Wednesday, March 30, 2016

Jurnal Ekonomi Moneter



Ekonomi Moneter Dalam Sejarah Ekonomi Islam
Agung Eka Saifudin (2824133003)
Mei 2015
Abstrak
Perdagangan merupakan dasar perekonomian di Jazirah Arab sebelum islam datang. Prasyarat untuk melakukan transaksi adalah adanya alat pembayaran yang dapat dipercaya. Secara alamiah transaksi yang berada di daerah Mesir atau Syam menggunakan dinar sebagai alat tukar, sementara itu di Persia menggunakan dirham. Ekspansi yang dilakukan Islam ke wilayah  Persia dan Romawi menyebabkan perputaran mata uang ini meningkat. Bahkan pada masa pemerintahan Imam Ali, dinar dan dirham merupakan satu-satunya mata uang yang digunakan. Kemudian inflasi adalah sebuah fenomena alam yang menimpa kehidupan masyarakat di seluruh dunia sejak masa dahulu, hingga sekarang, terjadi ketika harga-harga secara umum mengalami kenaikan dan berlangsung terus-menerus. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang pada zaman itu sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan antara satu mata uang dan mata uang lainnya. lni diperlukan karena setiap mata uang mempunyai kandungan logam mulia yang berlainan sehingga mempunyai nilai yang berbeda pula.
A.    PENDAHULUAN
Manusia diciptakan oleh Sang Maha Kuasa yaitu Allah disertai dengan hawa nafsu. Berbeda dengan malaikatyang diciptakan tanpa hawa nafsu, yang mana mereka selalu taat pada perintah Allah. Namun manusia diciptakan di bekali dengan akal pikiran. Disinilah kelebihan dari manusia, dalam menggunakan akal pikiran untuk perbuatan yang tidak merugikan orang lain dan mementingkan diri sendiri. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang membutuhkan makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal. Sejak pertama kali diciptakan manusia bekerja keras dalam kehidupan demi memenuhi kebutuhan hidupnya, baik berupa barang maupun jasa. Kebutuhan manusia yang semakin lama semakin meningkat dan banyak ragamnya mendorong manusia sebagai makhluk sosial untuk saling tukar menukar hasil-hasil produksi mereka.
Pada awalnya manusia tidak mengenal uang, tetapi mereka melakukan pertukaran barang dengan barang sampai mereka mendapat petunjuk dari Allah untuk membuat uang. Waktu demi waktu berlalu, manusia terus mencari bahan untuk membuat uang (pada waktu itu emas dan perak). Akhibatnya daya beli meningkat dan disertai dengan harga barang juga meningkat. Dari sinilah sistem ekonomi islam mulai muncul. Tidak jauh beda dengan sistem ekonomi konvensional misalnya inflasi, percepatan uang beredar, sumber dana perbankan dan lain-lain. Dalam tulisan ini akan dibahas kompenen yang berpengaruh terhadap konsep ekonomi moneter, sebagai berikut.
B.     MATA UANG
Semakin lama populasi manusia semakin meningkat, maka dibutuhkan langkah ke depan untuk meningkatkan swasembada dalam memenuhi kebutuhan hidup. Karena itu, sistem pertukaran barang dan jasa sangat diperlukan guna memudahkan proses pemenuhan kebutuhan hidup tersebut. Barter merupakan sistem transaksi yang pertama kali digunakan manusia. Namun dalam perjalannya terdapat beberapa kendala yaitu:[1]
1.      Sulit menyamakan keinginan atas barang yang ditukarkan.
2.      Sulitnya menentukan kadar nilai barang yang ditukarkan karena adanya perbedaan jenisnya.
3.      Sulitnya menyimpan komoditas yang kita miliki sampai kita menemukan orang yang menginginkan atas komoditas tersebut.
Dengan adanya kesulitan tersebut, manusia terus melakukan pencarian untuk mendapatkan, media sebagai alat tukar yang dapat diterima oleh semua pihak. Di awal sistem transaksi klasik, manusia menggunakan hewan sebagai alat tukar. Akan tetapi, karena adanya kesulitan dalam menyimpan dan ketersediannya terbatas, maka sistem tersebut ditinggalkan. Selanjutnya digunakan batu sebagai alat tersebut, tetapi karena terjadinya penumpukan batu sebagai alat tidak mempunyai nilai. Kemudian ditemukan bahan tambang sebagai alat tukar, diantaranya besi atau tembaga.[2]
Al-Ghazali (1058-1111M) mempunyai wawasan terhadap mengenai berbagai problema barter yang dalam istilah modern disebut sebagai: [3]
1.      Kurang memiliki angka penyebut yang sama (Lack of common denominator)
2.      Barang tidak dapat dibagi-bagi (Indivisibility of goods)
3.      Keharusan adanya dua keinginan yang sama (double coincidence of wants)
Pertukaran barter menjadi tidak efisien karena adanya perbedaan karakteristik barang-barang. Al-Ghazali menegaskan bahwa evolusi uang terjadi hanya karena kesepakatan dan kebiasaan (konvensi) yakni tidak akan ada masyarakat tanpa pertukaran barang dan tidak ada pertukaran yang efektif tanpa ekuivalensi, dan ekuivalensi demikian hanya dapat ditentukan dengan tepat bila ada ukuran yang sama. Uang tidak diinginkan karena uang itu sendiri. Uang baru akan memiliki nilai jika digunakan dalam pertukaran. Ghazali menyatakan bahwa salah satu tujuan emas dan perak adalah untuk dipergunakan sebagai uang (dinar dan dirham). Beliau juga mengutuk mereka yang menimbun keping-kepingan uang atau mengubahnya menjadi bentuk yang lain. [4]
Al maqrizi (1364-1442M) menguraikan bahwa bangsa Arab jahiliyah menggunakan dinar emas dan dirham perak sebagai mata uang mereka yang masing-masing diadopsi dari Romawi dan Persia serta mempunyai bobot lebih berat dari pada di masa islam. Setelah islam datang, Rosulullah menetapkan berbagai praktik muamlah yang menggunakan kedua mata uang tersebut, bahkan mengkaitkannya dengan hukum zakat harta. Penggunaan kedua mata uang tersebut terus berlanjut tanpa perubahan sedikit pun hingga tahun 18 H ketika khalifah Umar bin Khattab menambahkan lafaz-lafaz islam pada kedua mata uang tersebut.  Perubahan yang sangat signifikan terjadi pada tahun 76 H. Khalifah Abdul Malik bin Marwan melakukan reformasi moneter dengan mencetak dinar dan dirham islam. Penggunaan kedua mata uang ini terus berlanjut sampai pemerintahan Al Mu’tashim, khalifah terakhir dinasti Abbasiyah.[5]
Menurut Al Maqrizi, kekacauan mulai terlihat ketika pengaruh Mamluk semakin kuat di kalangan istana, termasuk kebijakan percetakan mata uang dirham campuran. Pencetakan fulus dimulai pada masa pemerintahan Dinasti Ayyubiyah Sultan Muhammad Al Kamil ibn Al Adil Al Ayyubi, sebagai alat tukar terhadap barang-barang yang tidak signifikan dengan rasio 48 fulus untuk setiap dirhamnya. Pasca pemerintahan sultan Al Kamil, pencetakan mata uang tersebut terus berlanjut hinga pejabat di tingkat provinsi terpengaruh laba yang besar dari aktivitas ini. Kebijakan sepihak mulai diterapkan dengan meningkatkan volume percetakan dan menetapkan rasio 24 fulus per dirham. Akibatnya, rakyat mengalami banyak kerugian karena harga barang-barang yang dulu berharga ½ dirham menjadi 1 dirham. Keadaan ini semkain memburuk ketika aktivitas percetakan fulus meluas pada masa pemerintahan Sultan Al Adil Kitbugha dan Sultan Al Zahir Barquq yang mengakibatkan penurunan nilai mata uang dan kelangkaan barang-barang.[6]
Menurut pandangan Al Maqrizi, mata uang yang dapat diterima hanya mata uang yang terdiri dari emas dan perak, selain itu menurutnya tidak layak disebut mata uang. Di lain pihak menurut pandangan al Maqrizi uang bukan satu-satunya factor yang mempengaruhi kenaikan harga-harga. Menurutnya penggunaan mata uang emas/perak tidak serta merta menghilangkan inflasi dalam perekonomian karena inflasi dapat juga terjadi karena factor alam dan tindakan sewenang-wenang dari penguasa. Pada mulanya mata uang yang dipakai bukan berasal dari kawasan dunia Islam, sebab ketika kaum muslim baru melebarkan sayapnya mereka belum lagi mengenal industri mata uang. Karenanya, di kawasan-kawasan baru yang mereka kuasai, yaitu mata uang Byzantium, Persia dan Yaman kuno. Ketika pulang Syam, mereka membawa dinar emas Byzantium. Dan Iraq medirham Persia. Kadang-kadang membawa dirham Himyar Yaman. Tidak aneh bila mata uang yang dipakai dunia Islam satu bergambar pedang salib, sedangkan di sisi yang satunya bergambar rumah persembahan api.[7]
Mata uang yang bercorak benar-benar Islam barulah dibuat pada masa khalifah Abdulah Malik bin Marwan. Pembuatan uang masa itu didasarkan pemikiran bahwa mata uang selain memiliki nilai ekonomi juga sebagai pernyataan kedaulatan dinasti Islam. Di samping itu, mata uang juga berfungsi sebagai sarana pengumuman keabsahan pemerintahan pada waktu itu yang namanya terpateri pada mata uang tersebut Khalifah Abdulah Malik bin Marwan pun memerintahkan Arabisasi mata uang sebagian dari politik Arabisasi aparatur negara masa pernerintahannya.[8] Mata uang yang dibuat di dunia waktu itu disebut sikkah Menurut Ibn Khaldun kosa kata sikka berasal dari cincin besi bahan mata uang, yang dalam pembuatannya dipukul dengan palu. Kosa kata sikkah selain dikenakan terhadap mata uang juga dikenakan terhadap gedung tempat pembuatan mata uang. Karenanya gedung tersebut juga disebut dar as-sikkah. Darul as-sikkah tersebar diberbagai pelosok wilayah Islam, pada waktu itu, sehingga darul as-sikkah dikenal sampai di luar kawasan Islam.[9]
Dalam al-Quran juga telah dijelaskan tentang bentuk uang di surat Al-Imran ayat 75 terkait dengan uang Dinar dan surat Yusuf ayat 20 tentang uang dirham.
75. di antara ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya. yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: "tidak ada dosa bagi Kami terhadap orang-orang ummi. mereka berkata Dusta terhadap Allah, Padahal mereka mengetahui.[10]
20. dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, Yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.[11]
Menurut Muhammad Rawas Qal’ah Ji, syarat minimal sesuatu dianggap sebagai uang adalah substansi benda tersebut tidak bisa dimanfaatkan secara langsung melainkan hanya sebagai media untuk memperoleh manfaat, dan dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki otoritas untuk menerbitkan uang seperti Baitul Maal atau bank sentral. Namun pada masa pemerintahan Bani Umayyah, pembuatan uang (dinar atau dirham) bukan merupakan otoritas pihak tertentu dalam pemerintahan. Dalam sejarah islam, bentuk uang yang digunakan pada umumnya adalah full bodied money atau uang intrinsik, dan nilai instrinsiknya sama dengan nilai ekstrinsiknya. Jenis yang umum dinar emas seberat 4,25 gram dan dirham perak seberat 2,975 gram.[12]
Gambar 1.1: Spesifikasi Uang Dinar dan Dirham

Sumber: https://helmysyamza.files.wordpress.com/
Di dunia Islam mengenal dua jenis mata uang utama, yaitu mata uang dinar emas, diambil dari kosa kata denarius, dan dirham perak yaitu berasal dari kosa kata drachmos. Selain kedua jenis tersebut, terdapat mata uang pecahan atau disebut maksur seperti qitha dan mitqal. Pada abad keempat hijrah dunia Islam mengalami krisis mata uang emas dan perak, maka dibuatlah dari tembaga atau campuran tembaga dengan perak yang disebut fulus (diambil dari bahasa latin follis, yaitu mata uang tembaga tipis. Mata uang tersebut juga disebut al-qarathis karena mirip dengan lembaran kertas.[13]
Nilai mata uang ditetapkan oleh khalifah. Memang penetapan itu sendiri tidak lepas dari pertimbangan nilai riil di masyarakat dan naik turunnya nilai dari waktu ke waktu. Perlu dikemukakan mata uang pada waktu itu ditimbang, karena untuk mencegah penipuan, mereka lebih suka menggunakan standar timbangan. Khusus yang telah mereka miliki, yaitu; auqiyah, nasy, nuwah, mitsqal, dirham, daniq, qirath dan habbah. Mitsqal merupakan berat pokok yang sudah diketahui umum yaitu setara dengan 22 qirath kurang satu habbah. Di kalangan mereka berat 10 dirham sama dengan 7 mitsqal. Berat timbangan sebesar 4, 25 gram emas sama dengan 1 dinar, yaitu sama dengan 1 mitsqal.[14]
TABEL 1.1: Konversi Berat Dinar
Standar Berat Syar'i
Perhitungan
Berat Emas (gram)
Keterangan
1 mitsqal (1 dinar)
-
4.25
Standar berat dinar
1 daniq emas
1/8 x 4.25 gr emas
0.53125
1 mitsqal = 8 daniq
1 qirath
1/20 x 4.25 gr emas
0.2125
1 mitsqal = 20 qirath
1 habbah syair
1/72 x 4.25 gr emas
0.059
1 mitsqal = 72 habbah syair
1 dirham
7/10 x 4.25 gr emas
2.975
1 dirham = 7/10 mitsqal
10 dirham
10 x 2.975 gr perak
29.75
10 dirham = 7 mitsqal
1 nasy
20 x 2.975 gr perak
59.5
1 nasy = 20 dirham
1 nuwah gr perak
5 x 2.975 gr perak
14.875
1 dirham = 8 daniq
1 daniq perak
1/6 x 2.975 gr perak
0.495
1 dieham = 6 daniq
1 auqiyah
40 x 2.975 gr perak
119
1 auqiyah = 40 dirham

Catatan : - Habbah sya'ir = biji gandum
   - 10 dirham = 7 mitsqal
Setelah muncul mata uang fulus mata uang mulai dihitung. Setelah banyak mata uang bercap khalifah muncullah kelompok orang-orang memberikan jasa dalam mempermudah transaksi keuangan dan penukaran mata uang yang disebut sebagai para penukar uang (as-shayyrifah). Di samping itu muncul istilah keuangan yang menunjukkan bahwa tempat penukaran berubah fungsinya menjadi bank. Istilah tersebut antara lain shaftajah, shakk, khath, hawwalah.[15] Bobot mata uang dirham relatif stabil pada periode-periode awal pemerintahan Islam Untuk melindungi kepercayaan, beberapa denomisasi dirham dikeluarkan. Tapi, karena fiuktuasi harga perak, nilai tukar antara dinar dan dirham juga terfluktuasi.
Perbandingan antara dua mata uang logam adalah 10 pada zaman Rasulullah saw dan tetap stabil pada level itu selama periode keempat khalifah pertama (11-41/632-661). Namun stabilitas ini tidak bisa berlangsung terus menerus. Dua logam mulia itu rnenghadapi berbagai tekanan dari permintaan, maupun dari penawaran sehingga menimbulkan ketidakstabilan harga relatifnya. Pada paro kedua periode Ummayah (41-132/661-750), perbandingan harga relatif sekitar 12, sementara pada periode Abbasiyah (132-656750-1258) mencapai 15 atau kurang. Rasio itu terus mengalami fluktuasi ada berkali-kati mengalami kemerosotan sampai pada tingkat 20, 30, dan bahkan 50.[16]
Fluktuasi ini tidak disebabkan penurunan nilai mata uang, tetapi lebih disebabkan kemerosotan harga relatif perak terhadap emas. Ketidakstabilan ini membuat mata uang dari logam buruk keluar dari sirkulasi mata uang logam baik, suatu fenornena abad ke-16 yang dikenal dengan Gresham's Law Penerimaan yang begitu luas terhadap mata uang Arab dalam perdagangan antara wilayah-wilayah muslim dengan dunia lain pada masa itu benar-benar berlaku dengan ditemukannya sejumlah mata uang Arab di Rusia, Eropa dan Timur Jauh.
C.    PENAWARAN DAN PERMINTAAN UANG
Pada bagian ini akan di bicarakan tentang mata uang. Yang di maksud adalah Dinar dan Dirham yang merupakan satuan moneter di Kerajaan Roma dan Persia.  Pada  masa pemerintahan Nabi Muhammad di Madinah, kedua mata uang ini di impor. Dinar dari Roma, dirham dari Persia. Besarnya volume impor dinar dan dirham dan juga barang-barang komoditas yang di ekspor kedua Negara tersebut dan ke wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaannya. Biasanya, jika permintaan uang (money demand) pada  pasar internal meningkat , maka uanglah yang di impor. Sebaliknya, bila permintaan uang turun maka komoditas lah yang di impor. Hal yang menarik disini adalah tidak adanya pembatasan terhadap impor uang. Karena permintaan internal  dari Hijaz terhadap dinar dan dirham sangat kecil sehingga tidak berpengaruh terhadap penawaran (supply) dan permintaan (demand) dalam perekonomian Roma dan Persia. Sekalipun demikian, selama pemerintahan nabi uang tidak di penuhi dari keuangan Negara semata melainkan dari hasil perdagangan dengan luar negeri.[17]
Setelah Persia di taklukkan, percetakan uang logam di wilayah itu terus-menerus beroperasi. Sementara itu, kaum muslimin secara perlahan-lahan mulai di perkenalkan pada tekhnologi percetakan uang, sehingga pada masa kepemimpinan Imam Ali kaum muslimin secara resmi mencetak uang sendiri dengan menggunakan nama pemerintah Islam. Beberapa ahli sejarah menduga bahwa percetakan uang  bahkan sudah dilaksanakan sejak masa kepemimpinan Umar atau Usman, tetapi bukti-bukti yang ada memperlihatkan bahwa pembuatan uang di mulai pada masa kepemimpinan Imam Ali. Ketika mata uang masih di impor, kaum muslimin hanya mengontrol kualitas uang impor itu, namun setelah mencetak sendiri, kaum muslimin secara langsung mengawasi penawaran uang yang ada.[18]
Tentu saja periode kepemimpinan Imam Ali sangat singkat karena beliau mati syahid setelah empat tahun menjadi khalifah. Ketegangan politik selama masa khulafaur Rasyidin cukup tinggi, sehingga uang yang di cetak oleh keuangan muslim tidak dapat beredar luas. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penawaran uang selama masa itu sama seperti pada masa Nabi Muhammad. Tinggi rendahnya permintaan uang bergantung pada frekuensi transaksi perdagangan dan jasa. Sementara itu situasi yang kurang kondusif. Permusuhan kaum Qurays terhadap kaum muslimin, dan keterlibatan kaum muslimin pada sedikitnya 26 gazwa dan 32 sariya. Yang berarti rata-rata enam kali perang dalam setiap tahunnya menimbulkan precautionary demand (permintaan uang untuk pencegahan) untuk berjaga-jaga terhadap kebutuhan yang tidak diduga dan tidak di ketahui sebelumnya.
Sebagai akibatnya, permintaan terhadap uang selama  periode ini umumnya  bersifat permintaan transaksi dan pencegahan.Selain dari yang sudah di sebutkan di atas, tidak ada lagi motif penggunaan uang. Karena kanz (penimbunan uang) dilarang. Tidak ada seorang pun yang berhak menyimpan uangnya dengan tujuan spekulasi pada nilai tukar.[19] Hal yang dapat menyebabkan fluktulasi pada nilai uang dalam jangka pendek adalah aktifitas-aktifitas yang di larang dan di nyatakan illegal oleh pembuat syari’at (seperti kanz dan talaqir rukban). Mengubah uang menjadi asset lain, terutama asset financial juga dapat menyebabkan ketidakstabilan padapasar uang.Transaksi ini dapat menimbulkan pengaruh, pertama, Bila dilakukan dalam volume besar, dan kedua, adanya pasar asset financial yang aktif.
Sepanjang pengamatan kami, tidak ada pasar semacam ini pada awal periode islam. Sebabnya, pertama, volume kredit bila di bandingkan dengan uang tunai relative tidak signifikan. Kedua, penggunaan jenis instrumen financial dalam bentuk konsep ataunota perjanjian  utang dan dengan potongan harga, juga relative tudak signifikan bila dibandingkan dengan volume penggunaan dinar dan dirham dalam peredaran uang. Dengan demikian dapat dikatakan, pembelian dan penjualan instrument penjualan bukanlah transaksi yang umum pada waktu itu. Bukti-bukti sejarah mengindikasikan transaksi ini kurang popular bahkan sebelum islam datang. Akibatnya, pasar uang berada  dalam keseimbangan pada jangka panjang dan nilai uang tetap stabil.[20]
D.    INFLASI
Dengan mengemukakan berbagai fakta bencana kelaparan yang terjadi di Mesir, Al-Maqrizi menyatakan bahwa peristiwa inflasi adalah sebuah fenomena alam yang menimpa kehidupan masyarakat di seluruh dunia sejak masa dahulu, hingga sekarang. Inflasi menurutnya terjadi ketika harga-harga secara umum mengalami kenaikan dan berlangsung terus-menerus. Pada saat ini, persediaan barang dan jasa mengalami kelangkaan dan konsumen, karena sangat membutuhkannya, harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk sejumlah barang dan jasa yang sama. Al-Maqrizi membahas permasalahan  inflasi secara lebih detail. Ia mengklasifikasikan inflasi berdasarkan faktor penyebabnya ke dalam dua hal, yakni: (a) Inflasi yang disebabkan oleh faktor alamiah (Natural Inflation), dan (b) Inflasi akibat kesalahan manusia (Human Error Inflation).[21]
a.       Inflasi Alamiah (Natural Inflation)
       Inflasi ini disebabkan oleh berbagai faktor natural yang sulit dihindari manusia. Menurut Al-Maqrizi, saat suatu bencana alam terjadi, berbagai bahan makanan dan hasil bumi lainnya mengalami gagal panen, sehingga persediaan barang-barang tersebut mengalami penurunan yang sangat drastis dan terjadi kelangkaan. Di lain pihak, karena sifatnya yang sangat signifikan dalam kehidupan, permintaan terhadap berbagai barang itu mengalami peningkatan. Harga-harga kemudian membumbung tinggi, jauh melebihi daya beli masyarakat. Hal ini sangat berimplikasi terhadap kenaikan harga berbagai barang dan jasa lainnya. Akibatnya, transaksi ekonomi mengalami kemacetan, bahkan berhenti sama sekali, yang pada akhirnya menimbulkan bencana kelaparan, wabah penyakit, dan kematian di kalangan masyarakat. Keadaan yang semakin memburuk tersebut memaksa rakyat untuk menekan pemerintah agar segera memperhatikan keadaan mereka.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa sekalipun suatu bencana telah berlalu, kenaikan harga-harga tetap berlangsung. Hal ini merupakan implikasi dari bencana alam sebelumnya yang mengakibatkan aktivitas ekonomi, terutama di sektor produksi, mengalami kemacetan. Saat situasi telah normal, persediaan barang-barang yang signifikan seperti benih padi, tetap tidak beranjak naik, bahkan tetap langka. Sedangkan permintaan terhadapnya meningkat tajamAkibatnya, harga barang-barang ini mengalami kenaikan yang kemudian diikuti oleh kenaikan harga berbagai jenis barang dan jasa lainnya, termasuk upah dan gaji para pekerja.
Jika memakai analisis konvensional, yaitu persamaan identitas (teori kuantitas uang dari Irving Fisher), maka:[22]
MV = PT = Y
Dimana:
M = jumlah uang yang beredar
V  = perputaran uang dari satu tangan ke tangan dalam satu periode
P  = tingkat harga
T  = jumlah barang dan jasa
Y  = tingkat pendapatan nasional
maka Natural Inflation dapat diartikan sebagai :[23]
1)      Gangguan terhadap jumlah barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu perekonomian (T). Misalnya T↓ sedangkan M dan V tetap, maka konsekuensinya P↑. Maksudnya, jika barang dan jasa yang dihasilkan sedikit tetapi uang yang ada di masyarakat banyak, maka untuk memperoleh barang dan jasa tersebut masyarakat harus membayar dengan harga lebih karena keterbatasan barang dan jasa tersebut.
2)      Naiknya daya beli masyarakat secara riil. Misalnya nilai ekspor lebih besar dari pada nilai impor, sehingga secara netto terjadi impor uang yang mengakibatkan M↓ sehingga jika V dan T tetap maka P↑.
Lebih jauh, jika dianalisis dengan persamaan :
AD = AS
dimana;     Y    = pendapatan nasional
                  C    = konsumsi
                  I     = investasi
                  G  = pengeluaran pemerintah
            (X-M) = net export
maka :[24]
Y = C + I + G + (X – M)
Natural inflation akan dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya, yaitu :
1)      Akibat uang yang masuk dari luar negeri terlalu banyak, dimana ekspor (X↑) sedangkan impor (M↓) sehingga net export nilainya sangat besar, maka mengakibatkan naiknya Permintaan Agregatif (AD↑)


Gambar 1.2: Demand Pull Inflation
Sumber: Adiwarman A. Karim, Ekonomi MakroIslam
Misalnya :
Pada masa khalifah Umar ibn Khattab, kafilah pedagang yang menjual barangnya di luar negeri membeli barang-barang dari luar negeri lebih sedikit nilainya daripada nilai barang-barang yang mereka jual, sehingga mereka mendapat keuntungan. Keuntungan yang berupa kelebihan uang tersebut dibawa masuk ke Madinah sehingga pendapatan dan daya beli masyarakat akan naik (AD↑). Naiknya Permintaan Agregat akan membuat kurva AD bergeser ke kanan dan akan mengakibatkan naiknya tingkat harga secara keseluruhan (P↑). Kemudian, yang dilakukan oleh Umar ibn Khattab dalam mengatasi masalah tersebut adalah beliau melarang penduduk Madinah untuk membeli barang-barang selama 2 hari berturut-turut. Akibatnya, adalah turunnya Permintaan Agregat (AD↓) dan tingkat harga menjadi normal.
2)      Akibat dari turunnya tingkat produksi (AS↓) karena terjadinya panceklik, perang, ataupun embargo dan boycott.


Gambar 1.3: Cost Push Inflation
Sumber: Adiwarman A. Karim, Ekonomi MakroIslam
Misalnya :
Pada saat pemerintahan Umar ibn Khattab pernah terjadi masa panceklik yang mengakibatkan kelangkaan gandum, diibaratkan pada gravik sebagai kurva AS yang bergeser ke kiri (AS↓) yang mengakibatkan naiknya harga-harga (P↑). Yang dilakukan oleh Umar ibn Khattab dalam mengatasi permasalahn ini, beliau melakukan impor gandum dari Mesir, sehingga Penawaran Agregat (AS) barang di pasar kembali naik (AS↑) yang kemudian berdampak pada penurunan harga-harga (P↓).
Contoh kondisi kekinian:
WONOGIRI -- Kenaikan harga beras mulai pertengahan Fabruari disinyalir dipicu oleh musim paceklik. Istilah ini dikenal masyarakat Jawa sejak dulu yang mengisyaratkan masa ekonomi sulit saat puncak musim hujan hingga mahalnya harga pangan. Kepala Dinas Perdagangan Perindustrian Koperasi dan UMKM (Disperindagkop UMKM) Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Guruh Santoso menyebut,saat ini sedang masa paceklik. "Wajar jika harga mahal karena menipisnya stok barang," katanya, Selasa (24/2). Dulu, lanjut Guruh, musim paceklik terjadi kalau sudah memasuki puncak musim hujan. Petani menunggu masa panen sekitar satu-dua bulan. Saat itu, lumbung cadangan pangan mulai menipis. Dalam kondisi seperti ini, hukum ekonomi berlaku. Stok barang sedikit dan permintaan banyak. Ini jelas memicu harga barang melambung.[25]
b.      Inflasi Akibat Kesalahan Manusia (Human Error Inflation)
Selain faktor alam, Al-Maqrizi menyatakan bahwa inflasi dapat terjadi akibat kesalahan manusia. Ia menganalisis, ada tiga hal utama yang baik secara sendiri-sendiri atau pun bersama-sama menjadi penyebab terjadinya inflasi. Ketiga hal tersebut adalah: (1) Korupsi dan Administrasi yang Buruk, (2) Pajak yang Berlebihan, dan (3) Peningkatan Sirkulasi Mata Uang Fulus.[26]
a)    Korupsi dan Administrasi yang Buruk (Corruption and Bad Administrations)
Menurut Al Maqrizi pengangkatan pejabat pemerintahan yang berdasarkan pemberian suap, dan bukan kapabilitas akan menempatkan orang-orang yang tidak mempunyai kredibilitas pada berbagai jabatan penting dan terhormat baik di kalangan legislative, yudikatif, maupun eksekutif. Mereka rela menggadaikan seluruh hartanya sebagai kompensasi untuk meraih jabatan.[27] Akibatnya, ketika mereka mendapatkan jabatan yang tinggi, mereka mulai menyalah gunakan kekuasaan untuk meraih kepentingan pribadi, baik untuk memenuhi kelangsungan hidupnya maupun nafsu untuk memiliki kemewahan hidup. Pada akhirnya masyarakat umum yang menjadi korbannya.
Misalnya contoh kasus korupsi Gayus Tabunan kemaren, Jakarta - Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) telah berhasil melakukan lelang eksekusi barang rampasan dalam perkara tindak pidana korupsi Gayus Halomoan Partahanan Tambunan. Dari penjualan aset Gayus menghasilkan uang sebesar Rp 7,774 Miliar. Dilansir dari keterangan tertulis DJKN, Rabu (24/12/2014), barang yang dilelang berupa 31 keping logam mulia yang terjual Rp 1,41 miliar, dan sebidang tanah serta bangunan yang laku terjual Rp 6,364 miliar. "Tanah dan bangunan di atasnya ditambah sarana dan prasarana dengan luas tanah 250 m2, luas bangunan 223 m2 yang terletak di Perumahan Gading Park View, Blok ZE-6 No,1 Kelurahan Sunter Agung, Kecamatan Kelapa Gaging, Jakarta Utara," kata Direktur Hukum dan Humas DJKN Tavianto Noegroho.
Lelang yang dilaksanakan di aula KPKNL Jakarta TIV Jalan Prapatan No.10, Jakarta Pusat dengan cara penawaran lelang secara lisan dengan harga semakin meningkat. Kedua aset milik Gayus ini dilelang atas permintaan Kejaksaan Agung RI berdasarkan putusan pengadilan Negergi Jakarta Pusat No.34/Pid.B/TPK/2011/PN.Jkt.Pst tanggal 1 Maret 2012 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No.22/Pid/TPK/2012/PT.DKI tanggal 1 Maret 2012 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor 53 K/Pid.Sus/2013 tanggal 26 Maret 2013 atas nama Gayus Halomoan Partahanan Tambunan.[28]
Atau misalnya juga kasus korupsi yang ada di suatu perusahaan. Jika kita merujuk pada persamaan MV = PT, maka korupsi akan mengganggu tingkat harga (P↑) karena para produsen akan menaikkan harga jual produksinya untuk menutupi biaya-biaya yang telah mereka keluarkan. Harga yang terjadi terdistorsi oleh komponen yang seharusnya tidak ada sehingga akan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Pada akhirnya, akan terjadi inefisiensi alokasi sumber daya yang akan merugikan masyarakat secara keseluruhan. Jika merujuk pada persamaan AS-AD maka akan terlihat bahwa korupsi dan administrasi pemerintahan yang buruk akan menyebabkan kontraksi pada kurva Penawaran Agregatif (AS↓).[29]
b)    Pajak yang Berlebihan (Excessive Tax)
Menurut al Maqrizi, akibat dominasi para pejabat bermental korup dalam suatu pemerintahan, pengeluaran negara mengalami peningkatan secara drastis. Sebagai kompensasinya mereka menerapkan system perpajakan yang menindas rakyat dengan memberlakukan berbagai pajak baru serta menaikkan tingkat pajak yang telah ada. Hal ini dapat menaikkan tingkat harga-harga.[30] Efek yang ditimbulkan oleh pajak yang berlebihan pada perekonomian hampir sama dengan efek yang ditimbulkan oleh korupsi dan administrasi yang buruk yaitu kontraksi pada kurva Penawaran Agregatif (AS↓).[31]
c)    Peningkatan Sirkulasi Mata Uang Fulus (Excessive seignorage)
Seignorage artinya keuntungan dari percetakan koin yang didapat oleh percetakannya dimana biasanya percetakan tersebut dimiliki oleh pihak penguasa atau kerajaan.[32] Ketika terjadi defisit anggaran sebagai akibat dari perilaku buruk para pejabat yang menghabiskan uang negara untuk berbagai kepentingan pribadi dan kelompoknya, pemerintah melakukan pencetakan mata uang fulus secara besar-besaran. Menurut Al-Maqrizi, kegiatan tersebut semakin meluas pada saat ambisi pemerintah untuk memperoleh keuntungan yang sangat besar dari pencetakan mata uang yang tidak membutuhkan biaya produksi tinggi ini tidak terkendali. Pemerintah mengeluarkan maklumat yang memaksa rakyat menggunakan mata uang itu. Jumlah fulus yang dimiliki masyarakat semakin besar dan sirkulasinya mengalami peningkatan yang sangat tajam. Al-Maqrizi mengemukakan bahwa kebijakan pemerintah tersebut berimplikasi terhadap keberadaan mata uang lainnya. Keadaan ini menempatkan fulus sebagai standar nilai bagi sebagian besar barang dan jasa. Akibatnya, uang tidak lagi bernilai dan harga-harga membumbung tinggi yang pada akhirnya menimbulkan kelangkaan bahan makanan.[33]
Di lain pihak, ekonom Islam Ibn al-Maqrizi berpendapat bahwa pencetakan uang yang berlebihan jelas-jelas akan mengakibatkan naiknya tingkat harga (P↑) secara keseluruhan (inflasi). Menurut Al Maqrizi kenaikan harga-harga komoditas adalah kenaikan dalam jumlah bentuk uang (fulus) atau nominal, sedangkan jika diukur dengan emas (dinar) maka harga-harga tersebut jarang sekali mengalami kenaikan. Ibn al-Maqrizi berpendapat bahwa uang sebaiknya dicetak hanya pada tingkat minimal yang dibutuhkan untuk bertransaksi (jual-beli) dan dalam pecahan yang mempunyai nilai nominal kecil (supaya tidak ditumpuk atau hoarding).[34]
E.     BANK
Aransemen profit-sharing (bagi-hasil) seperti mudharabah dan musyarakah hampir pasti sudah ada sebelum datangnya Islam. Di Timur Tengah pra-Islam, kemitraan-kemitraan bisnis yang berdasarkan atas konsep mudharabah berjalan berdampingan dengan konsep pinjaman sistem bunga sebagai cara untuk membiayai berbagai aktivitas ekonomi (Crone, 1987; Kazarian; 1991; Cizaka, 1995). Setelah kedatangan Islam, transaksi keuangan berbasis bunga pun dilarang dan semua dana harus disalurkan atas dasar profit-sharing. Teknik kemitraan bisnis, dengan menggunakan prinsip mudharabah, dipraktikkan sendiri oleh Nabi Muhammad saw bertindak sebagai mudharib (wakil atau pihak yang dimodali) untuk istrinya, Khadijah. Sementara Khalifah yang kedua, Umar bin Khattab, menginvestasikan uang anak yatim pada para saudagar yang berdagang di jalur perdagangan antara Madinah dan Irak.[35]
Praktek perbankan dalam sejarah Islam telah dikenal sejak zaman Abbasiyah, walaupun masih dilakukan secara perorangan. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang pada zaman itu sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan antara satu mata uang dan mata uang lainnya. lni diperlukan karena setiap mata uang mempunyai kandungan logam mulia yang berlainan sehingga mempunyai nilai yang berbeda pula. Orang yang mempunyai keahlian khusus ini disebut naqid, sarraf, dan jihbiz. Istilah jihbiz mulai dikenal sejak zaman Muawiyah (661-680M) yang sebenamya dipinjam dari bahasa Persia, hahbad atau hihbud. Pada masa pemerintahan Sasanid, istilah ini dipergunakan untuk orang/yang ditugas-kan mengumpulkan pajak tanah.[36]
Peranan bankir pada zaman Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Muqtadir (908-932M). Saat itu, hampir setiap wazir mempunyai bankir sendiri. Misalnya, lbnu Furat menunjuk Harun ibnu Inuan dan Joseph ibnu Wahab sebagai bankirnya. Lalu Ibnu Abi lsa menunjuk Ali ibn 1sa, Hamid ibnu Abbas menunjuk Ibrahim ibnu Yuhanna, bahkan Abdullah al-Baridi mempunyai tiga orang bankir sekaligus: dua Yahudi dan satu Kristen. Kemajuan praktek perbankan pada zaman itu ditandai dengan beredarnya sakk (cek) dengan luas sebagai media pembayaran. Bahkan, peranan bankir telah meliputi tiga aspek, yakni menerima deposit, menyalurkannya, dan mentransfer uang.[37]
F.     PENUTUP
Pada sejarah singkat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sistem moneter pada zaman Rasulullah menggunakan bimetallic standart yaitu dengan kombinasi emas dan perak (uang dinar dan uang dirham) sebagai alat pembayaran. Di masa Imam Ali mata uang masih di impor, kaum muslimin hanya mengontrol kualitas uang impor itu, namun setelah mencetak sendiri, kaum muslimin secara langsung mengawasi penawaran uang yang ada. Tinggi rendahnya permintaan uang bergantung pada frekuensi transaksi perdagangan dan jasa. Al-Maqrizi membahas permasalahan  inflasi secara lebih detail. Ia mengklasifikasikan inflasi berdasarkan faktor penyebabnya ke dalam dua hal, yakni: (a) Inflasi yang disebabkan oleh faktor alamiah (Natural Inflation), dan (b) Inflasi akibat kesalahan manusia (Human Error Inflation). Praktek perbankan dalam sejarah Islam mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang pada zaman itu sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan antara satu mata uang dan mata uang lainnya.


[1]Footnote dihapus untuk menghindari hal-hal yang tidak seharusnya.
    mei 2015 matakuliah Ekonomi Moneter IAIN Tulungagung.