Tuesday, February 18, 2014

Pengantar Ulumul Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara malaikat Jibril sebagai mu’jizat. Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal.
Mempelajari isi Al-Qur’an akan menambah perbendaharaan baru, memperluas pandangan dan pengetahuan, meningkatkan perspektif  baru dan selalu menemui hal-hal yang selalu baru. Lebih jauh lagi, kita akan lebih yakin akan keunikan isinya yang menunjukkan Maha Besarnya Allah sebagai penciptanya.
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa setiap orang yang mengerti bahasa Arab dapat mengerti isi Al-Qur’an. Lebih dari itu, ada orang yang merasa telah dapat memahami dan menafsirkan Al-Qur’an dengan bantuan terjemahnya, sekalipun tidak mengerti bahasa Arab. Padahal orang Arab sendiri banyak yang tidak mengerti kandungan Al-Qur’an. Maka dari itu, untuk dapat mengetahui isi kandungan Al-Qur’an diperlukanlah ilmu yang mempelajari bagaimana tata cara menafsiri Al-Qur’an yaitu Ulumul Qur’an dan juga terdapat faedah-faedahnya. Dengan adanya pembahasan ini, kita sebagai generasi Islam supaya lebih mengenal Al-Qur’an, karena tak kenal maka tak sayang.

B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1.    Apa pengertian ‘ulumul Qur’an dan ruang linkup pembahasan ‘ulumul Qur’an ?
2.    Bagaimana sejarah perkembangan ‘ulumul Qur’an ?
3.    Apa tujuan dan manfaat ‘ulumul Qur’an ?

C. Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.    Untuk mengetahui pengertian ‘ulumul Qur’an dan ruang lingkup pembahasan ‘ulumul Qur’an.
2.    Untuk mengetahui sejarah perkembangan ‘ulumul Qur’an.
3.    Untuk mengetahui tujuan dan manfaat ‘ulumul Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Dan Ruang Lingkup ‘Ulumul Qur’an
1.      Pengertian ‘Ulumul Qur’an
Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata “ulûm” adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” (mashdar dari ‘alima) yang berarti pengetahuan atau pemahaman. Sedangkan kata “al-Qur`an” adalah bentuk isim mashdar dari “qara`a”, berposisi sama dengan kata “qirâ`ah” yang berarti bacaan.  Sedangkan menurut terminologi terdapat berbagai definisi yang dimaksud dengan ulumul Qur’an diantara lain :
1.         As-Suyuthi dalam kitab Itmamu Al-Dirayah mengatakan :
“Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunnya, sanadnya, adabnya, makna-maknanya, baik yang berhubungan dengan lafadz-lafadznya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya”.
2.   Al-Zarqani memberikan definisi sebagai berikut:
“Beberapa pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al-Karim dari segi turunnya, urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, penafsirannya, kemu’jizatannya, nasikh mansukhnya, penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, dan sebagainya”.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa ulumul Qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait dengan keperluan membahas Al-Qur’an.
2.      Ruang Lingkup Pembahasan Ulumul Al-Qur’an
Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an  meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah dan ilmu I’rab al-Qur’an. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya. Dalam kitab Al- Itqan, Assyuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari tiap-tiap cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu Bakar Ibnu Al-Araby yang mengatakan bahwa ulumul Qur’an terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan dikalikan empat. Sebab, setiap kata dalam al-Qur’an mengandung makna Dzohir, batin, terbatas, dan tidak terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak terhitung. Firman Allah :
قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَاداً لِّكَلِمَـتِ رَبِّى لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَـتُ رَبِّى وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَداً
Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).(Q.S. Al-Kahfi 109).
Berkenan dengan persoalan ini, M. Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat bahwa ruang lingkup pembahasan Ulumul Qur’an terdiri atas enam hal pokok berikut ini :
a. Persoalan turunnya Al-Qur’an (Nuzul Al-Qur’an)
b. Persoalan Sanad (Rangkaian para Periwayat)
c. Persoalan Qira’at (Cara pembacaan Al-Qur’an)
d. Persoalan kata-kata Al-Qur’ an
e. Persoalan makna-makna Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum
f. Persoalan makna Al-Qur’an yang berpautan dengan kata-kata Al-Qur’an

B.     Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an
1.      Fase Turunnya Al-Qur’an
Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya sangat mengetahui makna-makna al-Qur’an dan ilmu-ilmunya, sebagaimana pengetahuan para ulama’ sesudahnya. Hal itu disebabkan karena Rasulullah yang menerima wahyu dari sisi Allah SWT, juga mendapatkan rahmat-Nya yang berupa jaminan dari Allah bahwa kalian pasti bisa mengumpulkan wahyu itu ke dalam dada beliau.
Setiap Rasulullah selesai menerima wahyu ayat al-Qur’an, beliau menyampaikan wahyu itu kepada para sahabatnya. Rasulullah SAW menjelaskan tafsiran-tafsiran ayat Al-Qur’an kepada mereka dengan sabda, perbuatan, dan persetujuan beliau serta dengan akhlaq-akhlaq dan sifat beliau. Para sahabat dahulu tidak/belum membutuhkan pembukuan Ulumul Qur’an itu adalah karena hal-hal sebagai berikut:
1). Mereka terdiri dari orang-orang Arab murni yang mempunyai beberapa keistimewaan, antara lain:
a).   Mempunyai daya hafalan yang kuat
b).   Mempunyai otak yang cerdas
c).   Mempunyai daya tangkap yang sangat tajam
d).   Mempunyai kemampuan bahasa yang luas terhadap segala macam bentuk ungkapan, baik prosa, puisi, maupun sajak. 
2). Kebanyakan mereka terdiri dari oarang-orang yang ummi, tetapi cerdas
3). Ketika mereka mengalami kesulitan, langsung bertanya kepada Rasulullah SAW
4). Waktu dulu belum ada alat-alat tulis yang memadai
Masa ini dimulai dari masa Nabi Muhammad SAW dan berjalan hingga masa khalifah Umar bin Khattab ra. Pada periode ini, para sahabat perlu akan adanya sebuah ilmu tertentu dalam rangka untuk memahami al-Qur’an. Sebab, secara alamiah mereka telah mampu memahami kandungan Al-Qur’an secara baik karena mereka merupakan orang Arab asli yang masih memiliki zauq (cita rasa bahasa) dan pemahaman yang mendalam terhadap bahasa Arab, bahasa Al-Qur’an.
Meskipun demikian, pada waktu-waktu tertentu mereka juga menemukan beberapa kesulitan dalam memahami sebuah ayat. Namun mengingat Nabi Muhammad masih hidup, para sahabat bisa langsung menanyakan permasalahan tersebut kepada Nabi. Sebagai contoh adalah apa yang terjadi di antara mereka dalam memahami kata zulum dalam Surat Al-An’am ayat 82.
Pada masa ini Ulumul Qur’an memang belum terbentuk sebagai suatu keilmuan tertentu sebagaimana yang ada sekarang. Namun secara praktik, para sahabat sebenarnya telah secara otomatis menerapkannya. Cikal bakal Ulumul Qur’an ini mereka dapatkan dari berbagai penjelasan Nabi, juga berbagai riwayat tentang asbabun nuzul yang mereka dapatkan melalui jalur transmisi lisan ke lisan.


2.      Fase Perintisan Ulumul Qur’an
Fase ini terjadi pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan. Negara-negara Islam pun telah berkembang luas. Orang-orang Arab murni telah bercampur baur dengan orang-orang asing yang tidak kenal bahasa Arab. Percampuran bangsa dan akulturasi kebudayaan ini menimbulkan kekhawatiran. Karena itu, Khalifah Utsman bin Affan memerintahkan kaum muslimin agar seluruh ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dikumpulkan pada masa khalifah Abu Bakar itu dikumpulkan lagi dalam satu mushhaf, kemudian dikenal dengan nama Mushhaf Utsman. Dengan usahanya itu, berarti Khalifah Utsman bin Affan telah meletakkan dasar pertama, yang kita namakan Ilmu Rasmil Qur’an atau Rasmil Utsmani.
Khalifah Utsman bin Affan membentuk sebuah tim yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit dan beranggotakan beberapa sahabat lain guna menyatukan ragam bacaan Al-Qur’an.
Pada saat yang sama, beliau memerintahkan untuk membakar berbagai catatan Al-Qur’an pribadi yang dimiliki oleh umat Islam waktu itu, sebagai sebuah antisipasi agar tak terjadi perselisihan di antara mereka, akibat bacaan al-Qur’an yang berbeda-beda. Dengan demikian, muncullah sebuah ilmu baru yang dikenal saat itu dengan sebutan ”Ilmu Rasm Qur’an atau ”Ilmu Rasm Utsmani”.
Berlanjut pada masa pemerintahan khalifah Alin bin Abi Thalib, sebagaimana dicatat sejarah, bahwa beliau memerintahkan kepada Abul Aswad Al-Du’ali untuk menyusun sebuah kaidah tertentu dalam rangka menjaga bahasa Arab dari kerusakan. Berangkat  dari situ terciptalah sebuah ilmu baru yang dikenal dengan ”Ilmu Nahwu” atau ”Ilmu I’rab Al-Qur’an”.
Maka pada fase ini, kita dapat mengatakan bahwa benih dari kemunculan Ulumul Qur’an telah mulai tumbuh. Adapun para punggawa yang menggawangi transformasi keilmuan Al-Qur’an pada masa ini antara lain adalah:
1.      Dari kalangan sahabat adalah empat Khalifah pertama, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abu Musa Al-Asy’ari dan Abdullah bin Zubair.
  1. Dari kalangan Tabi’in adalah Mujahid, Atha’ bin Yasar, Ikrimah, Qatadah, Hasan Al-Bashri, Sa’iid bin Aslam.
3.      Dari kalangan Tabi’ Tabi’in adalah Malik bin Anas, yaitu murid dari Zaid bin Aslam. Tiga generasi inilah yang secara tidak langsung telah merintis kemunculan Ulumul Qur’an. Menabur benih-benih persemaiannya. Oleh sebab itu, tak heran jika pada masa selanjutnya akan bermunculan berbagai karya yang terangkum dalam disiplin Ulumul Qur’an. Hadir pada abad kedua, ketiga dan seterusnya, para ulama’ yang secara aktif dan elaboratif menyemai pertumbuhan Ulumul Qur’an.

3.      Fase Penulisan dan Pembukuan Ulumul Qur’an
Memasuki pertengahan abad ke-2 Hijriyah, muncul sebuah kitab karangan Syu’bah bin Al-Hajjaj (w. 160 H), seorang ahli hadits dari kota Basrah sekaligus amirul mukminin dalam bidang hadits dengan kitab Mushannafnya yang merupakan kumpulan-kumpulan hadits penjelas Al-Qur’an. Pada masa ini juga tumbuh seorang ahli tafsir yang menjadi guru ahli Hijaz, Ali Al-Madini (w. 198 H). Selain beliau berdua ada juga Waki’ bin Jarrah, yang ketiganya ini merupakan para ulama’ ahli hadits sekaligus pakar tafsir pada masanya.
Kemudian di abad ke-3 hadir Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam yang menulis tentang “Nasikh dan Mansukh”. Dalam bidnag “Qira’at dan Fadlai’il Al-Qur’an” ada Muhammad bin Ayyub Al-Dharis (w. 294 H) yang bermukim di Makkah. Sementara di Madinah ada Muhammad bin Khalaf Al-Marzuban (w. 309 H) dengan kitabnya “Al-Hawi Fi Ulum Al-Qur’an”. Lalu disusul oleh Muhammad bin Jariri Al-Thabari (w. 310 H) dengan kitab “Jami’atul Bayan Fi Ta’wil Ayyi Al-Qur’an”.
Pada abad ke-4, Abu Bakar Muhammad bin Qasim Al-Anbari (w. 328 H) dengan karyanya “Aja’aib Ulum Al-Qur’an”. Abul Hasan Al-Asy’ari (w. 324H) tampil dengan buah karyanya “Al-Muhtazim Fi Ulum Al-Qur’an”. Abu Bakar Al-Sijistani (w. 403 H) mempunyai sebuah karya berjudul “I’jaz Al-Qur’an”.
Beranjak menuju abad ke-5, Ibrahim bin Sa’id Al-Hufi (w. 430 H) menulis sebuah kitab berjudul “Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an” dan “I’rab Al-Qur’an”. Sementara itu, dalam bidang ilmu qira’at, Abu Amr Al-Dani (w. 442 H) menulis sebuah kitab bertajuk “Al-Taisir Fi Al-Qira’at Al-Sab’”. Sampai di penghujung abad ke-6, Abul Qasim Abdurrahman yang lebih dikenal dengan nama Al-Suhaili (w. 581 H) menulis sebuah kitab dalam tema “Mubhamat Al-Qur’an”. Ibnu Al-Jauzi (w. 597 H) menulis dua kitab sekaligus dalam bidang Ulumul Qur’an, yaitu “Funun Al-Afnan Fi Ulum Al-Qur’an” dan “Al-Mujtaba’ Fi Ulum Tata’allaqu Bi Al-Qur’an”.
Memasuki abad ke-7, Alamuddin Al-Sahawi (w. 641 H) mengarang sebuah buku berjudul “Jamal Al-Qurra’”. Sementara itu, di lain pihak, Abu Syamah (w. 665 H) menulis kitab “Al-Mursyid Al-Wajiz Fima Yata’allaqu Bi Al-Qur’an Al-Aziz”. Menurut Imam Suyuthi, kedua kitab ini merupakan kitab sederhana yang disusun dalam ranah kajian Ulumul Qur’an.
Abad ke-8 Hijriyah merupakan fase awal penyusunan disiplin Ulumul Qur’an dalam sebuah kitab yang komprehensif dan sistematis. Yaitu ditulis oleh imam Badruddin Al-Zarkasyi (w. 794 H) melalui magnum opus beliau, “Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an”. Selanjutnya, Ulumul Qur’an sebagai sebuah disiplin keilmuan semakin eksis dan mapan di abad ke-9. Muhammad bin Sulaiaman Al-Kafiji (w. 873 H), menulis sebuah kitab dalam bidang Ulumul Qur’an yang judulnya tak sampai kepada kita. Namun menurut Imam Suyuthi, sebagaimana yang beliau cantumkan dalam muqaddimah kitab “Al-Itqan”, bahwa Al-Kafiji pernah mengatakan “Aku telah menulis sebuah kitab dalam bidang ilmu Tafsir yang belum pernah ditulis (oleh orang lain) sebelumnya”.
Masih pada abad 9 ini, Jalaluddin Al-Bulqini, guru Imam Suyuthi juga telah menulis sebuah kitab berjudul “Mawaqi’ Al-Ulum Min Mawaqi’ Al-Nujum” yang mencakup 50 tema pembahasan dalam bidang Ulumul Qur’an. Disusul oleh Imam Suyuthi (w. 911 H), beliau mengarang dua kitab dalam bidang Ulumul Qur’an, yaitu “Al-Tahbir Fi Ulum Al-Tafsir dan “Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an”. Adapun kitab pertama Imam Suyuthi tidak lain merupakan penjabaran dari kitab Al-Bulqini, yang mana beliau sempurnakan lagi pembahasan-pembahasannya hingga mencapai 102 jenis.
Sementara itu, kitab “Al-Itqan”, menurut beberapa ulama’ modern dinilai banyak mengutip dari kitab “Al-Burhan” karya Imam Zarkasyi. Meskipun menurut penuturan Imam Suyuthi beliau lebih menjabarkan dan melengkapi lagi pembahasan-pembahaan dalam “Al-Itqan”, namun beberapa ulama’ menilai justru imam Suyuthi lebih meringkas beberapa penjabaran yang ada di “Al-Burhan”. Terlepas dari pendapat para ulama’ di atas, kedua kitab tersebut (“Al-Burhan” dan “Al-Itqan”) merupakan dua rujukan primer dalam bidang Ulumul Qur’an. Secara jelas dapat kita lihat, bahwa ulama’-ulama’ setelah masa Imam Suyuthi, ketika hendak menulis kitab di bidang Ulumul Qur’an pasti meletakkan “Al-Burhan” dan “Al-Itqan” di urutan pertama daftar buku-buku rujukan.


C.     Tujuan Dan Manfaat Mempelajari Ulumul Qur'an
Adapun tujuan dari mempelajari ‘Ulumul Qur’an adalah:
1.    Agar dapat memahami kalam Allah ‘Aza Wajalla sejalan dengan keterangan yang dikutip oleh para Sahabat dan para Tabi’in tentang interprestasi mereka terhadap Al-Qur’an.
2.    Agar mengetahui cara dan gaya yang digunakan oleh para mufassir (ahli tafsir) dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan disertai penjelasan tentang tokoh-tokoh ahli tafsir yang ternama serta kelebihan-kelebihannya.
3.    Agar mengetahui persyaratan-persyaratan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
4.    Mengetahui ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Sedangkan manfaat dari mempelajari ‘Ulumul Qur’an adalah:
a.      Berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan, yaitu:
1.      Ulumul Qur’an akan menentukan bagi seseorang yang membuat syarah atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tepat dapat dipertanggung jawabkan. Maka bagi mafassir ‘Ulumul Qur’an secara mutlak merupakan alat yang harus lebih dahulu dikuasai sebelum menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
2.      Dengan menguasai ‘Ulumul Qur’an seseorang baru bisa membuka dan menyelami apa yang terkandung dalam Al-Qur’an.
3.      ‘Ulumul Qur’an sebagai kunci pembuka dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an sesuai dengan maksud apa yang terkandung di dalamnya dan mempunyai kedudukan sebagai ilmu pokok dalam menafsirkan Al-Qur’an.
b.      Berfungsi sebagai Standar atau Ukuran Tafsir
Apabila dilihat dari segi ilmu, ‘Ulumul Qur’an sebagai standar atau ukuran tafsir Al-Qur’an artinya semakin tinggi dan mendalam ‘Ulumul Qur’an dikuasai oleh seseorang mufassir maka tafsir yang diberikan akan semakin mendekati kebenaran, maka dengan ‘Ulumul Qur’an akan dapat dibedakan tafsir yang shahih dan tafsir yang tidak shahih.


BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari pembahasan di atas kami dapat menyimpulkan bahwa ‘Ulumul Qur’an adalah suatu ilmu yang membahas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait dengan keperluan membahas Al-Qur’an. Sehingga menimbulkan ruang lingkup pembahasan yang sangat luas. Hal ini membuat M. Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat bahwa ruang lingkup pembahasan Ulumul Qur’an terdiri atas enam hal pokok yaitu :
a. Persoalan turunnya Al-Qur’an (Nuzul Al-Qur’an)
b. Persoalan Sanad (Rangkaian para Periwayat)
c. Persoalan Qira’at (Cara pembacaan Al-Qur’an)
d. Persoalan kata-kata Al-Qur’ an
e. Persoalan makna-makna Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum
f. Persoalan makna Al-Qur’an yang berpautan dengan kata-kata Al-Qur’an

Dengan pertumbuhan dan perkembangan yang berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, mulai dari fase turunnya Al-Qur’an, fase perintisan Ulumul Qur’an, dan yang terakhir fase penulisan dan pembukuan ‘Ulumul Qur’an. Dengan adanya penulisan dan pembukuan ‘Ulumul Qur’an tersebut seseorang yang membuat syarah atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an bisa dengan tepat dan dapat dipertanggung jawabkan.

0 komentar:

Post a Comment