Friday, January 16, 2015

Akhlak Tasawuf - Mahabbah

      A.    Pengertian mahabbah
Pengertian mahabbah secara bahasa berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harpiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi, jamil shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al-mahabbah dapat berarti juga al-wadud, yakni yang sangat kasih atau penyayang. Selain itu mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual.
Pengertian menurut istilah mahabbah adalah kecintaan yang mendalam secara ruhiah kepada Tuhan. Pengertian mahabbah secara tasawuf al-mahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT, oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihinya dan yang seeorang hamba mencintai Allah SWT.
Dilihat dari segi tingkatannya, mahabbah yang dikemukakan oleh Harun Nasution yang dikutip dari Al-Saray, ada tiga macam, yaitu :
  1. Mahabbbah orang biasa, yaitu selalu mengingat Allah dengan berdzikir
  2. Mahabbah orang shidiq, yaitu orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesarannya, pada kekuasaannya dan lain-lain.
  3. Mahabbah orang arif, yaitu orang yang tau betul pada Tuhan, cinta ini timbul karena telah tahu betul pada Tuhan.
`           Ketiga tingkatan mahabbah tersebut tampak menyebutkan suatu proses mencintai yanitu mulai dari mengenal sifat-sifat tuhan, dengan menyebutnya melalui dzikir dilanjutkan dengan leburnya diri (fana) pada sifat-sifat Tuhan, dan akhirnya menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya cinta yang terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah. Ilustrasi tentang cinta juga di kemukakan oleh Ibnu Al-‘Arabi bahwa muhabbah adalah bertemunya dua kehendak yakni kehendak Tuhan dan kehendak manusia. Kehendak Tuhan, yakni kerinduannya untuk berTajali dengan alam. Sedangkan kehendak manusia ialah kembali pada esensinya sebagai wujud mutlak.
B.     Tujuan mahabbah
Tujuan mahabbah yaitu untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dituliskan dengan kata-kata tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Serta mencintai Tuhan dan berharap dicintai oleh Tuhan.
C.    Kedudukan mahabbah
Dibandingkan dengan ma’rifat, roh mahabbah lebih tinggi tingkatannya dari ma’rifah. Karena ma’rifah merupakan tingkat pengetahuan pada tuhan melalui mata hati (al-qolb) sedangkan mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan tuhan melalui cinta. Oleh karena itu menurut Al-Gazali mahabbah merupakan manifestasi ma’rifah kepada Tuhan. Diantara ulama ada yang menempatkan muhabbah sebagai bagian dari muqomat tertinggi yang merupakan puncak pencapaian para sufi. Muhabbah (cinta), mengandung arti keteguhan dan kemantapan. Seseorang yang sedang dilanda rasa cinta pada sesuatu tidak akan beralih atau berpaling pada suatu yang lain.
D.    Alat untuk mencapai mahabbah
Para ahli tasawuf menggunakan pendekatan psikologi yaitu pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Menurut Harun Nasution alat untuk mencapai mahabbah ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan.
  1. Al-qolb, yaitu hati sanubari, sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat tuhan.
  2. Roh, yaitu sebagai alat untuk mencintai Tuhan.
  3. Sir, yaitu alat untuk melihat Tuhan. Sir lebih halus dari pada roh dan roh lebih halus dari pada qolb.
Menurut Harun Nasution bahwa alat untuk memperoleh ma’rifah oleh sufi disebut sir. Dengan keterangan tersebut, dapat  diketahui bahwa alat untuk mencintai tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya diisi oleh cinta kepada tuhan.
Roh yang digunakan untuk mencintai tuhan itu telah dianugrahkan tuhan kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandunagn ketika berumur empat bulan.
E.     Tokoh yang mengembangkan mahabbah
Hampir seluruh literatur bidang tasawuf menyebutkan bahwa tokoh yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah robi’ah al-adawiyah. Robi’ah al-adawiyah adalah seorang jahid perempuan yang amat besar dari Basyrah, di Iraq. Ia hidup antara tahun 713-801 H, ia meninggal dunia dalam tahun 185 H / 796 M. Menurut riwayat ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadat, bertaubat dan menjauhi hidup. Ia hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala bantuan material yang diberikan orang kepadanya, ia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari tuhan ia betul-betul hidup dalam keadaan juhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.
G.    Mahabbah dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits
Paham mahabbah sebagaimana disebutkan diatas mendapat tempat didalam al-Qur’an. Banyak ayat-ayat al-qur’an yang menggambarkan bahwa antara manusia dengan tuhan dapat saling bercinta.Seperti Q.S. Ali-Imran : 30 yang artinya “jika kamu cinta kepada Allah, maka turutlah aku dan Allah akan mencintai kamu”. Dan dalam Q.S. Al- Maidah : 54, yang artinya “Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintaiNya dan yang mencintaiNya”.
Di dalam hadits juga dinyatakan “Hambaku senantiasa mendekatkan diri kepada ku dengan perbuatan perbuatan hingga Aku cinta padanya. Orang yang Kucintai menjadi telinga, mata dan tanganku.”

Kedua ayat dan satu hadits tersebut bahwa antara manusia dan tuhan dapat saling mencintai karena alat untuk mencintai Tuhan yaitu roh adalah berasal dari roh tuhan. Ayat dan hadits tersebut juga menjelaskan bahwa pada saat terjadi mahabbah diri yang diCintai telah menyatu dengan yang mencintai yang digambarkan dalam telinga, mata, dan tangan Tuhan. Dan untuk mencapai keandaan tersebut dilakukan dengan amal ibadah yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Nata,M.A, Prof. Dr. H. Abudin, akhlak tasawuf, Jakarta; rajawali pers, 2009
Hasyim, Muhammad, dialog antara tasawuf dan psikologi, Yokyakarta; pustaka pelajat offset, 2002

0 komentar:

Post a Comment