Monday, November 30, 2015

PAYUNG HUKUM DAN PENDIRIAN BANK SYARIAH



A.    Pengertian Dan Payung Hukum Bank Syariah
Pengertian Perbankan menurut Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Jenis-jenis bank menurut Pasal 5 Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 adalah sebagai berikut.[1] 
           1.     Bank Umum adalah bank yang dapat memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (Pasal 1 
                 Undang-undang Nomor 7/1992 tentang Perbankan).
2.  Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka tabungan dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan hal itu (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7/1992 tentang Perbankan).
Apabila hanya melihat pada Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, memang tidak ada aturan tentang Bank Syariah (khususnya bank umum syariah), karena dalam undang-undang tersebut secara umum hanya menjelaskan tentang perbankan konvensional, kecuali dalam Pasal 13.c yang mengatur tentang Usaha Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip bagi hasil. Bank Syariah pertama berdiri di Indonesia sekitar tahun 1992 didasarkan pada Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 sebagai landasan hukum bank dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 tentang Bank Umum berdasarkan prinsip bagi hasil sebagai landasan hukum Bank Umum Syariah dan Peraturan Pemerintah Nomor 73 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip bagi hasil sebagai landasan hukum Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
Sesuai dengan perkembangan perbankan maka Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan juga tercakup hal-hal yang berkaitan dengan perbankan syariah. Dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 Pasal 1 pengertian bank, bank umum, dan Bank Perkreditan Rakyat disempurnakan menjadi sebagai berikut.[2]
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak,
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau "berdasarkan prinsip usaha syariah"yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPR-Syariah) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Selain itu, yang dimaksud dengan prinsip syariah dijelaskan pada Pasal 1 butir 13 Undang-undang tersebut , yakni sebagai berikut Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 maka Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 1992 dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1998 dan sebagai tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tersebut.[3]
B.     Karakteristik Bank Syariah
Prinsip syariah islam dalam pengelolaan harta menekankan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat. Harta harus dimanfaatkan untuk hal-hal produktif terutama kegiatan ekonomi dalam menghasilkan keuntungan. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga perantara yang menyambungkan masyarakat pemilik dana dan pengusaha yang memerlukan dana (pengelola dana). Salah satu bentuk lembaga perantara tersebut adalah bank yang kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Bank syariah ialah bank yang berasaskan kemitraan, keadilan, transparansi, dan universal serta melakukan kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah. Kegiatan bank syariah merupakan implemetasi dari prinsip ekonomi Islam dengan krakteristik, yakni:[4]
       a.       pelarangan riba dalam berbagai bentuknya;
       b.      tidak mengenal konsep nilai waktu dari uang (time value of money);
       c.       konsep uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas;
d.      tidak diperkenankan melakukan kegiatan yang bersifat spekulatif.
 
C.    Akad Bank Syariah[5]
1.      Produk Pendanaan
a.       Giro: Wadiah dan Qordh
b.      Tabungan: Wadiah, Qardh, dan Mudharabah.
c.       Deposito/Investasi: Mudharabah
d.      Obligasi/Sukuk: Mudharabah dan Ijarah
2.      Produk Pembiayaan
a.       Pola bagi hasil: Musyarakah dan Mudharabah.
b.      Pola jual beli: Murabahah, Salam, dan Istisna’.
c.       Pola sewa: Ijarah, dan Ijarah Muntahiya Bittamlik
d.      Pola pinjaman untuk dana talangan: Qardh.
3.      Produk Jasa Perbankan
a.       Tabarru’: Sharf.
D.    Perkembangan Bank Syariah
1.      Di Dunia
Awal abad ke 20 merupakan masa kebangkitan dunia Islam dari ‘ketertidurannya’ di tengah pergolakan dunia. Perintisan penerapan sistem profit and loss sharing sebagai inti bisnis lembaga keuangan syariah tercatat telah ada sejak tahun 1940-an, yaitu upaya mengelola dana haji secara nonkonvensional di Pakistan dan Malaysia. Rintisan berikutnyayang merupakan tonggak sejarah perkembangan perbankan syariah adalah Islamic Rural Bank di daerah Mit Ghamr yang didirikan oleh Dr. ahmed el-Najar yang permodalannya dibantu Raja Faisal pada tahun 1963 hingga 1967 di Kairo, Mesir walaupun pada akhirnya operasionalnya diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Central Bank of Egypt.[6]
2.      Di Indonesia
Berkembangnya bank-bank syariah di negara-negara Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A Perwataatmadja, M. Dawam Rahardjo, AM. Saefuddin, M. Amien Azis, dan Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Di antaranya adalah Baitut Tamwil - Salman, Bandung, yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti. Akan tetapi, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional NMUI yang berLangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.[7]
PT Bank Muamalat Indonesia (BMI)
Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut di atas. Akte Pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991. Pada saat penandatanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp84 miliar. Pada tanggal 3 November 1991, dalam acara silaturahmi Presiden di Istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal sebesar Rp106.126.382.000,00.[8] Dengan modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi. Hingga September 1999, Bank Muamalat Indonesia telah memiliki lebih 45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan, dan Makassar. Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, keberadaan bank syariah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah ini hanya dikategorikan sebagai "bank dengan sistem bagi hasil; tidak terdapat rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tecermin dari UU No. 7 Tahun 1992, di mana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu dan merupakan "sisipan" belaka.[9]
Era Reformasi dan Perbankan Syariah
Perkembangan perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya Undang-Undang No.10 Tahun 1998. Dalam undang-undang tersebut diatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah. Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah bank mulai memberikan pelatihan dalam bidang perbankan syariah bagi para stafnya. Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk membuka divisi atau cabang syariah dalam institusinya. Sebagian lainnya bahkan berencana mengkonversi diri sepenuhnya menjadi bank syariah. Hal demikian diantisipasi oleh Bank Indonesia dengan mengadakan "Pelatihan Perbankan Syariah" bagi para pejabat Bank Indonesia dari segenap bagian, terutama aparat yang berkaitan langsung seperti DPNP (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan), kredit, pengawasan, akuntansi, riset, dan moneter.[10]
Bank Umum Syariah
Bank Syariah Mandiri (BSM) merupakan bank milik pemerintah pertama yang melandaskan operasionalnya pada prinsip syariah. Secara struktural, BSM berasal dari Bank Susila Bakti (BSB), sebagai salah satu anak perusahaan di lingkup Bank Mandiri (ex BDN), yang kemudian dikonversikan menjadi bank syariah secara penuh. Dalam rangka melancarkan proses konversi menjadi bank syariah, BSM menjalin kerja sama dengan Tazkia Institute, terutama dalam bidang pelatihan dan pendampingan konversi.[11] Sebagai salah satu bank yang dimiliki oleh Bank Mandiri yang memiliki aset ratusan triliun dan networking yang sangat luas, BSM memiliki beberapa keunggulan komparatif dibanding pendahulunya. Demikian juga perkembangan politik terakhir di Aceh menjadi blessing in disguise bagi BSM. Hal ini karena BSM akan menyerahkan seluruh cabang Bank Mandiri di Aceh kepada BSM untuk dikelola secara syariah. Langkah besar ini jelas akan menggelembungkan aset BSM dari posisi pada akhir tahun 1999 sejumlah Rp 400.000.000. 000,00 (empat ratus miliar rupiah) menjadi di atas 2 hingga 3 triliun. Perkernbangan ini diikuti pula dengan peningkatan jumlah cabang BSM, yaitu dari 8 menjadi lebih dari 20 buah.
Cabang Syariah dari Bank Konvensional
Satu perkembangan lain perbankan syariah di Indonesia pasca reformasi adalah diperkenankannya konversi cabang bank umum konvensional menjadi cabang syariah. Beberapa bank yang sudah dan akan membuka cabang syariah di antaranya:[12]
1.      Bank IFI (membuka cabang syariah pada 28 Juni 1999),
2.      Bank Niaga (akan membuka cabang syariah),
3.      Bank BNI '46 (telah membuka lima cabang syariah),
4.      Bank BTN (akan membuka cabang syariah),
5.      Bank Mega (akan mengkonversikan satu bank konvensional-anak perusahaannya-menjadi bank syariah),
6.      Bank BRI (akan membuka cabang syariah),
7.      Bank Bukopin (tengah melakukan program konversi untuk cabang Aceh),
8.      BPD JABAR (telah membuka cabang syariah di Bandung),
9.      BPD Aceh (tengah menyiapkan SDM untuk konversi cabang).
Catatan: data per November 2000
E.     Tata Cara Pendirian Bank Syariah[13]
Bank hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin OJK.
a.      BUK
Modal disetor paling kurang sebesar Rp3 triliun, dan hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
                       1)      WNI dan/atau badan hukum Indonesia; atau
                      2)      WNI dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing (WNA) dan/ atau badan
                             hukum asing secara kemitraan.
b.      BUS
Modal disetor paling kurang sebesar Rp1 triliun, dan hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
                  1)      WNI dan/atau badan hukum Indonesia; atau
    2)    WNI dan/atau badan hukum Indonesia dengan WNA dan/atau badan hukum asing secara kemitraan.
c.       Pembukaan Kantor Bank
Bank wajib mencantumkan rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor bank setahun ke depan dalam RBB. Penyampaian rencana disertai dengan kajian sesuai dengan ketentuan mengenai BU. OJK berwenang memerintahkan bank untuk menunda rencana pembukaan, perubahan status, dan/atau pemindahan alamat bank, apabila menurut penilaian OJK antara lain terdapat penurunan tingkat kesehatan, kondisi keuangan bank, dan/atau peningkatan profil risiko bank. Bank wajib mencantumkan secara jelas nama dan jenis kantor bank pada masing-masing kantor bank.
1)      KC BU Dalam Negeri
§  Pembukaan KC wajib memperoleh izin OJK;
§  Direksi atau pejabat Direksi bank mengajukan permohonan pembukaan KC kepada OJK disertai dengan dokumen pendukung sesuai dengan ketentuan mengenai BU;
§  Persetujuan atau penolakan atas permohonan bank diberikan paling lama 20 hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap; dan
§  Pelaksanaan pembukaan KC dilakukan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal izin dari OJK diterbitkan.
2)      KC BU Luar Negeri
§  Pembukaan KC, kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya baik yang bersifat operasional maupun non operasional di luar negeri wajib memperoleh izin OJK. Izin harus dilaksanakan dalam waktu satu tahun sejak izin dari OJK diterbitkan, dan dapat diperpanjang paling lama satu tahun berdasarkan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
§  Pembukaan kantor di luar negeri juga wajib memperoleh izin dari otoritas di negara setempat;
§  Pemberian izin dapat diberikan OJK apabila telah menjadi bank devisa paling kurang 24 bulan; telah mencantumkan rencana pembukaan KC dalam RBB; memenuhi persyaratan TKS, kecukupan modal dan profil risiko; dan mempunyai alamat atau tempat kedudukan kantor operasional yang jelas; dan
§  Persetujuan atau penolakan atas permohonan bank diberikan paling lambat 20 hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.


[1] Wiroso, Penghimpunan Dana dan Hasil Distribusi  Hasil Usaha Bank Syariah, (Jakarta: PT Grasindo, 2005), h. 1
[2] Ibid., h 1-2
[3] Ibid., h. 3
[4] Slamet Wiyono, Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan SyariaL: Berdasarkan PSAK dan PAPSI, (Jakarta: PT Grasindo, 2005), h. 74-75
[5] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Ed. 1, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h.111-129
[6] Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h.53
[7] Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), h. 25
[8] Ibid.
[9] Ibid., h. 26
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid., h. 27
[13] Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan, Booklet Perbankan Indonesia 2015, Ed. 2, h. 100-127

Sunday, November 29, 2015

ANALISIS DAN PENGAWASAN PEMBIAYAAN BANK SYARIAH



Bank Syariah

A.    Pengertian Pembiayaan
Pembiayaan, secara luas, berarti finanching atau pembelanjaan, yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dijalankan oleh orang lain. Dalam arti sempit, pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan, seperti bank syariah, kepada nasabah.[1] Disebut pembiayaan karena bank syariah menyediakan dana guna membiayai kebutuhan nasabah yang memerlukannya dan layak memperolehnya. Perbedaan pokok antarakredit pada bank konvensional dengan pembiayaan pada perbankan yang berbasis syariah islam adalah dilarangnya riba (bunga) pada pembiayaan syariah.[2]
Kredit atau pembiayaan konvensional dilakukan melalui pemberian pinjaman uang (lending) kepada nasabah sebagai peminjam di mana pemberi pinjaman memperoleh imbalan berupa bunga yang harus dibayar oleh peminjam. Untuk menghindari penerimaan dan pembayaran bunga (riba) maka perbankan syariah menempuh cara memberikan pembiayaan (financing) berdasarkan prinsip jual-beli (al bai'), prinsip sewa-beli (ijarah muntahia bi tamlik) atau berdasarkan prinsip kemitraan (partnership) yaitu prinsip penyertaan (musyarakah) atau prinsip bagi-hasil (mudharabah). Kegiatan pembiayaan (financing) merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit, yang menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi dalam: [3]
a.       memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan; dan
b.      produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan maupun investasi.
B.    Analisis Pembiayaan
Bank konvensional seringkali tidak terlalu memperhatikan penggunaan dana yang disalurkannya. Mungkin saja seseorang mengajukan kredit untuk usaha, namun sebagian dari uang itu digunakan untuk kepentingan pribadi dan hanya sebagian yang betul-betul digunakan untuk mengembangkan usaha. Inilah yang kerap dilakukan oleh debitur karena menganggap kredit sebagai uang lebih. Alhasil, usaha mereka menjadi terlalu berat menanggung beban pengembalian yang sesungguhnya digunakan juga untuk keperluan pribadinya.[4]
Beda halnya jika kita mengajukan pembiayaanke bank syariah. Hal pertama yang akan ditanyakan adalah untuk apa pembiayaan itu diperlukan, karena maksud pembiayaan akan menentukan skim atau akad pembiayaanapa yang akan digunakan. Misalnya, pembiayaan untuk membeli sepeda motor guna menambah armada pengantaran usaha ekspedisi, tentunya akan sangat berbeda akadnya dengan pembiayaan untuk menambah modal usaha garmen.  Untuk kedua tujuan tersebut, bank syariah akan membuat dua akad yang berbeda.[5]
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam analisis pembiayaan di bank syariah adalah sebagai berikut:[6]
1.      Pendekatan Analisis Pembiayaan
Ada beberapa pendekatan analisa pembiayaan yang dapat diterapkan oleh para pengelola bank syariah dalamkaitannya dengan pembiayaan yang akan dilakukan, yaitu:
a.       Pendekatan jaminan, artinya bank dalam memberikan pembiayaan selalu memperhatikan kuantitas dan kualitas jaminan yang dimiliki oleh peminjam.
b.      Pendekatan karakter, artinya bank mencermati secara sungguh-sungguh terkait dengan karakter nasabah.
c.       Pendekatan kemampuan pelunasan, artinya bank menganalisis kemampuan nasabah untuk melunasi jumlah pembiayaan yang telah diambil.
d.      Pendekatan dengan studi kelayakan, artinya bank memperhatikan kelayakan usaha yang dijalankan oleh nasabah peminjam.
e.       Pendekatan fungsi-fungsi bank, artinya bank memperhatikan fungsinya sebagai lembaga intermediary keuangan, yaitu mengatur mekanisme dana yang dikumpulkan dengan dana yang disalurkan.
2.      Tujuan Analisis Pembiayaan
Analisis pembiayaan memiliki dua tujuan, yaitu: tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum analisis pembiayaan adalah: Pemenuhan jasa pelayanan terhadapkebutuhan masyarakat dalam rangka mendorong dan memperlancar perdagangan, produksi, jasa-jasa, bahkan konsumsi yang kesemuanya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sedangkan tujuan khusus analisis pembiayaan adalah: Untuk menilai kelayakan usaha calon peminjam, untuk menekan resiko akibat tidak terbayarnya pembiayaan, dan untuk menghitung kebutuhan pembiayaan yang layak.
3.      Prosedur Analisis Pembiayaan
Aspek-aspek penting dalam analisis pembiayaan yang perlu dipahami oleh pengelola bank syariah, antara lain:
a.       Berkas dan pencatatan
b.      Data pokok dan analisis pendahuluan:
1)      Realisasi pembelian, produksi dan penjualan
2)      Rencana pembelian, produksi dan penjualan
3)      Jaminan
4)      Laporan keuangan
5)      Data kualitatif dari calon debitur.
c.       Penelitian data
d.      Penelitian atas realisasi usaha
e.       Penelitian atas rencana usaha
f.       Penelitian dan penilaian barang jaminan
g.      Laporan keuangan dan penelitiannya.
4.      Alat Analisis
Alat analisis pembiayaan dapat berupa angket.
C.    Pemantauan dan Pengawasan Pembiayaan
Pembiayaan adalah suatu proses, mulai dari analisis kelayakan pembiayaan samapai kepada realisasinya. Namun realisasi pembiayaan bukan tahap terakhir dari proses pembiayaan. Setelah realisasi pembiayaan, maka pejabat bank syariah perlu melakukan pemantauan dan pengawasan pembiayaan.[7]
Bank berperan sebagai lembaga intermediasi yang mempertemukan dua pihak yang berbeda kepentingannya, baik dalam penghimpunan dan penanaman dana, maupun dalam pelayanan transaksi keuangan dan lalu-lintas pembayaran. Berdasarkan fungsi bank tersebut, perlu diperhatikan dan diwaspadai misalnya:[8] fungsi yang paling kritis adalah penanaman dalam bentuk pemberian kredit dan berbagai jenis aset produktif lainnya. Penanaman dana dalam bentuk pembiayaan tersebut dapat berjangka pendek, menengah, ataupun panjang. Bank dituntut untuk menganalisis setiap proposal yang diajukan calon debitur dengan cermat dan akurat. Wajar bahwa tidak ada seorang pun yang dapat memastikan apa yang akan terjadi esok hari.[9]
Maka, upaya yang dapat dilakukan adalah memperhitungkan kemungkinan (possibility) atau kemungkinan besar (probability)-nya, bukan kepastiannya. Oleh karena itu, fungsi ini mengandung risiko, dan disebut sebagai aset berisiko (risk assets). Bila bank tidak mampu mengendalikan risiko, timbul kredit bermasalah yang cukup besar, atau bahkan kredit macet, sehingga bank sulit mempertahankan kelangsungan usahanya, merugikan para deposan dan kreditur, bahkan bisa lebih luas lagi dampaknya.[10]
       1.      Tujuan Pemantauan dan Pengawasan Pembiayaan
a.       Kekayan bank syari’ah akan selalu terpantau dan menghindari adanya penyelewengan-penyelewengan baik oknum dari luar maupun dari dalam bank syari’ah
b.      Untuk memastikan ketelitian dan kebenran data administrasi d bidang pembiayaan
c.       Untuk memajukan efesiensi di dalam pengelolaan tata laksana usaha di bidang peminjaman dan sasaran pencapaian yang ditetapkan
d.      Kebijakan manajemen bank syari’ah akan lebih rapi dan mekanisme dan prosedur pembiayaan akan lebih dipatuhi.
       2.      Media Pemantauan
a.       Informasi dari luar bank syari’ah
b.      Informasi dari dalam bank syariah
c.       Meneliti perputaran yang terjadi atas debit dan kredit pada beberapa bulan berjalan
d.      Memberikan tanda pada laporan sehingga dapat diantisipasi jika ada kekeliruan yang lebih besar
e.       Periksalah adakah tanggal-tanggal jatuh tempo yang dijanjikan terealisasi
f.       Meneliti buku-buku pembantu/tambahan dan map-map yang berkaitan dengan peminjaman
  3.      Kunjungan pada Peminjam
Tujuannya adalah untuk mempertimbangkan dan memantau efektivitas dana yang dimanfaatkan peminjam. Hal-hal yang dilakukan:
a.       Membuat laporan kegiatan peminjam
b.      Laporan realisasi kerja bulanan
c.       Laporan stok/persediaan barang
d.      Laporan kegiatan investasi bulanan
e.       Laporan hutang
f.       Laporan piutang
g.      Neraca R/L per bulan, triwulan, dan semester
h.      Tingkat pengumpulan pendapatan
i.        Tingkat kemajuan usaha
j.        Tingkat efektivitas pemakaian dana
D.    Penanganan Pembiayaan Bermasalah
Pembiayaan bermasalah adalah pembiayaan yang kolektibilitasnya tergolong: (1) dalam perhatian khusus (Spesial Mention); (2) kurang lancar (Substandard); (3) Diragukan (Doubtful) dan (4) Macet (Loss).[11] Risiko yang terjadi dari peminjaman adalah peminjaman yang tertunda atau ketidakmampuan peminjam untuk membayar kewajiban yang telah dibebankan, untuk mengantisipasi hal tersebut maka bank syariah harus mampu menganalisis penyebab permaslahannya.[12]
            1.      Analisa sebab kemacetan
a.       Aspek Internal
a)      Peminjam kurang cakap dalam usaha tersebut
b)      Manajemen tidak baik atau kurang rapi
c)      Laporan keuangan tidak lengkap
d)     Penggunaan dana yang tidak sesuai dengan perencanaan
e)      Perencanaan yang kurang matang
f)       Dana yang diberikan tidak cukup untuk menjalankan usaha tersebut
b.      Aspek Eksternal
a)      Aspek pasar kurang mendukung
b)      Kemampuan daya beli masyarakat kurang
c)      Kebijakan pemerintah
d)     Pengaruh lain di luar usaha
e)      Kenakalan peminjam
       2.      Mengenali potensi peminjam
Anggota yang mengalami kemacetan dalam memenuhi kewajiban harus dimotivasi untuk memulai kembali atau membenahi dan mengantisipasi penyebab kemacetan usaha atau angsuran. Untuk itu perlu digali tentang potensi yang ada pada peminjam agar dana yang telah digunakan. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a.       Adakah peminjam memiliki kecakapan lain?
b.      Adakah peminjam memiliki uasaha lainnya?
c.       Adakah penghasilan lain peminjam?
      3.      Melakukan perbaikan akad (remidial)
     4.      Memberikan pinjaman ulang, mungkin dalam bentuk: pembiayaan al-Qardul Hasan; Murabahah atau Mudharabah
      5.      Penundaan Pembayaran
      6.      Memperkecil angsuran dengan memperpanjang waktu atau akad dan margin baru (Rescheduling)
      7.      Memperkecil margin keuntungan atau bagi hasil.


Sumber:
Presentasi "Manajemen Bank Syariah" kelompok 11
1. Agung Eka Saifuddin
2. Dian Novianti
3. Fitri Linawati
4. Ibnu Yahya