A. RIWAYAT HIDUP
Al-Ghazali
terlahir dengan nama lengkap Abu Hamid Ahmad ibn Muhammad al-Ghazali at-Thusi,
juga dijuluki dengan gelar Hujjah
al-Islam. Lahir pada tahun 450 H/1058 M di Tus (sekarang Meshed), sebuah
kota kecil di daerah Khurasan (sekarang Iran). Ayahnya bekerja sebagai pemintal
benang wol dan menjual hasil prodiksinya sendiri ke pasar-pasar di sekitar
tempat tinggalnya. Karena ayahnya penjual benang, maka ia diberi nama panggilan Ghazali, yang
dalam bahasa Arab berarti “pembuat benang”. Abu Hamid Al-Ghazali terkenal di
Barat sebagai Al-Ghazel, merupakan salah satu pemikir besar Islam.
Sejak muda, Al-Ghazali
sangat antusias terhadap ilmu pengetahuan. Ia pertama-tama belajar bahasa Arab
dan fiqh di kota Tus, kemudian pergi ke kota Jurjan untuk belajar dasar-dasar
Ushul Fiqh. Pada tahun 483 H (1090 M), ia di angkat menjadi guru di Madrasah
Nizhamiyah. Pekerjaannya dilaksanakan dengan sangat berhasil, sehingga para
ilmuan pada masa itu menjadikannya sebagai referensi utama.
Pada tahun 488 H (1095
M), al-Ghazali meninggalkan Baghdad dan pergii menuju ke Syria untuk merenung,
membaca, dan menulis selama kurang lebih 2 tahun. Namun Al-Ghazali mendapat
desakan dari para penguasa pada waktu itu
yaitu wazir Fakhr Al-Mulk, al-Ghazali kembali mengajar di Madrasah
Nizhamiyah di Naisabur. Akan tetapi pekerjaan tersebut hanya bertahan selama
dua tahun. Ia kembali lagi ke kota Tus untuk mendirikan sebuah madrasah,
Al-Ghazali memilih kota ini sebagai tempat menghabiskan waktu dan energinya
untuk menyebarkan ilmu pengetahuan.
Umumnya
kita mengenal Imam Al Ghazali sebagai
seorang ahli sufi besar, seorang ahli tasawuf yang membenci dunia. Tidak
seorangpun menggambarkannya sebagai seorang politikus yang mempunyai konsepsi
dalam soal kenegaraan dan pemerintahan. Tidak banyak dikenal bahwa Al-Ghazali
membicarakan soal-soal ekonomi apalagi menyebutkan soal-soal perbankan.
Namun
demikian, Al-Ghazali yang hidup pada abad-12 (450-505 H/ 1058-1111M),
membicarakan semuanya itu dengan cara-cara yang logis dan modern, yang
analisisnya masih up to date untuk zaman ini. Bahkan, dia membicarakannya dalam
bukunya Ihya ‘Ulum Ad-Diin, yang
menjadi pegangan bagi ahli-ahli tasawuf.
Akhir
hidup al-Ghazali di Teheran pada 505 H/1111 M, seperti biasanya, ia bangun pagi
pada suatu hari Senin, bersembahyang, kemudian meminta dibawakan peti matinya.
Ia seolah-olah mengusap peti itu dengan matanya dan berkata “apapun
perintah Tuhan, aku telah siap melaksanakannya”. Sambil mengucap kata-kata itu
ia meluruskan kakinya, dan ketika orang melihat wajahnya, Imam besar itu sudah
tiada.
B. KARYA – KARYANYA
Al-Ghazali merupakan
sosok ilmuwan dan penulis yang sangat produktif. Berbagai tulisannya telah
banyak menarik perhatian dunia. Baik dari kalangan muslim maupun non muslim.
Para pemikir Barat Abad pertengahan, seperti Raymond Martin, Thomas Aquinas,
dan Pascal. Ditengarai banyak dipengaruhi oleh pemikiran Al-Ghazali. Pasca
periode sang Hujjatullah ini, berbagai hasil karyanya yang telah banyak di
terjemahkan kedalam berbagai bahasa, seperti
Latin,Spanyol,Yahudi,Prancis,Jerman,dan Inggris, di jadikan referensi oleh
kurang lebih 44 pemikir Barat. Ia juga di perkirakan, telah menghasilkan 300
buah karya tulis yang meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti logika,
filsafat, moral, tafsir, fiqih, ilmu-ilmu Al-Qur’an, tasawuf, politik,
administrasi dan perilaku ekonomi. Namun demikian yang ada hingga kini hanya 84
buah, diantaranya adalah Ihya ‘Ulum
al-Din, al-Munqidz min al-Dhalal,Tahafut al-Falasifah,Minhaj al-‘Abidin,dan
lain sebagainya.
C. PEMIKIRAN EKONOMI
Seperti halnya
para cendekiawan muslim terdahulu, perhatian al-Ghazali terhadap kehidupan
masyarakat tidak terfokus pada satu bidang tertentu, tetapi meliputi seluruh
aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu kita
tidak pernah menemukan karya tulisnya yang khusus membahas ekonomi islam.
Perhatiannya dibidang ekonomi itu terkandung dalam berbagai studi fiqhnya,
karena ekonomi islam pada hakikatnya merupakan bagian yang tak terpisah dari
fiqh islam.
Namun
demikian, pemikiran ekonomi Al-Ghazali didasarkan pada pendekatan tasawuf,
karena pada masa hidupnya, orang-orang
kaya berkuasa dan sarat prestise sulit menerima pendekatan fiqh dan filosofis
yang mempercayainya Yaum al-Hisab
(hari pembalasan). Corak pemikiran ekonominya tersebut
dituangkan dalam kitab Ihya ‘Ulum al-din,al-Mustasfa,Mizan Al-‘Amal,
dan al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk.
Al-Ghazali
dalam bukunya Ihya ‘Ulum Ad-Diin jus
III, hal 291, menyebutkan “hakikat dunia” yang terdiri atas 3 unsur, yaitu
benda-benda (materi), adanya bagian manusia, dan pembangunan. Ia mengatakan,
“ketahuilah, bahwa dunia ibarat dari adanya benda-benda(materi), adanya bagian
masing-masing dunia, dan perlunya masing-masing manusia, dan perlunya
masing-masing manusia sibuk membangun. Inilah tiga unsure yang diperlukan.
Sebagian orang menduga bahwa dunia dapat berdiri dengan salah satu unsure itu,
padahal bukanlah demikian.
Unsur
utama yang dikemukakan Al-Ghazali ialah perlu adanya materi bagi hidup manusia di dunia ini.
Kemudian disusul unsure kedua, yaitu masing-masing orang memiliki bagian dari
segala materi itu. Lalu unsure terakhir yang lebih penting, ialah manusia sibuk
mengadakan pembangunan. Ketiganya tidak boleh dipisahkan, harus saling mengisi,
dan saling berhubungan.
Pada
bagian lain diterangkan bahwa manusia sering lalai dan mempermainkan
unsure-unsur itu, sehingga diperlukan adanya peraturan untuk memelihara dunia
sebaik-baiknya. Al-Ghazali mengataka, “akan tetapi, karena kelalaian dan
kejahilan manusia, Tuhan menjadikan peraturan dalam Negara dan kepentingan
untuk rakyat. Bahkan, semua urusan dunia diberi peraturan karena kelalaian dan
pemikiran yang rendah itu. Kalau semua orang berpikiran sadar dan mempunyai
kemauan, baik tentulah semuanya menjadi orang-orang zuhud, orang-orang suci di
dunia ini. Kalau tidak demikian, terlantarlah segala jalan prekonomian
dan menjadi rusaklah semua manusia,
termasuk kaum zuhud yang suci itu.”
Lalu
Al-Ghazali mengajukan suatu teori saling
ketergantungan yang di zaman kita ini dikenal dengan inter-dependence, “Setiap manusia, dalam kebutuhan hidupnya, saling
bergantung satu sama lain. Kaum produsen yang menghasilkan bahan makanan di
desa memerlukan alat-alat industry yang dihasilkan oleh pabrik di kota, dan
keduanya memerlukan kaum pedagang akan mengusahakan tukar-menukar barang-barang
yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak. Para konsumen memerlukan
barang-barang dari pihak produsen. Mereka menjadi produsen karena menghasilkan
macam-macam barang-barang yang dihasilkan oleh orang lain.”
Itulah sebabnya, Al-Ghazali menyebutkan, demi kepetingan ekonomi, janganlah
semua orang menjadi zuhud, orang suci
yang akan menjauhi barang-barang kebutuhan duniawi, baik sebagai penghasilan
maupun sebagai pemakai. Karena
pekerjaan duniawi itu melalaikan manusia dan menjahilkan mereka, perlu adanya
peraturan untuk menjaga agar tidak terjadi pelanggaran hak masing-masing, baik
peraturan yang datangnya dari perintaah ataupun timbul dari kesadaran dalam
pergaulan (masyarakat) terutama peraturan yang datangnya dari Tuhan.
Pemikiran sosio ekonomi
al-Ghazali berakar dari sebuah konsep yang dia sebut sebagai “fungsi
kesejahteraan sosial islam”. Tema yang menjadi pangkal tolak seluruh karyanya
dalam konsep maslahat atau
kesejahteraan sosial atau utulitas (kebaikan bersama), yakni sebuah konsep yang
mencakup semua aktivitas manusia dan membuat kaitan yang erat antara individu
dengan masyarakat. Seorang poenulis menyatakan bahwa Al-Ghazali telah menemukan
sebuah konsep fungsi kesejahteraan sosial yang sulit diruntuhkan dan yang telah
dirindukan oleh para ekonomi kontemporer (modern). al- Ghazali mengidentifikasikan
semua masalah baik yang berupa masalih (utilitas,manfaat),
maupun mafasid (disutilitas,
kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan sosial.
Selanjutnya,mengidentifikasikan fungsi sosial dalam kerangka hierarki kebutuhan
individu dan sosial.
Al-Ghazali
mengidentiifikasikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam
kerangka sebuah hierarki utilitas individu dan sosial yang tripartite, yakni kebutuhan (daruriat),kesenangan
atau kenyamanan (hajat), dan
kemewahan (tahsinaat). Hierarki
tersebut merupakan sebuah klasifikasi peninggalan tradisi Aristotelian yang
disebut sebagai kebutuhan ordinal yang terdiri dari kebutuhan dasar, kebutuhan
terhadap barang-barang eksternal dan kebutuhan tehadap barang-barang psikis.
Disamping itu,
Al-Ghazali memandang perkembangan ekonomi sebagai bagian dari tugas-tugas kewajiban sosial (fard al-kifayah) yang sudah di tetapkan Allah: jika hal-hal ini
tidak dipenuhi, kehidupan dunia akan runtuh dan kemanusiaan akan binasa. Ia
menegaskan bahwa aktivitas ekonomi harus dilakukan secaraefisien karena
merupakan bagian dari pemenuhan tugas keagamaan seseorang. Selanjutnya ia
jugamengidentifikasikan tiga alasan mengapa seseorang harus melakukan
aktivitas-aktivitas ekonomi yaitu,pertama,
untuk mencukupi kebutuhan hidup yang bersangkutan;kedua, untuk mensejahterakan keluarga;dan ketiga,untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Menurutnya,
tidak terpenuhinya tiga alasan tersebut ini akan dipersalahkan oleh agama.
Al-Ghazali menyatakan
bahwa pendapatan dan kekayaan seseorang berasal dari tiga sumber, yaitu
pendapatan melalui tenaga individual,
laba perdagangan dan pendapatan karena nasib baik. Contoh dari sumber
ketiga adalah pendapatan melalui warisan, menemukan harta terpendam atau
mendapat hadiah. Namun, ia menandaskan bahwa berbagai sumber pendapatan
tersebut harus diperoleh secara sah dan tidak melanggar hukum agama.
Ia bersikap kritis
terhadap keadilan yang dipaksakan dalam hal pendapatan dan kekayaan. Selama
memungkinkan, pembagian kekayaan harus dilakukan secara suka rela, yang lebih
di motivasi oleh kewajiban moral agama terhadap sesama manusia daripada melaliu
kekuasaan negara-walaupun kondisi memerlukan pendapat tersebut.
Beberapa tema ekonomi yang dapat
diangkat dari pemikiran Al-Ghazali antara lain:
1. Pertukaran sukarela dan evolusi pasar
Al-Ghazali
memberikan pembahasan terperinci tentang peranan dan signifikansi perdagangan
yang dilakukan secara sukarela, serta proses timbulnya pasar yang berdasarkan
kekuatan permintaan dan penawaran untuk menentukan harga dan laba. Al-Ghazali
membangun dasar-dasar dari apa yang kemudian dikenal sebagai “semangat
kapitalisme”
Baginya pasar
berevolusi sebagai bagian dari “hukum alam”segala sesuatu yakni sebuah ekspresi
berbagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan
ekonomi. Kedalam dan keluasan perdagangannyadapat kita lihat dari kutipan
berikut:
“Mungkin saja
pertani hidup ketika peralatan pertanian tidak tersedia. Sebaliknya pandai besi
dan tukang kayu hidup ditempat yang tidak memiliki lahan pertanian. Jadi,
petani membutuhkan pandai besi dan tukang kayu, dan mereka pada gilirannya
membutuhkan petani. Secara alami, masing-masing akan ingin untuk memenuhi
kebutuhannya dengan memberikan sebagian miliknya untuk diperlukan. Dapat pula
terjadi tukang kayu membutuhkan alat-alat tersebut. Atau, jika petani
membutuhkan alat-alat, tukang kayu membutuhkan makanan. Keadaan ini menimbulkan
masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk
menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak dan tempat penyimpanan
hasil pertanian dilain pihak. Tempat inilah kemudian didatangi pembeli sesuai
kebutuhannya masing-masing sehingga tebentuklah pasar. Petani, tukang kayu dan
pandai besi yang tidak dapat langsung melakukan barter, juga terdorong pergi
kepasar ini. Bila dipasar juga tidak ditemukan orang yang mau melakukan barter,
ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang relatif murah untuk disimpan
sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tinkat
keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang”.
Secara
eksplisit, Al-Ghazali juga menjelaskan tentang perdagangan religion sebagai
berikut:
“selanjutnya praktik-praktik ini terjai diberbagai kota
dan negara. Orang-orang melakukan perjalanan keberbagai tempat untuk
mendapatkan alat-alat dan makanan dan membawanya ketempat lain. Urusan ekonomi
orang akhirnya diorganisasikan kekota-kota yang mungkin tidak memiliki
alat-alatyang dibutuhkan, dan kedesa-desa yang mungkin tidak memiliki semua
bahan makana yang tidak dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada gilirannya
menimbulkan kebutuhan alat transportasi. Terciptanya kelas pedagang religional
dalam masyarakat. Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para pedagang ini
bekerja keras memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapat keuntungan dan
keuntungan ini akhirnya dimakan oleh orang lain juga.”
Dengan
demikian Al-Ghazali jelas-jelas menyatakan “mutualitas” dalam pertukaran
ekonomi, tang mengharuskan spesialisasi dan pembagian kerja menurut daerah dan
sumberdaya. Selanjutnya ia menyadari bahwa kegiatan perdagangan memberikan
nilai tambah terhadap barang-barang karena perdagangan membuat barang-barang
dapat dijangkau pada waktu dan tempat yang tepat. Didorong olrh kepentingan
pribadi orang-orang, pertukarang menimbukan penyebab timbulnya perantara yang
mencari laba,yakni pedagang.
a.
Permintaan, penawaran, harga, dan laba
Sepanjang
tulisannya Al-Ghazali berbicara mengenai “harga yang berlaku, seperti yang
ditentukan oleh praktik-praktik pasar”,sebuah konsep yang dikemudian hari
dikenal sebagai al-tsaman al-adil
(harga yang adil) dikalanga ilmuan muslim atau equilibrium price (harga keseimbangan) dikalangan ilmuan eropa
kontemporer.
Al-Ghazali
menujukkan kurva penawaran yang ber-slope
positif ketika menyatakan bahwa jika petani tidak membelikan dari
peroduk-produknya maka ia akan menjual apada harga yang terendah.
Ia juga memiliki
wawasan mengenai konsep elastisitas permintaan ketika menyatakan bahwa
pengurangan margin keuntungan dengan mengurangi harga lkan menyebabkan
peningkatan penjualan, dan karenanya terjadi peningkatan laba. Ia juga menadari
permintaan “harga inelastis”. Dalam hal ini, ia menjelakan bahwa karena
merupakan kebutuhan pokok, maka motivasi laba harus seminimal mungkin mendorong
perdagangan makanan, karena dapat terjadi eksploitasi melaui penerapan tingkat
harga dan laba yang berlebihan. Berkaitan dengan hal ini, ia menyatakan bahwa
laba normal seharusnya berkisar antara 5 sampai 10 persen dari harga barang.
b. Evolisi Pasar
Bagi al-Ghazali, pasar merupakan bagian dari
“keteraturan alami”. Secara rinci, dia juga menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar. Ia
menyatakan bahwa, dapat saja petani hidup di mana alat-alat pertanian tidak
tersedia. Sebaliknya pandai besi dan tukang kayu hidup di mana lahan pertanian
tidak ada. Namun secara alami, mereka akan saling memenuhi kebutuhan
masing-masing. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan makanan, tetapi
petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut atau sebaliknya. Keadaan ini
menimbulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong
untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak dan tempat
penyimpanan hasil pertanian di pihak lain. Tempat inilah yang kemudian
didatangi pembeli sesuai kebutuhannya masing-masing sehingga terbentuklah
pasar. Petani, tukang kayu, dan padai besi yang tidak dapat langsung melakukan
barter, juga terdorong pergi ke pasar ini. Bila di pasar juga tidak ditemukan
orang yang mau melakukan barter, ia akan menjual pada pedagang dengan harga
yang relatif murah untuk kemudian disimpan sebagai persediaan. Pedagang
kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk
setiap jenis barang.
Selanjutnya praktek-praktek ini terjadi di berbagai
kota dan negara. Orang-orang melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk
mendapatkan alat-alat makanan dan membawanya ke tempat lain. Urusan ekonomi
orang akhirnya diorganisasikan ke kota-kota di mana tidak seluruh makanan
dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada gilirannya menimbulkan kebutuhan terhadap
alat transportasi. Terciptalah kelas pedagang regional dalam masyarakat.
Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras
memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapatkan keuntungan, dan keuntungan ini
akhirnya dimakan oleh orang lain juga.
Al-Ghazali juga memperkenalkan teori permintaan dan
penawaran; jika petani tidak mendapatkan pembeli, ia akan menjualnya pada harga
yang lebih murah, dan harga dapat diturunkan dengan menambah jumlah barang di
pasar. Ia juga memperkenalkan elastisitas permintaan, ia mengidentifikasi permintaan
produk makanan adalah inelastis, karena makanan adalah kebutuhan pokok. Oleh
karena dalam perdagangan makanan motif mencari keuntungan yang tinggi harus
diminimalisir. Jika ingin mendapatkan keuntungan tinggi dari perdagangan,
selayaknya dicari barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.
Bagi Ghazali, keuntungan adalah kompensasi dari
kepayahan perjalanan, risiko bisnis, dan ancaman keselamatan diri si pedagang.
Walaupun, ia tidak setuju dengan keuntungan yang berlebih untuk menjadi
motivasi pedagan. Bagi Ghazali keuntunganlah yang menjadi motivasi pedagang.
Namun bagi Ghazali, keuntungan sesungguhnya adalah keuntungan di akhirat kelak.
c. Etika perilaku pasar
Dalam
pandangannya , pasar harus berfungsi berdasarkan etika dan moral para pelakunya.
Secara khusus, ia memperingatkan larangan mengambil keuntungan dengan cara
menimbun makana dab barang-barang kebutuhan dasar lainnya. Penimbunan barang
merupakan kedzaliman yang besar, terutama disaat terjadi kelangkaan dan para
pelakunya harus dikutuk.
Ia menganggap
bahwa iklan palsu sebagai salah satu kejahatan pasar yang harus dilarang. Ia
juga memperingatkan para pedagang agar tidak memberikan informasi yang salah
mengenai berat,jumlah atau harga barang penjualannya.
Dalam
pandangannya, pasar harus berjalan dengan bebas dan bersih dari segala bentuk
penipuan.perilaku para pelaku pasar harus mencerminkan kebajikan, yakni
memberikan suatu tembahan di samping keuntungan materian bagi orang lain dalam
bertransaksi.
2. Aktivitas Produksi
Al Ghazali
memberikan perhatian yang cukup besar ketika menggambarkan berbagai macam
aktifitas produksi dalam sebuah masyarakat, termasuk hirarki dan
karakteristiknya. Fokus utamanya adalah tentang jenis aktifitas yang sesuai
dengan dasas-dasar etos islam.
a.
Produksi Barang-barang Kebutuhan Dasar Sebagai Kewajiban
Sosial
Seperti yang
telah dikemukakan, Al Ghazali menganggap kerja adalah sebagai bagian dari
ibadah seseorang. Bahkan secara khusus ia memandang bahwa produksi barang
barang kebutuhan dasar sebagai kewajiban sosial (fard al- kifayah). Hal ini
jika telah ada sekelompok orang yang berkecimpung di dunia usaha yang
memproduksi barang-barang tersebut dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan
masyarakat, maka kewajiban masyarakat telah terpenuhi. Namun jika tidak ada
seorangpun yang melibatkan diri dalam kegiatan tersebut atau jika jumlah yang
diproduksi tidak mencukupi kebutuhan masyarakat semua akan dimintai
pertanggungjawabananya di akhirat. Dalam hal ini, pada prinsipnya negara harus
bertanggung jawab dalam menjamin kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan
barang-barang pokok.
b.
Hierarki Produksi
Secara garis
besar, Al-Ghazali membagi aktifitas produksi kedalam tiga kelompok:
1.
Industri dasar, yakni
industri-industri yang menjaga kelangsungan hidup manusia.
2.
Aktivitas penyokong, yaitu
aktifitas yang bersifat tambahan bagi industri dasar.
3. Aktivitas komplementer, yaitu aktivitas yang berkaitan dengan industri dasar.
Kelompok
pertama adalah kelompok yang paling penting dan peranan pemerintah sebagai
kekuatan mediasi dalam kelompok ini cukup krusial. Ketiga kelompok ini harus
ditingkatkan secara aktif untuk menjamin keserasian lingkungan sosioekonomi.
c.
Tahapan Produksi, Spesialisasi, dan Keterkaitannya
Adnya tahapan
produksi yang beragam sebelum produk tersebut dikonsumsi. Tahapan dan keterkaitan
produksi yang beragam mensyaratkan adanya pembagian kerja, koordinasi, dan
kerja sama. Beliau juga menawarkan gagasan mengenai spesialisasi dan saling
ketergantungan dalam keluarga.
Al-Ghazali
mengidentifikasi tiga tingkatan persaingan, yakni persaingan yang wajib yaitu
persaingan yang berhubungan dengan kewajiban agama dalam rangka memperoleh
keselamatan. Persaingan yang disukai yaitu yang berhubungan dengan perolehan
barang kebutuhan pokok, pelengkap, dan juga membantu pemenuhan kebutuhan orang
lain. Sedangkan persaingan yang tidak diperbolehkan yaitu yang berhubungan
dengan barang-barang mewah. Namun demikian, ia menegaskan bahwa persaingan
jangan sampai mengakibatkan kecemburuan dan melanggar hak orang lain.
3. Barter dan Evolusi Uang
Al-Ghazali melanjutkan uraiannya, “Karena adanya perdagangan, tibulah
kebutuhan akan adanya dua mata uang. Orang yang akan membeli makanan dengan
kain, dari makanan ia mengetahui nilai yang sama untuk harga makanan itu,
sedangkan pergaulan menghendaki terjadinya jual beli antara barang yang
berbeda, seperti kain dengan makanan, hewan dengan kain. Padahal harga-harga
itu tidak sama harga atau nilainnya.”
a.
Problema Barter dan Kebutuhan Terhadap Uang
Al-Ghazali
mempunyai wawasan terhadap mengenai berbagai problema barter yang dalam istilah
modern disebut sebagai:
1) Kurang memiliki angka penyebut yang
sama (Lack of common denominator)
2) Barang tidak dapat dibagi-bagi
(Indivisibility of goods)
3) Keharusan adanya dua keinginan yang
sama (double coincidence of wants)
Pertukaran
barter menjadi tidak efisien karena adanya perbedaan karakteristik
barang-barang. Al-Ghazali menegaskan bahwa evolusi uang terjadi hanya karena
kesepakatan dan kebiasaan (konvensi) yakni tidak akan ada masyarakat tanpa
pertukaran barang dan tidak ada pertukaran yang efektif tanpa ekuivalensi, dan
ekuivalensi demikian hanya dapat ditentukan dengan tepat bila ada ukuran yang
sama.
b. Definisi uang
Dalam
karyamya, Ihya, al-Ghazali menyadari
betapa pentingnya peranan mata uang dalam sebuah sistem perekonomian. Dia
menyatakan bahwa, setiap manusia memerlukan bermacam-macam materi dalam hal
kebutuhan sandang pangan dan kebutuhan lainnya. (tapi) terkadang ia tidak mampu
menemukan kebutuhan-kebutuhan tersebut sedangkan saat itu ia memiliki barang
yang sedang tidak ia butuhkan. Karena itu diperlukan adanya suatu alat tukar
(uang) dan alat pengukur nilai bagi benda-benda yang akan dipertukarkan. Karena
tidak mungkin seseorang yang memiliki unta menyerahkan unta yang dimilikinya
(hanya) untuk mendapatkan za’faran.
Lagi pula tidak ada korelasi antara za’faran
dengan unta yang dapat menunjukkan perbandingan harga antara keduanya.
Kesulitan
yang digambarkan dalam ungkapan al-Ghazali tersebut akan nampak sekali dalam
sebuah perekonomian yang masih menggunakan sistem barter dalam setiap
transaksinya. Kesulitan-kesulitan tersebut meliputi double bahkan multiple
coincidence of wants, yaitu harus ada pertemuan kebutuhan yang saling
bersesuaian antara dua orang yang akan melakukan transaksi dengan barang yang
dimiliki masing-masing pihak. Kesulitan lain adalah dalam hal valuation, yaitu dalam hal menentukan
perbandingan nilai atau harga dari dua jenis barang yang akan dipertukarkan,
misalnya satu kilogram beras dengan seekor sapi, tentu nilainya tidak sebanding
dan untuk menentukan perbandingan nilainya tidak mungkin sapi tersebut harus
dipotong-potong menjadi bagian kecil yang setara dengan nilai beras tersebut.
Kesulitan berikutnya adalah antara kedua orang yang mempunyai kepentingan yang
bersesuaian tersebut, dengan barang yang dimiliki keduanya, serta dengan ukuran
perbandingan nilai yang sudah diketahui harus bertemu dalam suatu tempat untuk
melakukan transaksi. Disamping itu sistem pertukaran langsung atau barter
membatasi pilihan bagi pihak-pihak yang melakukan. Karena itulah ditemukannya
mata uang dalam dunia perekonomian merupakan suatu revolusi besar yang tidak
hanya dapat mengatasi kesulitan dalam perekonomian barter, tetapi juga membawa
perkembangan yang sangat signifikan.
Dalam
pandangan al-Ghazali, uang adalah nikmat Allah (barang) yang dipergunakan
masyarakat sebagai mediasi atau alat untuk mendapatkan bermacam-macam kebutuhan
hidupnya, yang secara substansial tidak memiliki nilai apa-apa, tetapi sangat
dibutuhkan manusia dalam upaya pemenuhan bermacam-macam kebutuhan mereka
(sebagai alat tukar).
Dari
pernyataan tersebut dapat diambil suatu definisi uang menurut al-Ghazali, yaitu
uang adalah:
1.
Barang atau benda yang berfungsi sebagai sarana mendapatkan barang
lain. Dengan kata lain uang adalah barang yang disepakati fungsinya sebagai
media pertukaran (medium of exchange).
2.
Benda tersebut dianggap tidak mempunyai nilai sebagai barang (nilai
intrinsik).
3.
Nilai benda yang berfungsi sebagai uang ditentukan terkait dengan
fungsinya sebagai alat tukar. Dengan kata lain yang lebih berperan dalam benda
yang berfungsi sebagai uang adalah nilai tukar dan nilai nominalnya.
Karena
itu ia mengibaratkan uang sebagai “cermin yang tidak mempunyai warna sendiri
tapi mampu merefleksikan semua jenis warna”.
Dengan melihat kriteria tersebut di atas dapat dilihat bahwa dalam memberikan
definisi uang, al-Ghazali tidak hanya menekankan pada aspek fungsi. Definisi
yang demikian lebih komprehensif dibanding dengan batasan-batasan yang
dikemukakan oleh kebanyakan ekonom konvensional.
c. Teori Evolusi Uang
Al-Ghazali
juga menyadari bahwa uang tidak ditemukan dengan begitu saja. Penggunaannya
dalam sistem ekonomi melalui proses yang panjang. Secara panjang lebar teori
evolusi uang dalam pandangan al-Ghazali adalah materi yang paling penting
adalah makanan kemudian pemukiman sebagai tempat tinggal manusia. Demikian pula
tempat-tempat vital lain seperti pasar, lahan pertanian sebagai sumber
penghidupan. Selanjutnya pakaian, peralatan rumah tangga, alat transportasi,
peralatan berburu, peralatan pertanian dan perang. Kemudian timbullah tuntutan
kebutuhan terhadap jual beli. Kemudian timbullah kebutuhan akan mata uang.
Sebab seseorang yang hendak membeli makanan dengan sepotong pakaiannya,
bagaimana mungkin mengetahui kadar perbandingan antara pakaian dan makanan
tersebut.
Dengan
keadaan yang seperti itu maka harus ada “hakim yang adil” sebagai perantara
antara dua orang yang bertransaksi tersebut, yang dapat membandingkan
(kebutuhan) antara yang satu dengan yang lain. Dengan demikian diperlukan suatu
benda yang tahan lama karena transaksi akan berlangsung selamanya. Dan benda
yang tahan lama tidak lain adalah bahan-bahan tambang (logam). Maka dibuatlah
uang dari bahan emas, perak, dan tembaga.
Dalam
ekonomi konvensional dikenal beberapa teori tentang penemuan uang, antara lain
teori sejarah, teori kedaulatan atau penetapan penguasa, teori konvensi dan
lain-lain. Teori sejarah menjelaskan bahwa dipergunakannya uang oleh suatu masyarakat pada
dasarnya melalui proses dan tahapan-tahapan tertentu. Kemudian Knapp dan Keynes
menyempurnakan dengan menunjukkan realitas bahwa selama belum mendapatkan
pengakuan yang resmi dari penguasa, suatu benda yang berfungsi sebagai alat tukar
dalam masyarakat luas sekalipun, belum dapat disebut sebagai uang, karena itu
teori tersebut disebut dengan teori negara. Kemudian Davanzati dan Montanri
yang secara ringkas menyatakan bahwa uang dibentuk oleh masyarakat berdasarkan
mufakat atau konvensi.
Meskipun al-Ghazali dalam memberikan definisi tentang uang tidak
menyebutkan harus disyahkan oleh penguasa, tetapi pada bagian lain ia
mengharuskan pencetakan uang, pengesahan dan penetapan harganya hanya boleh
dilakukan oleh pemerintah atau institusi resmi yang ditinjuk untuk itu. Ini
merupakan kenyataan bahwa dia tidak mengingkari bahwa suatu barang tidak dapat
berfungsi sebagai uang sebelum mendapatkan pengesahan dari pemerintah, meskipun
seandainya masyarakat telah menggunakannya dalam proses transaksi secara luas.
Al-Ghazali
menjelaskan bagaimana uang mengatasi permasalahan yang timbul dari suatu
pertukaran barter, akibat negatif dari pemalsuan dan penurunan nilai mata uang,
serta observasi yang mendahului observasi serupa beberapa abad kemudian yang
dilakukan oleh Nicholas Oresme, Thomas Gresham, dan Richard Cantilon.
Sejarah membuktikan bahwa pada zaman sebelum Nabi, orang Arab sudah
mengenal adanya mata uang, tetapi semuanya dari luar. Mereka mengenal mata uang emas, yaitu dinar dari Romawi dalam perdagangan
mereka ke utara (Syria), dan mengenal mata uang perak yaitu dirham dari Persi
dalam perdangan mereka ke selatan (Yaman). Barulah pada tahun ke-15 H, 4 tahun
sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW Khalid bin Walid, pahlawan Islam terkenan
itu membuat mata uang sendiri di Thabariyah, daerah Syria. Ia melukisnya ada
tulisan dengan huruf Yunani BON.
d. Jenis Mata Uang
Mata
uang yang berlaku pada masa al-Ghazali terbuat dari emas dan perak, yaitu dinar
dan dirham, yang merupakan bahan terbaik untuk membuat mata uang. Dalam sejarah
ekonomi modern, dipilihnya emas dan perak sebagai bahan mata uang memiliki
kelebihan tersendiri dibandingkan dengan bahan-bahan yang lainnya. Sebab kedua
bahan tersebut dinilai memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai uang.
Meskipun emas dan perak dianggap sebagai bahan terbaik untuk dijadikan
uang, tetapi menurut al-Ghazali hal tersebut bukanlah sebuah keharusan. Menurutnya boleh saja mata uang terbuat dari benda selain emas dan
perak, tetapi pemerintah harus dapat menjaga dan mengendalikan stabilitas
nilainya.
e. Nilai Uang
Menurut al-Ghazali uang hanya dibuat sebagai standar
harga barang dan alat tukar, maka uang tidak memiliki nilai intrinsik. Atau
lebih tepatnya nilai intrinsik suatu mata uang yang ditunjukkan oleh real existencenya dianggap tidak pernah
ada. Uang yang terbuat dari emas dengan nilai nominal satu US$ sama nilainya
dengan uang kertas dengan nilai nominal yang sama. Sehingga seolah-olah nilai
emas bahan uang tersebut sama dengan kertas bahan uang dengan nominal yang
sama, atau dapat dikatakan nilai emas dan kertas tersebut dianggap tidak pernah
ada. Ia beralasan jika uang memiliki nilai intrinsik, maka tidak akan dapat
berfungsi sebagai alat tukar, karena nilainya akan berbeda-beda tergantung dari
bahan pembuatnya. Setiap barang mungkin diperlukan bendanya untuk memenuhi
suatu kebutuhan. Tetapi uamg tidak diperlukan bendanya dalam arti yang menjadi
motif permintaannya adalah kemampuan daya beli yang terkandung di dalam uang
itu.
f. Fungsi Uang
Al-Ghazali menjelaskan beberapa fungsi yang dimiliki
uang, yaitu sebagai berikut.
1. Qiwam ad-dunya, artinya bahwa uang merupakan alat yang
dapat digunakan untuk menilai barang sekaligus membandingkannya dengan barang
lain.
2. Alat at-tabadul, adalah bahwa
uang merupakan sarana pertukaran barang dalam suatu transaksi.
3. Sarana pencapaian tujuan dan untuk mendapatkan barang-barang lain.
g. Uang yang Tidak Bermanfaat dan
Penimbunan Bertentangan dengan Hukum Ilahi
Uang tidak
diinginkan karena uang itu sendiri. Uang baru akan memiliki nilai jika
digunakan dalam pertukaran. Ghazali menyatakan bahwa salah satu tujuan emas dan
perak adalah untuk dipergunakan sebagai uang. Beliau juga mengutuk mereka yang
menimbun keping-kepingan uang.
h. Pemalsuan dan Penurunan Nilai
Uang
Uang dapat
diproduksi secara pribadi hanya dengan membawa emas dan perak yang sudah
ditambang ke percetakan. Standar uang komoditas, dulunya muatan logam suatu
koin sama nilainya dengan nilai koin tersebut sebagai uang. Jika ditemukan emas
dan perak lebih banyak, persediaan uang akan naik. Harga juga akan naik, dan
nilai uang akan turun.
Perhatiannya
ditujukan pada problem yang muncul akibat pemalsuan dan penurunan nilai, karena
mencampur logam kelas rendah dengan koin emas atau perak, atau mengikis muatan
logamnya. Pemalsuan uang bukan hanya dosa perorangan tetapi berpotensi
merugikan masyarakat secara umum. Penurunan nilai uang karena kecurangan
pelakunya harus dihukum.
Namun, bila
pencampuran logam dalam koin merupakn tindakan resmi negara dan diketahui oleh
semua penggunanya, hal ini dapat diterima. Beliau membolehkan kemungkinan uang
representatif (token money) yang disebut sebagai teori uang feodalistik yang
menyatakan bahwa hak bendahara publik untuk mengubah muatan logam dalam mata
uang merupakan monopoli penguasa foedal.
i.
Larangan Riba
Bagi
Al-Ghozali larangan riba yang dipandang sama dengan bunga adalah mutlak.
Seperti halnya para ilmuan Muslim dan Eropa, pada umumnya mengasumsikan bahwa
nilai suatu barang tidak terkait dengan berjalannya waktu. Terdapat dua cara
bunga dapat muncul dalam bentuk yang tersembunyi. Bunga dapat muncul jika ada
pertukaran emas dengan emas, tepung dengan tepung, dan sebagainya, dengan
jumlah yang berbeda atau dengan waktu penyerahan yang berbeda. Jika waktu
penyerahan tidak segera dan ada permintaan untuk melebihkan jumlah komoditi,
kelebihan ini disebut riba al-nasiah. Jika jumlah komoditas yang diperlukan
tidak sama, kelebihan yang diberikan dalam pertukaran tersebut disebut riba
al-fadl. Menurut Ghazali kedua bentuk transaksi tersebut hukumnya haram.
Jika
pertukaran melibatkan komoditas dengan jenis yang sama, seperti logam (emas dan
perak) atau bahan makanan (gandum atau gerst), hanya riba al-nasiah yang
dilarang, sementara riba al-fadl diperbolehkan. Bila peukarannya antara
komoditas dengan jenis yang berbeda (logam dan makanan) keduanya diperbolehkan.
4.
Perlu adanya transportasi
Imam Al-Ghazali mengikuti perkembangan ekonomi selanjutnya: “bukan mustahil
bahwa antara kota dan desa terjadi perjalanan pulang pergi, untuk membeli bahan
produksi pangan dari desa dan membeli alat-alat industry dan keperluan sandang
dari kota. Mereka harus
saling memindahkan barang-barang itu dan menjadikan usasa itu sebagai mata
pencaharian, sehingga kota mempunyai semua alat-alat industry, dan desa
menghasilkan semua macam produksi pangan. Dalam hal ini, diperlukan adanya
pengangkutan, untuk membawa segala barang-barang kebutuhan itu.”
Adapun
bergerak untuk pengangkutan ini ialah keinginan untuk mengumpulkan
barang-barang yang sudah pasti mendatangkan kepayahan sepanjanh siang dan malam
dalam perjalanan. Mereka mencari-cari barang yang diperlukan dan beresiko yang
harus dipikulnya ialah adanya perampokan dalam perjalanan, atau kezaliman para
penguasa dalam menetapkan cukai (yang tinggi).
Tidak
semua pedagang keliling mempunyai transportasi sendiri, sehingga ia memerlukan
kendaraan orang lain untuk membawa barang-barang dagangannya. Dengan demikian,
timbullah transaksi lain yang dinamakan sewa
menyewa, yang di dalam hukum islam dinamakan Ijarah, dan juga upah-mengupah serta gaji-menggaji, yang dinamakan kira. Semua itu menjadi mata pencaharian
kusus pula dalam perkembangan ekonomi.
Dalam membicarakan soal transaksi ini, Tuhan telah memperingatkannya dalam
surat Quraisy, bahwa kaum Quraisy
Mekah mendapat kelonggaran besar dalam perdagangannya dengan luar negeri pada
musim dingin di utara, yaitu daerah Syam (Syria sekarang). Empat bangsa (daerah) yang berhubungan dengan Quraisy adalah Syria,
Persia, Yaman, dan Ethiopia.
Mengenai
alat-alat transportasi pada mulanya kendaraan yang digunakan masih tertarik
oleh hewan, kemudian berubah mengikuti perkembangan hubungan ekonomi. Sesudah
beribu-ribu tahun hidup dalam kampong yang primitive, yang setiap orang tidak
ada kecualinya, memeras tenaga untuk menghasilkan makanan, pakaian, dan
perumahan, yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup semata, maka dalam
waktu hurang dari satu abad saja, penduduk hamper seluruh dunia Barat telah
menjadi pemakai barang-barang dagangan.
Perubahan
yang diciptakan oleh industrialisasi begitu revolusioner sehingga tidak ada
bandingannya dalam sejarah kebudayaan mana pun juga.
Memang
benar pendapat Emery Reves bahwa selama masa 10.000 tahun, transportasi baru
dijalankan oleh hewan dan perubahan besar baru terjadi pada abad ke-19. Pada
Al-Ghazali juga diakuinya sendiri, hewan adalah satu-satunya kendaraan di
daratan, di samping adanya kapal-kapal untuk pengangkutan di lautan. Peristiwa
ini disebutkan juga dalam surat Az-zukhruf ayat 12 – 14, An-Nahl ayat 5 – 8,
dan Yasin ayat 4 – 44, yaitu adanya kendaraan hewan di daratan, yaitu kuda,
unta, keledai, dan kewan-hewan kendaraan adanya kapal di lautan.
Akan
tetapi semua ayat itu sudah menjadikan adanya kendaraan lain yang akan menjadi
transportasi manusia. Dalam surat Al-Isra ayat 70, disebutkan bahwa memiliki
alat transportasi di darat dan di laut menjadi kehormatan besar bagi manusia,
dibandingkan dengan segala makhluk yang lainnya. Di samping itu, ada
pula transportasi lain, yang disebutkan sebagai berikut:
a)
Dalam surat An-Nahl ayat 8 disebutkan:
Artinya:
نَ تَعْلَمُوْ لَا مَا يَخْلُقُ وَ
“Dan Tuhan bakal menjadikan pengangkatan yang belum kamu ketahui.”
b)
Dalam surat Yasin ayat 42 ditegaskan:
Artinya:
نَ كَبُوْ يَرْ مَا مِثْلِهِ مِنْ لَهُمْ خَلَقْنَا وَ
“Dan
kamu ciptakan untuk mereka yang akan mereka kendarai seperti bahtera itu.”
5.
Ekonomi Jasa
Sesudah
munculnya transportasi sebagai satu cabang ekonomi penting, lahirlah cabang
usaha lain yang dinamakan ekonomi jasa.
Segala
barang dagangan yang harus diangkut tidak mampu diangkut dengan tenaga manusia
sendiri. Untuk itu, diperlukan alat pengangkut (hewan kendaraan) untuk
mengangkut barang-barang itu. Tidak semua pedagang yang mempunyai alat
kendaraan sehingga timbullah transaksi antara si pedagang dengan pemilik
kendaraan yang dinamakan ijarah
(sewa-menyewa). Lalu, pekerjaan sewa-menyewa, upah-mengupah dengan
gaji-menggaji menjadi suatu cabang perekonomian pula.
Perkembangan ekonomi meningkat pada hubungan jasa di antara manusia, yaitu
antara pemilik barang dagangan dengan pemilik kendaraan, dan selanjutnya antara
pengusaha atau pedagang yang memiliki modal dan buruh yang mempunyai tenaga. Hubungan inilah yang dalam istilah hokum fiqh islam dinamakan Ijarah atau menurut Al-Ghazali Kira.
Karena
ini berlaku dalam segala bidang dan lapangan ekonomi yang meliputi seluruh
kepentingan hidup manusia, hubungan kerja menjadi suatu mata pencaharian
manusia yang penting. Pada mulanya hanya di kalangan pemilik harta dengan
pemilik kendaraan sehingga terjadi sewa-menyewa, tetapi kemudian terjadilah
perkembangan baru antara si pemilik, baik pedagang ataukah pemilik kendaraan
dengan kuli atau pekerjaan yang mengangkat barang mereka ke dalam kendaraan.
Kemudian karena usaha masing-masing bertambah besar, mereka memerlukan pekerja
atau pegawai yang akan menjalankan perusahaannya baik dalam bidang administrasi
maupun lapangan operasional.
Terjadilah
hokum hubungan kerja antara pemilik modal dan pekerja yang kemudian terkenal
dengan majikan dengan buruh, pembesar dengan pegawai, dan pengusaha dengan anak
buahnya.
6. Institusi
Perbankan
Imam Al-Ghazali menyebutkan perlu adanya percetakan uang dengan perluanya
usaha perbankan. Bersamaan dengan berdiriny kantor percetakan uang tersebut,
oleh pemerintah, dalam dunia perekonomian muncul kebutuhan lain yang tidak
kurang pentingnya, yaitu institusi perbankan. Dalam tingkatannya yang pertama, institusi ini bertugas menjadi
tempat penukaran mata uang yang berlainan, dan juga sebagai perantara untuk
mengirimkan uang ke daerah-daerah yang lain.
Dunia
Islam di zaman AL-Ghazali sudah mengenal adanya pasar-pasar internasional,
tempat bertemunya segala perdagangan dari berbagai bangsa, dan stasiun
berkumpulnya segala barang dagangan dari Timur dan Barat.
Adapun
mata uang yang diperhunakan di pasar-pasar ialah mata uang emas(dinar), dan
mata uang perak(dirham). Uang dinar beredar di wilayah-wilayah sebelah barat
Negara Islam, sedangkan uang dirham beredar di Irak dan Persi. Akan tetapi,
pada abad ke-4 mulai beredar uang dinar di Irak dan daerah lainnya, sedangkan
diwilayah sebelah timur tetap memakai uang dirham.
Nilai uang dinar adalah 14 dirham, tetapi selalu turun naik dari waktu ke
waktu dan nilainyapun berbeda dari suatu daerah dengan daerah yang lain. Bahkan, nilainya pernah turun menjadi 10 dirham, berbeda 13 dirham,
bahkan naik menjadi 15 dirham.
Berhati-hatilah terhadap riba, karena pekerjaan perbankan selalu menghadapi
persoalan tukar-menukar keuangan dan senantiasa berada di pinggir dosa,
Al-Ghazali berulangkali memperingatkan supaya para banker dan semua orang yang
berhubungan dengan bank, berhati-hati terhadap dosa riba.
7.
Peran Negara dan Keuangan Publik
Negara dan
agama merupakan tiang yang tidak dapat dipisahkan. Negara sebagai lembaga yang
penting bagi berjalannya aktivitas ekonomi. Sedangkan agama adalah fondasinya
dan penguasa yang mewakili negara adalah pelindungnya. Apabila salah satu dari
tiang tersebut lemah, masyarakat akan ambruk.
a.
Perlunya pemerintahan terhadap mata uang
Untuk
mengulangi pembuatan dan penempatan mata uang, Al-Ghazali tidaklah
menyerahkannya kepada kemauan masing-masing golongan dan tidak cukup dengan
keputusan bersama dari masyarakat. Untuk itu, diperlukan adanya instansi resmi
yang akan berdiri dengan adil bagi segala pihak. Kemudian Al-Ghazali
melanjutkan uaiannya:
“Persoalan
ini tidak selamanya sama atau bernilai sama maka diperlukan adanya pengusaha
adil sebagai perantara antara pihak yang berjual-beli. Dalam hal ini, keadilan
sangat dituntut dalam penukaran buarang kebutuhan.
Unsur
pemerintah sebagai instansi resmi yang memberikan keadilan bukanlah berdiri
diluar pagar hubungan ekonomi, tetapi merupaka syarat penting yang tidak dapat
diabaikan. Al-Ghazali menegaskan bahwa tugas pemerintah adalah melakukan
keadilan antara seluruh rakyat yang saling bertukar kepentingan dan kebutuhan
hidup itu.
Pada mulanya dipahami orang bahwa peemrintah hanya diperlukan sekedar
menyediakan mata uang, sedangkan dalam soal ekonomi selanjutnya, pemerintah
hanya sebagai penonton yang membebaskan ekonomi rakyat dengan sepenuhnya tanpa
ikatan apa pun.”
Akan tetapi, Al-Ghazali memajukan karakter pengusaha itu, suatu pemerintah
yang adil aktif menjalankan keadilan dalam hubungan ekonomi baik sebagai
produsen maupun sebagai konsumen seluruh rajyat harus mendapatkan keadilan
dalam ekonominya dan dalam seluruh penghidupan.
Berdasarkan pendapatnya inilah, Al-Ghazali menjalankan suatu konsepsi
politik kenegaraan yang dinamakan Negara moral yang pemerintahannya menyertai
rakyat dalam ekonominya demi tegaknya keadilan dan akhlak dalam segala
lapangan.
b.
Kemajuan Ekonomi Melalui Keadilan, Kedamaian, dan
Stabilitas
Untuk
meningkatkan kemakmuran perekonomian,negara harus menegakkan keadilan,
kedamaian, keamanan, serta stabilitas. Apabila terjadi ketidakadilan dan
penindasan, maka penduduk akan berpindah ke daerah lain dan mereka tentunya
akan meninggalkan sawah dan ladang. Hal itu mengakibatkan pendapatan publik
menurun dan kas negara kosong, sehingga kebahagiaan dan kemakmuran menghilang.
Al-Ghazali
menekankan bahwa negara juga harus mengambil tindakan untuk menegakan kondisi
keamanan secara internal dan eksternal. Diperlukan seorang tentara untuk
melindungi rakyat dari kejahatan. Diperlukan pula peradilan untuk menyelesaikan
sengketa, serta hukum dan peraturan untuk mengawasi perilaku orang-orang agar
mereka tidak berbuat seenaknya.
Al-Ghazali
juga mendukung al-hisabah – sebuah badan pengawas yang dipakai banyak negara
Islam pada waktu itu, dan berfungsi mengawasi praktik pasar yang merugikan. Praktik-praktik
yang perlu diawasi diantaranya seperti timbangan serta ukuran yang tidak benar,
iklan palsu, pengakuan laba palsu, transaksi barang haram, kontrak yang cacat,
kesepakatan yang mengandung penipuan, dan lain-lain.
c.
Keuangan Publik
Al- Ghazali
memberikan penjelasan yang rinci mengenai peran dan fungsi keuangan publik. Ia
memperhatikan kedua sisi anggaran , baik sisi pendapatan maupun sisi
pengeluaran.
1) Sumber- sumber Pendapatan Negara
Berkaitan
dengan berbagai sumber pendapatan negara, Al-Ghazali memulai dengan pembahasan
mengenai pendapatan yang seharusnya dikumpulkan dari seluruh penduduk, baik
muslim maupun non muslim, berdasarkan hukum Islam.
Al- Ghazali
menyebutkan bahwa salah satu sumber pendapatan yang halal adalah harta tanpa
ahli waris pemiliknya, tidak dapat dilacak, ditambah sumbangan sedekahah atau
wakaf yang tidak ada pengelolanya.
Pajak- pajak
yang dikumpulkan dari non muslim berupa Ghanimah, Fai, jaziyah dan upeti atau
amwal al masalih. Ghanimah adalah pajak
atas harta yang disita setelah atau selama perang. Fai adalah kepemilikan yang
diperoleh tanpa melalui peperangan.jaziyah dikumpulkan dari kaum non – muslim
sebagai imbalan dari dua keuntungan : pembebasan wajib militer dan perlindungan
hak- hak sebagai penduduk.
Disamping itu,
Al- Ghazali juga memberikan pemikiran tentang hal- hal lain yang berkaitan
dengan permasalahan pajak seperti administrasi pajak dan pembagian beban
diantara para pembayar pajak.
2) Utang Publik
Dengan melihat
kondisi ekonomi, Al-Ghazali mengzinkan utang publik jika memungkinkan untuk
menjamin pembayaran kembali dari pendapatan dimasa yang akan datang. contoh
utang seperti ini adalah revenue bonds yang digunakan secara luas oleh
pemerintah pusat dan lokal di Amerika Serikat.
3) Pengeluaran Publik
Penggambaran
fungsional dari pengeluaran publik yang direkomendasikan Al- Ghazali bersifat
agak luas dan longgar, yakni penegakan keadilan dan stabilitas negara, serta
pengembangan suatu masyarakat yang makmur. Mengenai pembangunan masyarakat
secara umum Al- Ghazali menunjukkan perlunya membangun infrastruktur
sosioekonomi. Al- Ghazali mengakui “ Konsumsi bersama” dan aspek spill- over
dari barang- barang publik. Di lain tempat ia menyatakan bahwa pengeluaran
publik dapat diadakan untuk fungsi- fungsi seperti pendidikan, hukum dan
administrasi publik, pertahanan dan pelayanan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Dimyati, Ahmad. 2008. Teori
Keuangan Islam “Rekonstruksi Metodologis Terhadap Teori Keuangan Al-Ghazali”.
Yogyakarta: UII Pres
Karim, Adiwarman Aswar. 2001. Ekonomi
Islam Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press
Sudarsono, Heri. 2004. Konsep
Ekonomi Islam “Suatu Pengantar”. Yogyakarta: Ekonisia
Abdullah Zakiy
Al-Kaaf, 2002, Ekonomi Dalam Perspektif Islam, Bandung: Pustka Setia.
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004
Departemen
Agama Republik Indonesia, Alquran dan
Terjemahan, Bandung,
J-Art,2004