A.
Pengertian mahabbah
Pengertian mahabbah secara bahasa berasal dari kata ahabba,
yuhibbu, mahabbatan, yang secara harpiah berarti mencintai secara mendalam,
atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi,
jamil shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni
cinta lawan dari benci. Al-mahabbah dapat berarti juga al-wadud,
yakni yang sangat kasih atau penyayang. Selain itu mahabbah dapat pula berarti
kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh
kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual.
Pengertian menurut istilah mahabbah adalah kecintaan yang
mendalam secara ruhiah kepada Tuhan. Pengertian mahabbah secara tasawuf
al-mahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya
adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT, oleh hamba, selanjutnya yang
dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihinya dan yang seeorang
hamba mencintai Allah SWT.
Dilihat dari segi tingkatannya, mahabbah yang dikemukakan
oleh Harun Nasution yang dikutip dari Al-Saray, ada tiga macam, yaitu :
- Mahabbbah
orang biasa, yaitu selalu mengingat Allah dengan berdzikir
- Mahabbah
orang shidiq, yaitu orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesarannya, pada
kekuasaannya dan lain-lain.
- Mahabbah
orang arif, yaitu orang yang tau betul pada Tuhan, cinta ini timbul karena
telah tahu betul pada Tuhan.
` Ketiga tingkatan
mahabbah tersebut tampak menyebutkan suatu proses mencintai yanitu mulai dari
mengenal sifat-sifat tuhan, dengan menyebutnya melalui dzikir dilanjutkan
dengan leburnya diri (fana) pada sifat-sifat Tuhan, dan akhirnya menyatu
kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya
cinta yang terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah.
Ilustrasi tentang cinta juga di kemukakan oleh Ibnu Al-‘Arabi bahwa muhabbah
adalah bertemunya dua kehendak yakni kehendak Tuhan dan kehendak manusia.
Kehendak Tuhan, yakni kerinduannya untuk berTajali dengan alam. Sedangkan
kehendak manusia ialah kembali pada esensinya sebagai wujud mutlak.
B. Tujuan
mahabbah
Tujuan mahabbah yaitu untuk memperoleh kesenangan
batiniah yang sulit dituliskan dengan kata-kata tetapi hanya dapat dirasakan
oleh jiwa. Serta mencintai Tuhan dan berharap dicintai oleh Tuhan.
C. Kedudukan mahabbah
Dibandingkan dengan ma’rifat, roh mahabbah lebih
tinggi tingkatannya dari ma’rifah. Karena ma’rifah merupakan tingkat pengetahuan pada tuhan
melalui mata hati (al-qolb) sedangkan mahabbah adalah perasaan kedekatan
dengan tuhan melalui cinta. Oleh karena itu menurut Al-Gazali mahabbah merupakan
manifestasi ma’rifah kepada Tuhan. Diantara ulama ada yang menempatkan muhabbah sebagai
bagian dari muqomat tertinggi yang merupakan puncak pencapaian para sufi.
Muhabbah (cinta), mengandung arti keteguhan dan kemantapan. Seseorang yang
sedang dilanda rasa cinta pada sesuatu tidak akan beralih atau berpaling pada
suatu yang lain.
D. Alat untuk mencapai mahabbah
Para ahli tasawuf menggunakan pendekatan psikologi yaitu
pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia.
Menurut Harun Nasution alat untuk mencapai mahabbah ada tiga alat yang dapat
dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan.
- Al-qolb, yaitu hati
sanubari, sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat tuhan.
- Roh, yaitu
sebagai alat untuk mencintai Tuhan.
- Sir, yaitu alat
untuk melihat Tuhan. Sir lebih halus dari pada roh dan roh lebih halus
dari pada qolb.
Menurut Harun Nasution bahwa alat untuk memperoleh ma’rifah
oleh sufi disebut sir. Dengan keterangan tersebut, dapat diketahui
bahwa alat untuk mencintai tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan
dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu,
melainkan hanya diisi oleh cinta kepada tuhan.
Roh yang digunakan untuk mencintai tuhan itu telah dianugrahkan
tuhan kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandunagn ketika berumur empat
bulan.
E. Tokoh yang mengembangkan mahabbah
Hampir seluruh literatur bidang tasawuf menyebutkan bahwa
tokoh yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah robi’ah al-adawiyah. Robi’ah
al-adawiyah adalah seorang jahid perempuan yang amat besar dari Basyrah, di
Iraq. Ia hidup antara tahun 713-801 H, ia meninggal dunia dalam tahun 185 H /
796 M. Menurut riwayat ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan dalam
hidup selanjutnya ia banyak beribadat, bertaubat dan menjauhi hidup. Ia hidup
dalam kesederhanaan dan menolak segala bantuan material yang diberikan orang
kepadanya, ia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari tuhan ia
betul-betul hidup dalam keadaan juhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.
G. Mahabbah dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits
Paham mahabbah sebagaimana disebutkan diatas mendapat tempat
didalam al-Qur’an. Banyak ayat-ayat al-qur’an yang menggambarkan bahwa antara
manusia dengan tuhan dapat saling bercinta.Seperti Q.S. Ali-Imran : 30 yang
artinya “jika kamu cinta kepada Allah, maka turutlah aku dan Allah akan
mencintai kamu”. Dan dalam Q.S. Al- Maidah : 54, yang artinya “Allah akan
mendatangkan suatu umat yang dicintaiNya dan yang mencintaiNya”.
Di dalam hadits juga dinyatakan “Hambaku senantiasa
mendekatkan diri kepada ku dengan perbuatan perbuatan hingga Aku cinta padanya.
Orang yang Kucintai menjadi telinga, mata dan tanganku.”
Kedua ayat dan satu hadits tersebut bahwa antara manusia dan
tuhan dapat saling mencintai karena alat untuk mencintai Tuhan yaitu roh adalah
berasal dari roh tuhan. Ayat dan hadits tersebut juga menjelaskan bahwa pada
saat terjadi mahabbah diri yang diCintai telah menyatu dengan yang mencintai
yang digambarkan dalam telinga, mata, dan tangan Tuhan. Dan untuk mencapai
keandaan tersebut dilakukan dengan amal ibadah yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh.
Nata,M.A, Prof. Dr. H. Abudin, akhlak tasawuf, Jakarta; rajawali
pers, 2009
Hasyim, Muhammad, dialog antara tasawuf dan psikologi, Yokyakarta;
pustaka pelajat offset, 2002
0 komentar:
Post a Comment