MAKALAH
MUKHABAROH
DAN MUZARAAH
Dosen
Pengampu :
Qomarul Huda M.Ag
Disusun
oleh :
Agung Eka Saifudin (2824133003)
Ahmad Ginanjar p. (2824133008)
Amin Saifudin (2824133011)
Febry Bagus Ramadhan (28241330031)
Fefi Kurnia Kansa (2824133032)
KELAS
EKONOMI SYARI’AH A
Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Islam.
Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Tulungagung
Tahun
ajaran 2013/201
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala limpahan Rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
dengan tema “mukhabarah dan muzaraah”.
Makalah ini
berisikan tentang mukhabarah dan muzaraah. Ketika istilah mukhabarah dan
muzaraah banyak diadopsi oleh pihak dalam berbagai bidang kehidupan, orang
dengan mudah menganggap bahwa fiqh muamalah merupakan suatu konsep yang sangat
sederhana. Akhirnya, orang dengan mudah merangkai kata fiqh muamalah dengan permasalahan yang
harus di pecahkan. Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada
kita semua tentang mukhabarah dan muzaraah.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih.
Tulungagung, 25 April 2014
(Penyusun)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
.......................................................................................... 2
DAFTAR ISI
........................................................................................................ 3
BAB 1 PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
...................................................................................... 4
B.
Rumusan Masalah
................................................................................. 4
BAB 2 PEMBAHASAN
A.
Pengertian Muzaraah dan Mukhabarah ................................................ 5
B.
Rukun dan syarat .................................................................................. 6
C.
Landasan Hukum.................................................................................. 7
D.
Diskripsi Daerah
yang dilakuan Observasi............................................ 11
E.
Aplikasi
muzaraah dan mukhobarah..................................................... 12
BAB 3 PENUTUP
A.
Kesimpulan
............................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA
…….................................................................................. 14
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Apabila kita perhatikan kehidupan
masyarakat Indonesia yang agraris. Praktik pemberian imbalan atas jasa
seseorang yang telah menggarap tanah orang lain masih banyak dilaksanakan
pemberian imbalan ada yang cenderung pada praktek muzara’ah dan ada yang
cenderung pada praktik mukhabarah. Hal tersebut banyak dilaksanakan oleh para
petani yang tidak memiliki lahan pertanian hanya sebagai petani penggarap.
Muzara’ah dan mukhabarah ada Hadits yang
melarang seperti yang diriwayatkan oleh (H.R Bukhari) dan ada yang membolehkan
seperti yang diriwayatkan oleh (H.R Muslim). Berdasarkan pada dua Hadits
tersebut mudah – mudahan kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan oleh salah
satu pihak, baik itu pemilik tanah maupun penggarap tanah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian muzaraah dan mukhabarah?
2.
Apa rukun dan syarat muzaraah dan mukhobarah ?
3.
Apa
landasan hukum muzaraah dan mukhabarah?
4.
Bagaimana
aplikasi muzaraah dan mukhabarah ( sistem paroan ) dalam masyarakat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. MUZARA’AH dan MUKHABARAH
1.
Pengertian
Muzara’ah dan Mukhabarah
Muzara'ah berasal dari kata zara'a yang berarti menyemai, menanam,
menaburkan benih. Muzara'ah adalah kerjasama antara orang yang mempunyai tanah
yang subur untuk ditanami dengan orang yang mempunyai ternak dan mampu untuk
menggarapnya, imbalannya berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak atau
persentase dari hasil panen yang telah ditentukan. Muzara
'ah seringkali diidentikkan dengan Mukhabarah.
Di antara keduanya terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut :
Muzara’ah : benih dari pemilik
lahan.
Mukhabarah : benih dari penggarap.
a. Muzra'ah
Suku kata zarab (za-ra-'ain) di
dalam Al Qur'an baik sebagai kata kerja maupun kata benda disebutkan 7 kali.
yang mempunyai arti tanam-tanaman. Surat yang berkait erat dengan akar kata
tersebut adalah surat Al An’aam ayat 141: Dan Dialah yang menjadikan
kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma,
tanam-tanaman yang bermacam -macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa dan
yang tidak sama. Makanlah dan buahnya bila dia berbuah dan tunaikanlah haknya
di hari memetik hasilnya dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih -lebihan.
Dari Abdullah bin Umar, RA, ia
bercerita bahwa Nabi SAW mempekerjakan penduduk Khaibar dengan (upah) seperdua hasil
daerah itu yang berupa buah-buahan dan tanam-tanaman. Beliau memberi para
isteri beliau seratus wasq. yaitu 80 wasq kurma dan 20 wasq gandum. Kemudian
Umar membagi-bagikan tanah Khaibar. Para isteri Nabi disuruh memilih tanah atau
hasil. Di antara mereka yang memilih tanah dan adapula yang memilih wasq.
Aisyah, RA, memilih tanah (Bukhari dan Muslim).
b.
Mukhabarah
Bentuk lain dari muzara'ah adalah
mukbarah. Mukhabarah adalah menyewakan kebun atau ladang dengan pembayaran 1/3
atau 1/4 hasil panennya atau seperberapanya. Dari Thawus, bahwa ia pemah
menyuruh orang lain untuk menggarap ladangnya dengan sistem mukhabarah. Kata
Amru: Saya katakan kepada Thawus, "Hai ayah Abdurrahman! Sebaiknya kau
hindari sistem mukbabarab ini! Karena orang-orang mengatakan bahwa Nabi SAW
melarang mukhabarah." Kata Thawus: "Hai Amru ! Saya telah diberitahu
orang yang lebih tahu tentang itu (yakni: lbnu Abbas, RA) bahwa Nabi SAW tidak
melarang mukhabarah. Beliau hanya bersabda: "Seseorang mempersilakan
saudara muslimnya untuk menggarap tanahnya, tanpa sewa adalah lebih baik
daripada dia memungut sewa tertentu. "(Bukhari dan Muslim).
B. Rukun-rukun Dan Syarat-syarat
Menurut Hanafiah, rukun muzara’ah
ialah akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan pekerja. Secara rinci rukun
muzara’ah menurut Hanafiyah ada empat, yaitu 1) tanah, 2) perbuatan pekerja, 3)
modal, 4) alat untuk menanam.
Syarat-syaratnya ialah sebagai
berikut.
1. Syarat
yang bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
2. Syarat
yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa
saja yang akan ditanam.
3. Halyang
berkaitan dengan perolehan hasil dario tanaman, yaitu; a) bagian masing-masing
harus disebutkan jumlahnya (persentasenya ketika akad), b) hasil adalah milik
bersama, c) bagian antara amil dal malik adalah dari satu jenis barangyang sama
misalnya dari kapas bila malik bagiannya padi kemudian amil bagiannya
singkong,makahalini tidak sah, d) bagian keduabelah pihak sudah dapat
diketahui, e) tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang ma’lum.
4. Hal
yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami yaitu a) tanah tersebut dapat
ditanami, b) tanah tersebut dapat diketahui batas-batasnya.
5. Hal
yang berkaitan dengan waktu syarat-syaratnya ialah a) waktunya telah
ditentukan, b) waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman yang dimaksud,
seperti menanam padi waktunya kurang lebih empat bulan, c) waktu tersebut
memungkinkan duabelah pihak hidupmenurut kenbiasaan.
6. Hal
yang berkaitan dengan alat-alat muzara’ah, alat-alat tersebut disyaratkan berupa
hewan atau yanglainnya dibebankan kepada pemilik tanah.
Menurut Hanabillah, rukun muzaroah
ada satu, yaitu ijab dan kabul boleh dilakukan dengan lafazh apa saja
yangmenunjukkan adanya ijab dan kabul dan bahkan muzaroah sah dilafazh kan
dengan lafazh ijarah.
C. Landasan Syariah
a) AI-Hadils
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa
Rasulullah saw. pernah memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya (waktu itu
mereka masih Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan
dan tanaman.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari
Jabir yang mengatakan bahwa bangsa Arab senantiasa mengolah tanahnya secara muzara'ah dengan rasio bagi hasil
1/3:2/3, 1/4:3/4, 1/2:1/2, maka Rasulullah pun bersabda, "Hendaklah
menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barangsiapa tidak melakukan salah
satu dari keduanya, tahanlah tanahnya. "
491.Qais
bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, dia berkata, ‘Tidak ada satu rumah
Muhajirin pun di Madinah, kecuali mereka menanam di kebun orang-orang Anshar
dengan mendapat- kan sepertiga atau seperempat dari hasilnya.”
492-501.Ali.
Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, al-Qasim, Urwah
ibnuz-Zubair, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali, dan keluarga
Ibnu Sirin melakukan akad muzara'ah.
502.”
Abdurrahman ibnul-Aswad berkata, “Dulu saya berkongsi dengan Abdurrahman bin
Yazid dalam bercocok tanam"
503.Umar
bersepakat dengan orang-orang. jika bibitnya darinya maka dia men- dapatkan
setengah hasilnya. Namun, jika bibitnya dari mereka, maka mereka mendapatkan
sekian dari hasilnya
504.“Hasan
al-Bashri berkata, "Tidak apa-apa, apabila tanahnya milik salah se orang
dari keduanya. lalu keduanya sama-sama mengeluarkan biaya untuk penanamannya.
Maka hasilnya dibagi bersama”
505.Az-Zuhri
juga berpendapat se- bagaimana Hasan al-Bashri.
506.Hasan
al-Bashri berkata, “Tidak apa-apa, memetik kapas dengan mendapatkan setengah
hasilnya.”
507-512.”
Ibrahim, Ibnu Sirin,
Atha‘ al-Hakam, az-Zuhri, dan
Qatadah berkata, ‘Tidak apa-apa memberikan sepertiga atau seperempat dan
sejenisnya dari pakaian hasil tenunan kepada tukang tenun.”
513.Ma’mar
berkata, "Tidak apa-apa ternak dibagi sepertiga atau seperempat hingga
waktu tertentu.”
(Imam
Bukhari mengisnadkan dalam bab ini hadits yang difiwayatkan dari lbnu Umar yang
akan disebutkan pada Bab Ke-17).
b) Ijma
Bukhari mengatakan bahwa telah
berkala Abu Jafar. "Tidak ada satu rumah pun di Madinah kecuali
penghuninya mengolah tanah secara muzara‘ah dengan pembagian hasil 1/3 dan 1/4.
Hal ini telah dilakukan oleh Sayyidina Ali, Sa'ad bin Abi Waqash. Ibnu Mas'ud,
Umar bin Abdul Azis, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, dan keluarga Ali.”
c) Penjelasan
Dalam konteks ini. lembaga keuangan
Islam dapat memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang
plantation atas dasar prinsip bagi hasil dari hasil panen.
D.
DESKRIPSI
DAERAH YANG DILAKUKAN OBSERVASI
Desa Sambirobyong merupakan salah
satu desa yang terletak di Kecamatan Subergempol Kabupaten Tulungagung. Menurut
data yang kami dapat dari balai desa Sambirobyong, luas desa tersebut 336,865
hektar memiliki lahan pertanian 45 hektar sebagai lahan irigasi dan 15 hektar
sebagai lahan teknis, lahan teknis di sini yang dimaksud adalah lahan yang
irigasinya berasal langsung sari sungai dan tidak dapat diukur jumlahnya.
Batas-batas desa ini untuk utara dan timur berbatasan langsung dengan Sungai
Brantas, untuk selatan berbatasan dengan Desa Jabalsari dan barat berbatasan
dengan Desa Bukur. Untuk lahan pemukiman menurut petugas yang kami Tanya
menurut beliau desa tersebut tidak memiliki lahan pemukiman karena menurut
beliau lahan pemukiman disini diartikan sebagai lahan yang disunakan untuk
perumahan.
Untuk komposisi penduduk, desa ini
memilki jumlah penduduk sebesar 5304 orang yang terdiri dai 2672 orang
laki-laki dan 2632 orang perempuan. Untuk jumlah penduduk dari Sekolah Dasar
dan Taman Kanak-Kanak masing-masing berjumlah 363 dan 147 anak. Pekerjaan
penduduk desa tersebut antara lain bertani yang berjumlah 670 orang, wiraswasta
berjumlah 80 orang, pegawai negeri sipil berjumlah 37 orang, pertukangan berjumla
60 orang dan buruh tani yang berjumlah 500 orang.
E.
MUZARAAH
DAN MUKHABARAH DALAM MASYARAKAT
Kami melakukan observasi pada
tanggal 25 April 2014 dan menemukan konsep muzaraah dan mukhabarah dalam
masyarakat pada salah seorang penduduk desa Sambirobyong yang bernama Bapak
Mani dengan alamat ds.Sambirobyong yang memiliki pekerjaan buruh tani dan
pertungan sebagai sampingan, tetapi dalam masyarakat biasa menyebutnya dengan sistem”paroan”.
Sistem “paroan” ini merupakan sistem muzaraah dan mukhabarah yang khas di
Indonesia. Dari beliau, kami mendapatkan beberapa konsep bagi hasil khususnya
dalam bidang pertanian. Menurut beliau, jika pemilik lahan tidak kehilangan
biaya untuk benih dan benih ditanggung penggarap lahan, maka pemilik lahan
mendapatkan sepertiga (1/3) dan penggarap mendapat dua pertiga (2/3) dari hasil
sawah setelah panen dan dalam islam lebih dikenal dengan nama mukhabarah. Dan
jika pemilik lahan kehilangan biaya untuk membeli benih dan penggarap hanya
kehilangan tenaga dan waktu, maka pemilik lahan mendapatkan dua pertiga (2/3)
dan penggarap mendapatkan sepertiga (1/3) dari hasil sawah setelah panen dan
dalam islam lebih dikenal dengan nama muzaraah. Dan kami menemukan sistem
“paroan” yang aplikasi dalam masyarakat pemilik lahan menyumbang lahan dan
sebagian biaya untuk benih dan penggarap menyumbang tenaga, waktu dan sebagian
biaya untuk benih, maka setelah panen antara pemilik dan penggarap mendapatkan
bagian yang sama dari hasil panen yakni 50% - 50%.
Lahan yang dikerjakan beliau 115 ru
dan menurut beliau, saat panen jika proses memanen di buruhkan lagi, maka buruh
tersebut setiap 11 karung hasil panen, buruh mendapatkan 1 karung gabah. Dan
beliau rata-rata mendapat 11 karung gabah dan jika dijual mendapat uang
4.000.000 – 5.000.000. dan sebagian dari hasil tersebut, sebagian beliau
gunakan untuk membeli benih dan obat untuk selanjutnya. Beliau melakukan
pekerjaan / mulai melakukan sistem ini sudah selama 5 tahun dan selama 5 tahun
itu beliau tidak berpindah ke pemilik lahan yang lain / tetap pada satu orang
pemilik lahan. Di desa tersebut ada beberapa komoditas tumbuhan yang dijadikan
produk yang banyak ditanam di sawah, misalnya jagung yang memiliki usia panen 3
bulan, padi yang memiliki usia panen 4 bulan, dan semangka yang memiliki usia
panen 60 hari.
DAFTAR
PUSTAKA
Antonio,Muhammad
Syafi’i. Bank Syaria’ah: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
2007
Nashiruddin,
Muhammad. Ringkasan Shohih Bukhori. Jakarta: Gema Insani Press. 2007
Suhendi, Hendi. Fiqh
Muamalah. Jakarta: Rajawali Press. 2010
Suyanto,Muhammad. Etika dan Strategi Bisnis Nabi Muhammad
SAW. Yogyakarta: CV. Andi Offset. 2008
Dan terimakasih Kepada pihak yang terkait.
0 komentar:
Post a Comment