Saturday, December 12, 2015

Update Pengisian SPT PPh WP Orang Pribadi (Formulir 1770)

Assalamualaikum Sahabat Wajib Pajak...
Kali ini akan saya sampaikan tentang bagaimana cara pengisian SPT PPh WP OP untuk tahun 2015, tapi sebelumnya akan saya kupas sedikit tentang apa itu SPT? Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) merupakan formulir yang digunakan Wajib Pajak untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran PPh, objek pajak PPh, bukan objek pajak PPh, harta dan kewajiban.
Kemudian dimana kita bisa melakukan pembayaran tersebut ? Langsung saja perhatikan gambar dibawah :


Masuk pada cara pengisisan Formulir 1770
Tanggal 11 Desember 2015, dari pengalaman pribadi ada banyak perubahan yang terjadi pada pengisian Formulir 1770. diantaranya adalah
   1. Formulirnya itu sendiri. Bisa dilihat di :
         a. http://www.pajak.go.id/mts_download_tree/page/48
         b. kantor pajak terdekat.
   2. Prosedur pengisiannya
         a. Tahun 2012: Total penghasilan bruto 1 tahun dikalikan norma dan seterusnya.
         b. Tahun 2013: Total penghasilan bruto 6 bulan dikali norma dan seterusnya ditambah Total
             penghasilan bruto 6 bulan dikali 1%/bulannya.
         c. Tahun 2014-2015: Total penghasilan bruto 1 tahun dikalikan 1%/bulannya. 
Langsung saja pada penampakannya dibawah ini:
Jangan lupa kalau mengisi Formulir 1770 dimulai dari halaman paling belakang yaa...









Pajak yang dibayarkan adalah Rp 456.500,- kemudian dipindah ke Formulir 1770-III.

Demikian sedikit informasi yang dapat saya sampaikan dan semoga bermanfaat...

Monday, November 30, 2015

PAYUNG HUKUM DAN PENDIRIAN BANK SYARIAH



A.    Pengertian Dan Payung Hukum Bank Syariah
Pengertian Perbankan menurut Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Jenis-jenis bank menurut Pasal 5 Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 adalah sebagai berikut.[1] 
           1.     Bank Umum adalah bank yang dapat memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (Pasal 1 
                 Undang-undang Nomor 7/1992 tentang Perbankan).
2.  Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka tabungan dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan hal itu (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7/1992 tentang Perbankan).
Apabila hanya melihat pada Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, memang tidak ada aturan tentang Bank Syariah (khususnya bank umum syariah), karena dalam undang-undang tersebut secara umum hanya menjelaskan tentang perbankan konvensional, kecuali dalam Pasal 13.c yang mengatur tentang Usaha Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip bagi hasil. Bank Syariah pertama berdiri di Indonesia sekitar tahun 1992 didasarkan pada Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 sebagai landasan hukum bank dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 tentang Bank Umum berdasarkan prinsip bagi hasil sebagai landasan hukum Bank Umum Syariah dan Peraturan Pemerintah Nomor 73 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip bagi hasil sebagai landasan hukum Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
Sesuai dengan perkembangan perbankan maka Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan juga tercakup hal-hal yang berkaitan dengan perbankan syariah. Dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 Pasal 1 pengertian bank, bank umum, dan Bank Perkreditan Rakyat disempurnakan menjadi sebagai berikut.[2]
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak,
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau "berdasarkan prinsip usaha syariah"yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPR-Syariah) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Selain itu, yang dimaksud dengan prinsip syariah dijelaskan pada Pasal 1 butir 13 Undang-undang tersebut , yakni sebagai berikut Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 maka Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 1992 dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1998 dan sebagai tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tersebut.[3]
B.     Karakteristik Bank Syariah
Prinsip syariah islam dalam pengelolaan harta menekankan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat. Harta harus dimanfaatkan untuk hal-hal produktif terutama kegiatan ekonomi dalam menghasilkan keuntungan. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga perantara yang menyambungkan masyarakat pemilik dana dan pengusaha yang memerlukan dana (pengelola dana). Salah satu bentuk lembaga perantara tersebut adalah bank yang kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Bank syariah ialah bank yang berasaskan kemitraan, keadilan, transparansi, dan universal serta melakukan kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah. Kegiatan bank syariah merupakan implemetasi dari prinsip ekonomi Islam dengan krakteristik, yakni:[4]
       a.       pelarangan riba dalam berbagai bentuknya;
       b.      tidak mengenal konsep nilai waktu dari uang (time value of money);
       c.       konsep uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas;
d.      tidak diperkenankan melakukan kegiatan yang bersifat spekulatif.
 
C.    Akad Bank Syariah[5]
1.      Produk Pendanaan
a.       Giro: Wadiah dan Qordh
b.      Tabungan: Wadiah, Qardh, dan Mudharabah.
c.       Deposito/Investasi: Mudharabah
d.      Obligasi/Sukuk: Mudharabah dan Ijarah
2.      Produk Pembiayaan
a.       Pola bagi hasil: Musyarakah dan Mudharabah.
b.      Pola jual beli: Murabahah, Salam, dan Istisna’.
c.       Pola sewa: Ijarah, dan Ijarah Muntahiya Bittamlik
d.      Pola pinjaman untuk dana talangan: Qardh.
3.      Produk Jasa Perbankan
a.       Tabarru’: Sharf.
D.    Perkembangan Bank Syariah
1.      Di Dunia
Awal abad ke 20 merupakan masa kebangkitan dunia Islam dari ‘ketertidurannya’ di tengah pergolakan dunia. Perintisan penerapan sistem profit and loss sharing sebagai inti bisnis lembaga keuangan syariah tercatat telah ada sejak tahun 1940-an, yaitu upaya mengelola dana haji secara nonkonvensional di Pakistan dan Malaysia. Rintisan berikutnyayang merupakan tonggak sejarah perkembangan perbankan syariah adalah Islamic Rural Bank di daerah Mit Ghamr yang didirikan oleh Dr. ahmed el-Najar yang permodalannya dibantu Raja Faisal pada tahun 1963 hingga 1967 di Kairo, Mesir walaupun pada akhirnya operasionalnya diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Central Bank of Egypt.[6]
2.      Di Indonesia
Berkembangnya bank-bank syariah di negara-negara Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A Perwataatmadja, M. Dawam Rahardjo, AM. Saefuddin, M. Amien Azis, dan Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Di antaranya adalah Baitut Tamwil - Salman, Bandung, yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti. Akan tetapi, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional NMUI yang berLangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.[7]
PT Bank Muamalat Indonesia (BMI)
Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut di atas. Akte Pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991. Pada saat penandatanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp84 miliar. Pada tanggal 3 November 1991, dalam acara silaturahmi Presiden di Istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal sebesar Rp106.126.382.000,00.[8] Dengan modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi. Hingga September 1999, Bank Muamalat Indonesia telah memiliki lebih 45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan, dan Makassar. Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, keberadaan bank syariah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah ini hanya dikategorikan sebagai "bank dengan sistem bagi hasil; tidak terdapat rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tecermin dari UU No. 7 Tahun 1992, di mana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu dan merupakan "sisipan" belaka.[9]
Era Reformasi dan Perbankan Syariah
Perkembangan perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya Undang-Undang No.10 Tahun 1998. Dalam undang-undang tersebut diatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah. Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah bank mulai memberikan pelatihan dalam bidang perbankan syariah bagi para stafnya. Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk membuka divisi atau cabang syariah dalam institusinya. Sebagian lainnya bahkan berencana mengkonversi diri sepenuhnya menjadi bank syariah. Hal demikian diantisipasi oleh Bank Indonesia dengan mengadakan "Pelatihan Perbankan Syariah" bagi para pejabat Bank Indonesia dari segenap bagian, terutama aparat yang berkaitan langsung seperti DPNP (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan), kredit, pengawasan, akuntansi, riset, dan moneter.[10]
Bank Umum Syariah
Bank Syariah Mandiri (BSM) merupakan bank milik pemerintah pertama yang melandaskan operasionalnya pada prinsip syariah. Secara struktural, BSM berasal dari Bank Susila Bakti (BSB), sebagai salah satu anak perusahaan di lingkup Bank Mandiri (ex BDN), yang kemudian dikonversikan menjadi bank syariah secara penuh. Dalam rangka melancarkan proses konversi menjadi bank syariah, BSM menjalin kerja sama dengan Tazkia Institute, terutama dalam bidang pelatihan dan pendampingan konversi.[11] Sebagai salah satu bank yang dimiliki oleh Bank Mandiri yang memiliki aset ratusan triliun dan networking yang sangat luas, BSM memiliki beberapa keunggulan komparatif dibanding pendahulunya. Demikian juga perkembangan politik terakhir di Aceh menjadi blessing in disguise bagi BSM. Hal ini karena BSM akan menyerahkan seluruh cabang Bank Mandiri di Aceh kepada BSM untuk dikelola secara syariah. Langkah besar ini jelas akan menggelembungkan aset BSM dari posisi pada akhir tahun 1999 sejumlah Rp 400.000.000. 000,00 (empat ratus miliar rupiah) menjadi di atas 2 hingga 3 triliun. Perkernbangan ini diikuti pula dengan peningkatan jumlah cabang BSM, yaitu dari 8 menjadi lebih dari 20 buah.
Cabang Syariah dari Bank Konvensional
Satu perkembangan lain perbankan syariah di Indonesia pasca reformasi adalah diperkenankannya konversi cabang bank umum konvensional menjadi cabang syariah. Beberapa bank yang sudah dan akan membuka cabang syariah di antaranya:[12]
1.      Bank IFI (membuka cabang syariah pada 28 Juni 1999),
2.      Bank Niaga (akan membuka cabang syariah),
3.      Bank BNI '46 (telah membuka lima cabang syariah),
4.      Bank BTN (akan membuka cabang syariah),
5.      Bank Mega (akan mengkonversikan satu bank konvensional-anak perusahaannya-menjadi bank syariah),
6.      Bank BRI (akan membuka cabang syariah),
7.      Bank Bukopin (tengah melakukan program konversi untuk cabang Aceh),
8.      BPD JABAR (telah membuka cabang syariah di Bandung),
9.      BPD Aceh (tengah menyiapkan SDM untuk konversi cabang).
Catatan: data per November 2000
E.     Tata Cara Pendirian Bank Syariah[13]
Bank hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin OJK.
a.      BUK
Modal disetor paling kurang sebesar Rp3 triliun, dan hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
                       1)      WNI dan/atau badan hukum Indonesia; atau
                      2)      WNI dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing (WNA) dan/ atau badan
                             hukum asing secara kemitraan.
b.      BUS
Modal disetor paling kurang sebesar Rp1 triliun, dan hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
                  1)      WNI dan/atau badan hukum Indonesia; atau
    2)    WNI dan/atau badan hukum Indonesia dengan WNA dan/atau badan hukum asing secara kemitraan.
c.       Pembukaan Kantor Bank
Bank wajib mencantumkan rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor bank setahun ke depan dalam RBB. Penyampaian rencana disertai dengan kajian sesuai dengan ketentuan mengenai BU. OJK berwenang memerintahkan bank untuk menunda rencana pembukaan, perubahan status, dan/atau pemindahan alamat bank, apabila menurut penilaian OJK antara lain terdapat penurunan tingkat kesehatan, kondisi keuangan bank, dan/atau peningkatan profil risiko bank. Bank wajib mencantumkan secara jelas nama dan jenis kantor bank pada masing-masing kantor bank.
1)      KC BU Dalam Negeri
§  Pembukaan KC wajib memperoleh izin OJK;
§  Direksi atau pejabat Direksi bank mengajukan permohonan pembukaan KC kepada OJK disertai dengan dokumen pendukung sesuai dengan ketentuan mengenai BU;
§  Persetujuan atau penolakan atas permohonan bank diberikan paling lama 20 hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap; dan
§  Pelaksanaan pembukaan KC dilakukan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal izin dari OJK diterbitkan.
2)      KC BU Luar Negeri
§  Pembukaan KC, kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya baik yang bersifat operasional maupun non operasional di luar negeri wajib memperoleh izin OJK. Izin harus dilaksanakan dalam waktu satu tahun sejak izin dari OJK diterbitkan, dan dapat diperpanjang paling lama satu tahun berdasarkan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
§  Pembukaan kantor di luar negeri juga wajib memperoleh izin dari otoritas di negara setempat;
§  Pemberian izin dapat diberikan OJK apabila telah menjadi bank devisa paling kurang 24 bulan; telah mencantumkan rencana pembukaan KC dalam RBB; memenuhi persyaratan TKS, kecukupan modal dan profil risiko; dan mempunyai alamat atau tempat kedudukan kantor operasional yang jelas; dan
§  Persetujuan atau penolakan atas permohonan bank diberikan paling lambat 20 hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.


[1] Wiroso, Penghimpunan Dana dan Hasil Distribusi  Hasil Usaha Bank Syariah, (Jakarta: PT Grasindo, 2005), h. 1
[2] Ibid., h 1-2
[3] Ibid., h. 3
[4] Slamet Wiyono, Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan SyariaL: Berdasarkan PSAK dan PAPSI, (Jakarta: PT Grasindo, 2005), h. 74-75
[5] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Ed. 1, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h.111-129
[6] Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h.53
[7] Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), h. 25
[8] Ibid.
[9] Ibid., h. 26
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid., h. 27
[13] Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan, Booklet Perbankan Indonesia 2015, Ed. 2, h. 100-127