A. Pengertian Dan Payung Hukum Bank Syariah
Pengertian Perbankan
menurut Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Jenis-jenis
bank menurut Pasal 5 Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 adalah sebagai berikut.[1]
1. Bank
Umum adalah bank yang dapat memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (Pasal
1
Undang-undang Nomor 7/1992 tentang Perbankan).
2. Bank
Perkreditan Rakyat adalah bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk
deposito berjangka tabungan dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan hal
itu (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7/1992 tentang Perbankan).
Apabila
hanya melihat pada Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, memang
tidak ada aturan tentang Bank Syariah (khususnya bank umum syariah), karena
dalam undang-undang tersebut secara umum hanya menjelaskan tentang perbankan
konvensional, kecuali dalam Pasal 13.c yang mengatur tentang Usaha Bank
Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip bagi hasil. Bank Syariah pertama berdiri
di Indonesia sekitar tahun 1992 didasarkan pada Undang-undang Nomor 7 tahun
1992 sebagai landasan hukum bank dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992
tentang Bank Umum berdasarkan prinsip bagi hasil sebagai landasan hukum Bank
Umum Syariah dan Peraturan Pemerintah Nomor 73 tentang Bank Perkreditan Rakyat
berdasarkan prinsip bagi hasil sebagai landasan hukum Bank Perkreditan Rakyat
Syariah.
Sesuai
dengan perkembangan perbankan maka Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan juga tercakup
hal-hal yang berkaitan dengan perbankan syariah. Dalam Undang-undang Nomor 10
tahun 1998 Pasal 1 pengertian bank, bank umum, dan Bank Perkreditan Rakyat
disempurnakan menjadi sebagai berikut.[2]
Bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak,
Bank
Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau
"berdasarkan prinsip usaha syariah"yang dalam kegiatannya memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPR-Syariah) adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Selain
itu, yang dimaksud dengan prinsip syariah dijelaskan pada Pasal 1 butir 13
Undang-undang tersebut , yakni sebagai berikut Prinsip syariah adalah aturan
perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan
dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan
sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah),
prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau
pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah)
atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari
pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). Dengan dikeluarkannya
Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 maka Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992
dan Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 1992 dicabut dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 30 tahun 1998 dan sebagai tindak lanjut dari Undang-undang
Nomor 10 tahun 1998 tersebut.[3]
B. Karakteristik Bank Syariah
Prinsip syariah islam
dalam pengelolaan harta menekankan keseimbangan antara kepentingan individu dan
masyarakat. Harta harus dimanfaatkan untuk hal-hal produktif terutama kegiatan
ekonomi dalam menghasilkan keuntungan. Oleh karena itu, diperlukan suatu
lembaga perantara yang menyambungkan masyarakat pemilik dana dan pengusaha yang
memerlukan dana (pengelola dana). Salah satu bentuk lembaga perantara tersebut
adalah bank yang kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Bank syariah
ialah bank yang berasaskan kemitraan, keadilan, transparansi, dan universal
serta melakukan kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah. Kegiatan
bank syariah merupakan implemetasi dari prinsip ekonomi Islam dengan
krakteristik, yakni:[4]
a. pelarangan
riba dalam berbagai bentuknya;
b. tidak
mengenal konsep nilai waktu dari uang (time value of money);
c. konsep
uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas;
d.
tidak
diperkenankan melakukan kegiatan yang bersifat spekulatif.
C. Akad Bank Syariah[5]
1. Produk
Pendanaan
a. Giro:
Wadiah dan Qordh
b. Tabungan:
Wadiah, Qardh, dan Mudharabah.
c. Deposito/Investasi:
Mudharabah
d. Obligasi/Sukuk:
Mudharabah dan Ijarah
2. Produk
Pembiayaan
a. Pola
bagi hasil: Musyarakah dan Mudharabah.
b. Pola
jual beli: Murabahah, Salam, dan Istisna’.
c. Pola
sewa: Ijarah, dan Ijarah Muntahiya Bittamlik
d. Pola
pinjaman untuk dana talangan: Qardh.
3. Produk
Jasa Perbankan
a.
Tabarru’: Sharf.
D. Perkembangan Bank Syariah
1. Di Dunia
Awal abad ke 20 merupakan masa
kebangkitan dunia Islam dari ‘ketertidurannya’ di tengah pergolakan dunia.
Perintisan penerapan sistem profit and
loss sharing sebagai inti bisnis lembaga keuangan syariah tercatat telah
ada sejak tahun 1940-an, yaitu upaya mengelola dana haji secara nonkonvensional
di Pakistan dan Malaysia. Rintisan berikutnyayang merupakan tonggak sejarah
perkembangan perbankan syariah adalah Islamic
Rural Bank di daerah Mit Ghamr yang didirikan oleh Dr. ahmed el-Najar yang
permodalannya dibantu Raja Faisal pada tahun 1963 hingga 1967 di Kairo, Mesir
walaupun pada akhirnya operasionalnya diambil alih oleh National Bank of Egypt
dan Central Bank of Egypt.[6]
2. Di Indonesia
Berkembangnya bank-bank syariah di
negara-negara Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an,
diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para
tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A Perwataatmadja, M.
Dawam Rahardjo, AM. Saefuddin, M. Amien Azis, dan Beberapa uji coba pada skala
yang relatif terbatas telah diwujudkan. Di antaranya adalah Baitut Tamwil -
Salman, Bandung, yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk
lembaga serupa dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti. Akan tetapi,
prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan
pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990
menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa
Barat Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional
NMUI yang berLangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan
amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di
Indonesia. Kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan MUI, bertugas melakukan
pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.[7]
PT
Bank Muamalat Indonesia (BMI)
Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai
hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut di atas. Akte Pendirian PT Bank Muamalat
Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991. Pada saat
penandatanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak
Rp84 miliar. Pada tanggal 3 November 1991, dalam acara silaturahmi Presiden di
Istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal sebesar
Rp106.126.382.000,00.[8]
Dengan modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia
mulai beroperasi. Hingga September 1999, Bank Muamalat Indonesia telah memiliki
lebih 45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya,
Balikpapan, dan Makassar. Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia,
keberadaan bank syariah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan
industri perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan
sistem syariah ini hanya dikategorikan sebagai "bank dengan sistem bagi
hasil; tidak terdapat rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha
yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tecermin dari UU No. 7 Tahun 1992, di
mana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas
lalu dan merupakan "sisipan" belaka.[9]
Era
Reformasi dan Perbankan Syariah
Perkembangan perbankan syariah pada era
reformasi ditandai dengan disetujuinya Undang-Undang No.10 Tahun 1998. Dalam
undang-undang tersebut diatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis
usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-undang
tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka
cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah.
Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah
bank mulai memberikan pelatihan dalam bidang perbankan syariah bagi para
stafnya. Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk membuka divisi atau
cabang syariah dalam institusinya. Sebagian lainnya bahkan berencana
mengkonversi diri sepenuhnya menjadi bank syariah. Hal demikian diantisipasi
oleh Bank Indonesia dengan mengadakan "Pelatihan Perbankan Syariah"
bagi para pejabat Bank Indonesia dari segenap bagian, terutama aparat yang
berkaitan langsung seperti DPNP (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan),
kredit, pengawasan, akuntansi, riset, dan moneter.[10]
Bank
Umum Syariah
Bank Syariah Mandiri (BSM) merupakan
bank milik pemerintah pertama yang melandaskan operasionalnya pada prinsip
syariah. Secara struktural, BSM berasal dari Bank Susila Bakti (BSB), sebagai
salah satu anak perusahaan di lingkup Bank Mandiri (ex BDN), yang kemudian
dikonversikan menjadi bank syariah secara penuh. Dalam rangka melancarkan
proses konversi menjadi bank syariah, BSM menjalin kerja sama dengan Tazkia
Institute, terutama dalam bidang pelatihan dan pendampingan konversi.[11]
Sebagai salah satu bank yang dimiliki oleh Bank Mandiri yang memiliki aset
ratusan triliun dan networking yang sangat luas, BSM memiliki beberapa
keunggulan komparatif dibanding pendahulunya. Demikian juga perkembangan
politik terakhir di Aceh menjadi blessing in disguise bagi BSM. Hal ini karena
BSM akan menyerahkan seluruh cabang Bank Mandiri di Aceh kepada BSM untuk
dikelola secara syariah. Langkah besar ini jelas akan menggelembungkan aset BSM
dari posisi pada akhir tahun 1999 sejumlah Rp 400.000.000. 000,00 (empat ratus
miliar rupiah) menjadi di atas 2 hingga 3 triliun. Perkernbangan ini diikuti
pula dengan peningkatan jumlah cabang BSM, yaitu dari 8 menjadi lebih dari 20
buah.
Cabang
Syariah dari Bank Konvensional
Satu perkembangan lain perbankan syariah
di Indonesia pasca reformasi adalah diperkenankannya konversi cabang bank umum
konvensional menjadi cabang syariah. Beberapa bank yang sudah dan akan membuka
cabang syariah di antaranya:[12]
1. Bank
IFI (membuka cabang syariah pada 28 Juni 1999),
2. Bank
Niaga (akan membuka cabang syariah),
3. Bank
BNI '46 (telah membuka lima cabang syariah),
4. Bank
BTN (akan membuka cabang syariah),
5. Bank
Mega (akan mengkonversikan satu bank konvensional-anak perusahaannya-menjadi
bank syariah),
6. Bank
BRI (akan membuka cabang syariah),
7. Bank
Bukopin (tengah melakukan program konversi untuk cabang Aceh),
8. BPD
JABAR (telah membuka cabang syariah di Bandung),
9. BPD
Aceh (tengah menyiapkan SDM untuk konversi cabang).
Catatan:
data per November 2000
E. Tata Cara Pendirian Bank Syariah[13]
Bank hanya dapat didirikan dan
melakukan kegiatan usaha dengan izin OJK.
a.
BUK
Modal disetor paling kurang sebesar
Rp3 triliun, dan hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
1) WNI dan/atau badan hukum Indonesia;
atau
2) WNI dan/atau badan hukum Indonesia
dengan warga negara asing (WNA) dan/ atau badan
hukum asing secara kemitraan.
b. BUS
Modal disetor paling kurang sebesar
Rp1 triliun, dan hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
1) WNI dan/atau badan hukum Indonesia;
atau
2) WNI dan/atau badan hukum Indonesia
dengan WNA dan/atau badan hukum asing secara kemitraan.
c. Pembukaan
Kantor Bank
Bank wajib mencantumkan rencana
pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor bank
setahun ke depan dalam RBB. Penyampaian rencana disertai dengan kajian sesuai
dengan ketentuan mengenai BU. OJK berwenang memerintahkan bank untuk menunda rencana
pembukaan, perubahan status, dan/atau pemindahan alamat bank, apabila menurut
penilaian OJK antara lain terdapat penurunan tingkat kesehatan, kondisi
keuangan bank, dan/atau peningkatan profil risiko bank. Bank wajib mencantumkan
secara jelas nama dan jenis kantor bank pada masing-masing kantor bank.
1) KC BU Dalam Negeri
§ Pembukaan KC wajib memperoleh izin
OJK;
§ Direksi atau pejabat Direksi bank
mengajukan permohonan pembukaan KC kepada OJK disertai dengan dokumen pendukung
sesuai dengan ketentuan mengenai BU;
§ Persetujuan atau penolakan atas
permohonan bank diberikan paling lama 20 hari kerja setelah dokumen permohonan
diterima secara lengkap; dan
§ Pelaksanaan pembukaan KC dilakukan
paling lama 30 hari kerja sejak tanggal izin dari OJK diterbitkan.
2) KC BU Luar Negeri
§ Pembukaan KC, kantor perwakilan dan
jenis-jenis kantor lainnya baik yang bersifat operasional maupun non
operasional di luar negeri wajib memperoleh izin OJK. Izin harus dilaksanakan dalam
waktu satu tahun sejak izin dari OJK diterbitkan, dan dapat diperpanjang paling
lama satu tahun berdasarkan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
§ Pembukaan kantor di luar negeri juga
wajib memperoleh izin dari otoritas di negara setempat;
§ Pemberian izin dapat diberikan OJK
apabila telah menjadi bank devisa paling kurang 24 bulan; telah mencantumkan
rencana pembukaan KC dalam RBB; memenuhi persyaratan TKS, kecukupan modal dan
profil risiko; dan mempunyai alamat atau tempat kedudukan kantor operasional
yang jelas; dan
§ Persetujuan atau penolakan atas
permohonan bank diberikan paling lambat 20 hari kerja setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap.
[1]
Wiroso, Penghimpunan Dana dan Hasil Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, (Jakarta: PT
Grasindo, 2005), h. 1
[2]
Ibid., h 1-2
[3]
Ibid., h. 3
[4]
Slamet Wiyono, Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan SyariaL: Berdasarkan
PSAK dan PAPSI, (Jakarta: PT Grasindo, 2005), h. 74-75
[5]
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Ed. 1, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2008), h.111-129
[6]
Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam
Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006), h.53
[7] Muhammad Syafi'i Antonio, Bank
Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), h. 25
[8]
Ibid.
[9]
Ibid., h. 26
[10]
Ibid.
[11]
Ibid.
[12]
Ibid., h. 27
[13]
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan, Booklet
Perbankan Indonesia 2015, Ed. 2, h. 100-127