesulitan, langsung bertanya
kepada Rasulullah SAW
4). Waktu dulu belum ada alat-alat tulis yang memadai
Masa ini dimulai dari masa Nabi
Muhammad SAW dan berjalan hingga masa khalifah Umar bin Khattab ra. Pada
periode ini, para sahabat perlu akan adanya sebuah ilmu tertentu dalam rangka
untuk memahami al-Qur’an. Sebab, secara alamiah mereka telah mampu memahami
kandungan Al-Qur’an secara baik karena mereka merupakan orang Arab asli yang
masih memiliki zauq (cita rasa bahasa) dan pemahaman yang mendalam terhadap
bahasa Arab, bahasa Al-Qur’an.
Meskipun demikian, pada waktu-waktu
tertentu mereka juga menemukan beberapa kesulitan dalam memahami sebuah ayat.
Namun mengingat Nabi Muhammad masih hidup, para sahabat bisa langsung
menanyakan permasalahan tersebut kepada Nabi. Sebagai contoh adalah apa yang
terjadi di antara mereka dalam memahami kata zulum dalam Surat Al-An’am ayat
82.
Pada masa ini Ulumul Qur’an memang
belum terbentuk sebagai suatu keilmuan tertentu sebagaimana yang ada sekarang.
Namun secara praktik, para sahabat sebenarnya telah secara otomatis
menerapkannya. Cikal bakal Ulumul Qur’an ini mereka dapatkan dari berbagai
penjelasan Nabi, juga berbagai riwayat tentang asbabun nuzul yang mereka
dapatkan melalui jalur transmisi lisan ke lisan.
2.
Fase Perintisan Ulumul Qur’an
Fase ini terjadi pada masa
pemerintahan khalifah Utsman bin Affan. Negara-negara Islam pun telah
berkembang luas. Orang-orang Arab murni telah bercampur baur dengan orang-orang
asing yang tidak kenal bahasa Arab. Percampuran bangsa dan akulturasi
kebudayaan ini menimbulkan kekhawatiran. Karena itu, Khalifah Utsman bin Affan
memerintahkan kaum muslimin agar seluruh ayat-ayat Al-Qur’an yang telah
dikumpulkan pada masa khalifah Abu Bakar itu dikumpulkan lagi dalam satu
mushhaf, kemudian dikenal dengan nama Mushhaf Utsman. Dengan usahanya itu, berarti
Khalifah Utsman bin Affan telah meletakkan dasar pertama, yang kita namakan
Ilmu Rasmil Qur’an atau Rasmil Utsmani.
Khalifah Utsman bin Affan membentuk
sebuah tim yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit dan beranggotakan beberapa
sahabat lain guna menyatukan ragam bacaan Al-Qur’an.
Pada saat yang sama, beliau
memerintahkan untuk membakar berbagai catatan Al-Qur’an pribadi yang dimiliki
oleh umat Islam waktu itu, sebagai sebuah antisipasi agar tak terjadi
perselisihan di antara mereka, akibat bacaan al-Qur’an yang berbeda-beda.
Dengan demikian, muncullah sebuah ilmu baru yang dikenal saat itu dengan
sebutan ”Ilmu Rasm Qur’an atau ”Ilmu Rasm Utsmani”.
Berlanjut pada masa pemerintahan
khalifah Alin bin Abi Thalib, sebagaimana dicatat sejarah, bahwa beliau
memerintahkan kepada Abul Aswad Al-Du’ali untuk menyusun sebuah kaidah tertentu
dalam rangka menjaga bahasa Arab dari kerusakan. Berangkat dari situ
terciptalah sebuah ilmu baru yang dikenal dengan ”Ilmu Nahwu” atau ”Ilmu I’rab
Al-Qur’an”.
Maka pada fase ini, kita dapat
mengatakan bahwa benih dari kemunculan Ulumul Qur’an telah mulai tumbuh. Adapun
para punggawa yang menggawangi transformasi keilmuan Al-Qur’an pada masa ini
antara lain adalah:
1. Dari kalangan sahabat adalah empat
Khalifah pertama, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abu
Musa Al-Asy’ari dan Abdullah bin Zubair.
- Dari kalangan Tabi’in adalah Mujahid, Atha’ bin Yasar,
Ikrimah, Qatadah, Hasan Al-Bashri, Sa’iid bin Aslam.
3. Dari kalangan Tabi’ Tabi’in adalah
Malik bin Anas, yaitu murid dari Zaid bin Aslam. Tiga generasi inilah yang
secara tidak langsung telah merintis kemunculan Ulumul Qur’an. Menabur
benih-benih persemaiannya. Oleh sebab itu, tak heran jika pada masa selanjutnya
akan bermunculan berbagai karya yang terangkum dalam disiplin Ulumul Qur’an.
Hadir pada abad kedua, ketiga dan seterusnya, para ulama’ yang secara aktif dan
elaboratif menyemai pertumbuhan Ulumul Qur’an.
3.
Fase Penulisan dan Pembukuan Ulumul
Qur’an
Memasuki pertengahan abad ke-2
Hijriyah, muncul sebuah kitab karangan Syu’bah bin Al-Hajjaj (w. 160 H),
seorang ahli hadits dari kota Basrah sekaligus amirul mukminin dalam bidang
hadits dengan kitab Mushannafnya yang merupakan kumpulan-kumpulan hadits penjelas
Al-Qur’an. Pada masa ini juga tumbuh seorang ahli tafsir yang menjadi guru ahli
Hijaz, Ali Al-Madini (w. 198 H). Selain beliau berdua ada juga Waki’ bin
Jarrah, yang ketiganya ini merupakan para ulama’ ahli hadits sekaligus pakar
tafsir pada masanya.
Kemudian di abad ke-3 hadir Abu
Ubaid Al-Qasim bin Sallam yang menulis tentang “Nasikh dan Mansukh”. Dalam
bidnag “Qira’at dan Fadlai’il Al-Qur’an” ada Muhammad bin Ayyub Al-Dharis (w.
294 H) yang bermukim di Makkah. Sementara di Madinah ada Muhammad bin Khalaf Al-Marzuban
(w. 309 H) dengan kitabnya “Al-Hawi Fi Ulum Al-Qur’an”. Lalu disusul oleh
Muhammad bin Jariri Al-Thabari (w. 310 H) dengan kitab “Jami’atul Bayan Fi
Ta’wil Ayyi Al-Qur’an”.
Pada abad ke-4, Abu Bakar Muhammad
bin Qasim Al-Anbari (w. 328 H) dengan karyanya “Aja’aib Ulum Al-Qur’an”. Abul
Hasan Al-Asy’ari (w. 324H) tampil dengan buah karyanya “Al-Muhtazim Fi Ulum
Al-Qur’an”. Abu Bakar Al-Sijistani (w. 403 H) mempunyai sebuah karya berjudul
“I’jaz Al-Qur’an”.
Beranjak menuju abad ke-5, Ibrahim
bin Sa’id Al-Hufi (w. 430 H) menulis sebuah kitab berjudul “Al-Burhan Fi Ulum
Al-Qur’an” dan “I’rab Al-Qur’an”. Sementara itu, dalam bidang ilmu qira’at, Abu
Amr Al-Dani (w. 442 H) menulis sebuah kitab bertajuk “Al-Taisir Fi Al-Qira’at Al-Sab’”.
Sampai di penghujung abad ke-6, Abul Qasim Abdurrahman yang lebih dikenal
dengan nama Al-Suhaili (w. 581 H) menulis sebuah kitab dalam tema “Mubhamat
Al-Qur’an”. Ibnu Al-Jauzi (w. 597 H) menulis dua kitab sekaligus dalam bidang
Ulumul Qur’an, yaitu “Funun Al-Afnan Fi Ulum Al-Qur’an” dan “Al-Mujtaba’ Fi
Ulum Tata’allaqu Bi Al-Qur’an”.
Memasuki abad ke-7, Alamuddin Al-Sahawi
(w. 641 H) mengarang sebuah buku berjudul “Jamal Al-Qurra’”. Sementara itu, di
lain pihak, Abu Syamah (w. 665 H) menulis kitab “Al-Mursyid Al-Wajiz Fima
Yata’allaqu Bi Al-Qur’an Al-Aziz”. Menurut Imam Suyuthi, kedua kitab ini
merupakan kitab sederhana yang disusun dalam ranah kajian Ulumul Qur’an.
Abad ke-8 Hijriyah merupakan fase
awal penyusunan disiplin Ulumul Qur’an dalam sebuah kitab yang komprehensif dan
sistematis. Yaitu ditulis oleh imam Badruddin Al-Zarkasyi (w. 794 H) melalui
magnum opus beliau, “Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an”. Selanjutnya, Ulumul Qur’an
sebagai sebuah disiplin keilmuan semakin eksis dan mapan di abad ke-9. Muhammad
bin Sulaiaman Al-Kafiji (w. 873 H), menulis sebuah kitab dalam bidang Ulumul
Qur’an yang judulnya tak sampai kepada kita. Namun menurut Imam Suyuthi,
sebagaimana yang beliau cantumkan dalam muqaddimah kitab “Al-Itqan”, bahwa Al-Kafiji
pernah mengatakan “Aku telah menulis sebuah kitab dalam bidang ilmu Tafsir yang
belum pernah ditulis (oleh orang lain) sebelumnya”.
Masih pada abad 9 ini, Jalaluddin
Al-Bulqini, guru Imam Suyuthi juga telah menulis sebuah kitab berjudul “Mawaqi’
Al-Ulum Min Mawaqi’ Al-Nujum” yang mencakup 50 tema pembahasan dalam bidang
Ulumul Qur’an. Disusul oleh Imam Suyuthi (w. 911 H), beliau mengarang dua kitab
dalam bidang Ulumul Qur’an, yaitu “Al-Tahbir Fi Ulum Al-Tafsir dan “Al-Itqan Fi
Ulum Al-Qur’an”. Adapun kitab pertama Imam Suyuthi tidak lain merupakan
penjabaran dari kitab Al-Bulqini, yang mana beliau sempurnakan lagi
pembahasan-pembahasannya hingga mencapai 102 jenis.
Sementara itu, kitab “Al-Itqan”,
menurut beberapa ulama’ modern dinilai banyak mengutip dari kitab “Al-Burhan”
karya Imam Zarkasyi. Meskipun menurut penuturan Imam Suyuthi beliau lebih
menjabarkan dan melengkapi lagi pembahasan-pembahaan dalam “Al-Itqan”, namun
beberapa ulama’ menilai justru imam Suyuthi lebih meringkas beberapa penjabaran
yang ada di “Al-Burhan”. Terlepas dari pendapat para ulama’ di atas, kedua
kitab tersebut (“Al-Burhan” dan “Al-Itqan”) merupakan dua rujukan primer dalam
bidang Ulumul Qur’an. Secara jelas dapat kita lihat, bahwa ulama’-ulama’ setelah
masa Imam Suyuthi, ketika hendak menulis kitab di bidang Ulumul Qur’an pasti
meletakkan “Al-Burhan” dan “Al-Itqan” di urutan pertama daftar buku-buku
rujukan.
C. Tujuan Dan Manfaat Mempelajari Ulumul Qur'an
Adapun tujuan dari mempelajari
‘Ulumul Qur’an adalah:
1.
Agar dapat memahami kalam Allah ‘Aza Wajalla sejalan
dengan keterangan yang dikutip oleh para Sahabat dan para Tabi’in tentang
interprestasi mereka terhadap Al-Qur’an.
2.
Agar mengetahui cara dan gaya yang digunakan oleh para
mufassir (ahli tafsir) dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan disertai penjelasan
tentang tokoh-tokoh ahli tafsir yang ternama serta kelebihan-kelebihannya.
3.
Agar mengetahui persyaratan-persyaratan dalam
menafsirkan Al-Qur’an.
4.
Mengetahui ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan dalam menafsirkan
Al-Qur’an.
Sedangkan
manfaat dari mempelajari ‘Ulumul Qur’an adalah:
a.
Berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan, yaitu:
1.
Ulumul Qur’an akan menentukan bagi seseorang yang
membuat syarah atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tepat dapat
dipertanggung jawabkan. Maka bagi mafassir ‘Ulumul Qur’an secara mutlak
merupakan alat yang harus lebih dahulu dikuasai sebelum menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an.
2.
Dengan menguasai ‘Ulumul Qur’an seseorang baru bisa
membuka dan menyelami apa yang terkandung dalam Al-Qur’an.
3.
‘Ulumul Qur’an sebagai kunci pembuka dalam menafsirkan
ayat Al-Qur’an sesuai dengan maksud apa yang terkandung di dalamnya dan
mempunyai kedudukan sebagai ilmu pokok dalam menafsirkan Al-Qur’an.
b.
Berfungsi sebagai Standar atau Ukuran Tafsir
Apabila dilihat dari segi ilmu,
‘Ulumul Qur’an sebagai standar atau ukuran tafsir Al-Qur’an artinya semakin
tinggi dan mendalam ‘Ulumul Qur’an dikuasai oleh seseorang mufassir maka tafsir
yang diberikan akan semakin mendekati kebenaran, maka dengan ‘Ulumul Qur’an
akan dapat dibedakan tafsir yang shahih dan tafsir yang tidak shahih.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas kami dapat
menyimpulkan bahwa ‘Ulumul Qur’an adalah suatu ilmu yang membahas mengenai
hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaannya sebagai
Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk bagi
manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait
dengan keperluan membahas Al-Qur’an. Sehingga menimbulkan ruang lingkup
pembahasan yang sangat luas. Hal ini membuat M. Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat
bahwa ruang lingkup pembahasan Ulumul Qur’an terdiri atas enam hal pokok yaitu
:
a. Persoalan turunnya Al-Qur’an (Nuzul Al-Qur’an)
b. Persoalan Sanad (Rangkaian para Periwayat)
c. Persoalan Qira’at (Cara pembacaan Al-Qur’an)
d. Persoalan kata-kata Al-Qur’ an
e. Persoalan makna-makna Al-Qur’an yang berkaitan
dengan hukum
f. Persoalan makna Al-Qur’an yang berpautan dengan
kata-kata Al-Qur’an
Dengan
pertumbuhan dan perkembangan yang berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,
mulai dari fase turunnya Al-Qur’an, fase perintisan Ulumul Qur’an, dan yang
terakhir fase penulisan dan pembukuan ‘Ulumul Qur’an. Dengan adanya penulisan
dan pembukuan ‘Ulumul Qur’an tersebut seseorang yang membuat syarah atau menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an bisa dengan tepat dan dapat dipertanggung jawabkan.
0 komentar:
Post a Comment