Tuesday, January 20, 2015

Pemikiran Ekonomi Islam - Imam Al-Ghazali

A.    RIWAYAT HIDUP
Al-Ghazali terlahir dengan nama lengkap Abu Hamid Ahmad ibn Muhammad al-Ghazali at-Thusi, juga dijuluki dengan gelar Hujjah al-Islam. Lahir pada tahun 450 H/1058 M di Tus (sekarang Meshed), sebuah kota kecil di daerah Khurasan (sekarang Iran). Ayahnya bekerja sebagai pemintal benang wol dan menjual hasil prodiksinya sendiri ke pasar-pasar di sekitar tempat tinggalnya. Karena ayahnya penjual benang, maka ia diberi nama panggilan Ghazali, yang dalam bahasa Arab berarti “pembuat benang”. Abu Hamid Al-Ghazali terkenal di Barat sebagai Al-Ghazel, merupakan salah satu pemikir besar Islam.
Sejak muda, Al-Ghazali sangat antusias terhadap ilmu pengetahuan. Ia pertama-tama belajar bahasa Arab dan fiqh di kota Tus, kemudian pergi ke kota Jurjan untuk belajar dasar-dasar Ushul Fiqh. Pada tahun 483 H (1090 M), ia di angkat menjadi guru di Madrasah Nizhamiyah. Pekerjaannya dilaksanakan dengan sangat berhasil, sehingga para ilmuan pada masa itu menjadikannya sebagai referensi utama.
Pada tahun 488 H (1095 M), al-Ghazali meninggalkan Baghdad dan pergii menuju ke Syria untuk merenung, membaca, dan menulis selama kurang lebih 2 tahun. Namun Al-Ghazali mendapat desakan dari para penguasa pada waktu itu  yaitu wazir Fakhr Al-Mulk, al-Ghazali kembali mengajar di Madrasah Nizhamiyah di Naisabur. Akan tetapi pekerjaan tersebut hanya bertahan selama dua tahun. Ia kembali lagi ke kota Tus untuk mendirikan sebuah madrasah, Al-Ghazali memilih kota ini sebagai tempat menghabiskan waktu dan energinya untuk menyebarkan ilmu pengetahuan.
Umumnya kita mengenal Imam Al Ghazali  sebagai seorang ahli sufi besar, seorang ahli tasawuf yang membenci dunia. Tidak seorangpun menggambarkannya sebagai seorang politikus yang mempunyai konsepsi dalam soal kenegaraan dan pemerintahan. Tidak banyak dikenal bahwa Al-Ghazali membicarakan soal-soal ekonomi apalagi menyebutkan soal-soal perbankan.
Namun demikian, Al-Ghazali yang hidup pada abad-12 (450-505 H/ 1058-1111M), membicarakan semuanya itu dengan cara-cara yang logis dan modern, yang analisisnya masih up to date untuk zaman ini. Bahkan, dia membicarakannya dalam bukunya Ihya ‘Ulum Ad-Diin, yang menjadi pegangan bagi ahli-ahli tasawuf.
Akhir hidup al-Ghazali di Teheran pada 505 H/1111 M, seperti biasanya, ia bangun pagi pada suatu hari Senin, bersembahyang, kemudian meminta dibawakan peti matinya. Ia seolah-olah mengusap peti itu dengan matanya dan berkata “apapun perintah Tuhan, aku telah siap melaksanakannya”. Sambil mengucap kata-kata itu ia meluruskan kakinya, dan ketika orang melihat wajahnya, Imam besar itu sudah tiada.
B.     KARYA – KARYANYA
Al-Ghazali merupakan sosok ilmuwan dan penulis yang sangat produktif. Berbagai tulisannya telah banyak menarik perhatian dunia. Baik dari kalangan muslim maupun non muslim. Para pemikir Barat Abad pertengahan, seperti Raymond Martin, Thomas Aquinas, dan Pascal. Ditengarai banyak dipengaruhi oleh pemikiran Al-Ghazali. Pasca periode sang Hujjatullah ini, berbagai hasil karyanya yang telah banyak di terjemahkan kedalam berbagai bahasa, seperti Latin,Spanyol,Yahudi,Prancis,Jerman,dan Inggris, di jadikan referensi oleh kurang lebih 44 pemikir Barat. Ia juga di perkirakan, telah menghasilkan 300 buah karya tulis yang meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti logika, filsafat, moral, tafsir, fiqih, ilmu-ilmu Al-Qur’an, tasawuf, politik, administrasi dan perilaku ekonomi. Namun demikian yang ada hingga kini hanya 84 buah, diantaranya adalah Ihya ‘Ulum al-Din, al-Munqidz min al-Dhalal,Tahafut al-Falasifah,Minhaj al-‘Abidin,dan lain sebagainya.
C.    PEMIKIRAN EKONOMI
Seperti halnya para cendekiawan muslim terdahulu, perhatian al-Ghazali terhadap kehidupan masyarakat tidak terfokus pada satu bidang tertentu, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu kita tidak pernah menemukan karya tulisnya yang khusus membahas ekonomi islam. Perhatiannya dibidang ekonomi itu terkandung dalam berbagai studi fiqhnya, karena ekonomi islam pada hakikatnya merupakan bagian yang tak terpisah dari fiqh islam.
Namun demikian, pemikiran ekonomi Al-Ghazali didasarkan pada pendekatan tasawuf, karena pada  masa hidupnya, orang-orang kaya berkuasa dan sarat prestise sulit menerima pendekatan fiqh dan filosofis yang mempercayainya Yaum al-Hisab (hari pembalasan). Corak pemikiran ekonominya tersebut dituangkan dalam kitab  Ihya ‘Ulum al-din,al-Mustasfa,Mizan Al-‘Amal, dan al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk.
Al-Ghazali dalam bukunya Ihya ‘Ulum Ad-Diin jus III, hal 291, menyebutkan “hakikat dunia” yang terdiri atas 3 unsur, yaitu benda-benda (materi), adanya bagian manusia, dan pembangunan. Ia mengatakan, “ketahuilah, bahwa dunia ibarat dari adanya benda-benda(materi), adanya bagian masing-masing dunia, dan perlunya masing-masing manusia, dan perlunya masing-masing manusia sibuk membangun. Inilah tiga unsure yang diperlukan. Sebagian orang menduga bahwa dunia dapat berdiri dengan salah satu unsure itu, padahal bukanlah demikian.
Unsur utama yang dikemukakan Al-Ghazali ialah perlu adanya  materi bagi hidup manusia di dunia ini. Kemudian disusul unsure kedua, yaitu masing-masing orang memiliki bagian dari segala materi itu. Lalu unsure terakhir yang lebih penting, ialah manusia sibuk mengadakan pembangunan. Ketiganya tidak boleh dipisahkan, harus saling mengisi, dan saling berhubungan.
Pada bagian lain diterangkan bahwa manusia sering lalai dan mempermainkan unsure-unsur itu, sehingga diperlukan adanya peraturan untuk memelihara dunia sebaik-baiknya. Al-Ghazali mengataka, “akan tetapi, karena kelalaian dan kejahilan manusia, Tuhan menjadikan peraturan dalam Negara dan kepentingan untuk rakyat. Bahkan, semua urusan dunia diberi peraturan karena kelalaian dan pemikiran yang rendah itu. Kalau semua orang berpikiran sadar dan mempunyai kemauan, baik tentulah semuanya menjadi orang-orang zuhud, orang-orang suci di dunia ini. Kalau tidak demikian, terlantarlah segala jalan prekonomian dan menjadi rusaklah semua manusia,  termasuk kaum zuhud yang suci itu.”
Lalu Al-Ghazali mengajukan suatu teori saling ketergantungan yang di zaman kita ini dikenal dengan inter-dependence, “Setiap manusia, dalam kebutuhan hidupnya, saling bergantung satu sama lain. Kaum produsen yang menghasilkan bahan makanan di desa memerlukan alat-alat industry yang dihasilkan oleh pabrik di kota, dan keduanya memerlukan kaum pedagang akan mengusahakan tukar-menukar barang-barang yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak. Para konsumen memerlukan barang-barang dari pihak produsen. Mereka menjadi produsen karena menghasilkan macam-macam barang-barang yang dihasilkan oleh orang lain.”
Itulah sebabnya, Al-Ghazali menyebutkan, demi kepetingan ekonomi, janganlah semua orang menjadi zuhud, orang suci yang akan menjauhi barang-barang kebutuhan duniawi, baik sebagai penghasilan maupun sebagai pemakai. Karena pekerjaan duniawi itu melalaikan manusia dan menjahilkan mereka, perlu adanya peraturan untuk menjaga agar tidak terjadi pelanggaran hak masing-masing, baik peraturan yang datangnya dari perintaah ataupun timbul dari kesadaran dalam pergaulan (masyarakat) terutama peraturan yang datangnya dari Tuhan.
Pemikiran sosio ekonomi al-Ghazali berakar dari sebuah konsep yang dia sebut sebagai “fungsi kesejahteraan sosial islam”. Tema yang menjadi pangkal tolak seluruh karyanya dalam konsep maslahat atau kesejahteraan sosial atau utulitas (kebaikan bersama), yakni sebuah konsep yang mencakup semua aktivitas manusia dan membuat kaitan yang erat antara individu dengan masyarakat. Seorang poenulis menyatakan bahwa Al-Ghazali telah menemukan sebuah konsep fungsi kesejahteraan sosial yang sulit diruntuhkan dan yang telah dirindukan oleh para ekonomi kontemporer (modern). al- Ghazali mengidentifikasikan semua masalah baik yang berupa masalih (utilitas,manfaat), maupun mafasid (disutilitas, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan sosial. Selanjutnya,mengidentifikasikan fungsi sosial dalam kerangka hierarki kebutuhan individu dan sosial.
Al-Ghazali mengidentiifikasikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam kerangka sebuah hierarki utilitas individu dan sosial yang tripartite, yakni kebutuhan (daruriat),kesenangan atau kenyamanan (hajat), dan kemewahan (tahsinaat). Hierarki tersebut merupakan sebuah klasifikasi peninggalan tradisi Aristotelian yang disebut sebagai kebutuhan ordinal yang terdiri dari kebutuhan dasar, kebutuhan terhadap barang-barang eksternal dan kebutuhan tehadap barang-barang psikis.
Disamping itu, Al-Ghazali memandang perkembangan ekonomi sebagai bagian dari tugas-tugas  kewajiban sosial (fard al-kifayah) yang sudah di tetapkan Allah: jika hal-hal ini tidak dipenuhi, kehidupan dunia akan runtuh dan kemanusiaan akan binasa. Ia menegaskan bahwa aktivitas ekonomi harus dilakukan secaraefisien karena merupakan bagian dari pemenuhan tugas keagamaan seseorang. Selanjutnya ia jugamengidentifikasikan tiga alasan mengapa seseorang harus melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi yaitu,pertama, untuk mencukupi kebutuhan hidup yang bersangkutan;kedua, untuk mensejahterakan keluarga;dan ketiga,untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Menurutnya, tidak terpenuhinya tiga alasan tersebut ini akan dipersalahkan oleh agama.
Al-Ghazali menyatakan bahwa pendapatan dan kekayaan seseorang berasal dari tiga sumber, yaitu pendapatan melalui tenaga individual,  laba perdagangan dan pendapatan karena nasib baik. Contoh dari sumber ketiga adalah pendapatan melalui warisan, menemukan harta terpendam atau mendapat hadiah. Namun, ia menandaskan bahwa berbagai sumber pendapatan tersebut harus diperoleh secara sah dan tidak melanggar hukum agama.
Ia bersikap kritis terhadap keadilan yang dipaksakan dalam hal pendapatan dan kekayaan. Selama memungkinkan, pembagian kekayaan harus dilakukan secara suka rela, yang lebih di motivasi oleh kewajiban moral agama terhadap sesama manusia daripada melaliu kekuasaan negara-walaupun kondisi memerlukan pendapat tersebut.
Beberapa tema ekonomi yang dapat diangkat dari pemikiran Al-Ghazali antara lain:
1.      Pertukaran sukarela dan evolusi pasar
Al-Ghazali memberikan pembahasan terperinci tentang peranan dan signifikansi perdagangan yang dilakukan secara sukarela, serta proses timbulnya pasar yang berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran untuk menentukan harga dan laba. Al-Ghazali membangun dasar-dasar dari apa yang kemudian dikenal sebagai “semangat kapitalisme”
Baginya pasar berevolusi sebagai bagian dari “hukum alam”segala sesuatu yakni sebuah ekspresi berbagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan ekonomi. Kedalam dan keluasan perdagangannyadapat kita lihat dari kutipan berikut:
Mungkin saja pertani hidup ketika peralatan pertanian tidak tersedia. Sebaliknya pandai besi dan tukang kayu hidup ditempat yang tidak memiliki lahan pertanian. Jadi, petani membutuhkan pandai besi dan tukang kayu, dan mereka pada gilirannya membutuhkan petani. Secara alami, masing-masing akan ingin untuk memenuhi kebutuhannya dengan memberikan sebagian miliknya untuk diperlukan. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan alat-alat tersebut. Atau, jika petani membutuhkan alat-alat, tukang kayu membutuhkan makanan. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak dan tempat penyimpanan hasil pertanian dilain pihak. Tempat inilah kemudian didatangi pembeli sesuai kebutuhannya masing-masing sehingga tebentuklah pasar. Petani, tukang kayu dan pandai besi yang tidak dapat langsung melakukan barter, juga terdorong pergi kepasar ini. Bila dipasar juga tidak ditemukan orang yang mau melakukan barter, ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang relatif murah untuk disimpan sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tinkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang”.
Secara eksplisit, Al-Ghazali juga menjelaskan tentang perdagangan religion sebagai berikut:
“selanjutnya praktik-praktik ini terjai diberbagai kota dan negara. Orang-orang melakukan perjalanan keberbagai tempat untuk mendapatkan alat-alat dan makanan dan membawanya ketempat lain. Urusan ekonomi orang akhirnya diorganisasikan kekota-kota yang mungkin tidak memiliki alat-alatyang dibutuhkan, dan kedesa-desa yang mungkin tidak memiliki semua bahan makana yang tidak dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada gilirannya menimbulkan kebutuhan alat transportasi. Terciptanya kelas pedagang religional dalam masyarakat. Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapat keuntungan dan keuntungan ini akhirnya dimakan oleh orang lain juga.”

Dengan demikian Al-Ghazali jelas-jelas menyatakan “mutualitas” dalam pertukaran ekonomi, tang mengharuskan spesialisasi dan pembagian kerja menurut daerah dan sumberdaya. Selanjutnya ia menyadari bahwa kegiatan perdagangan memberikan nilai tambah terhadap barang-barang karena perdagangan membuat barang-barang dapat dijangkau pada waktu dan tempat yang tepat. Didorong olrh kepentingan pribadi orang-orang, pertukarang menimbukan penyebab timbulnya perantara yang mencari laba,yakni pedagang.

a.      Permintaan, penawaran, harga, dan laba
Sepanjang tulisannya Al-Ghazali berbicara mengenai “harga yang berlaku, seperti yang ditentukan oleh praktik-praktik pasar”,sebuah konsep yang dikemudian hari dikenal sebagai al-tsaman al-adil (harga yang adil) dikalanga ilmuan muslim atau equilibrium price (harga keseimbangan) dikalangan ilmuan eropa kontemporer.
Al-Ghazali menujukkan kurva penawaran yang ber-slope positif ketika menyatakan bahwa jika petani tidak membelikan dari peroduk-produknya maka ia akan menjual apada harga yang terendah.
Ia juga memiliki wawasan mengenai konsep elastisitas permintaan ketika menyatakan bahwa pengurangan margin keuntungan dengan mengurangi harga lkan menyebabkan peningkatan penjualan, dan karenanya terjadi peningkatan laba. Ia juga menadari permintaan “harga inelastis”. Dalam hal ini, ia menjelakan bahwa karena merupakan kebutuhan pokok, maka motivasi laba harus seminimal mungkin mendorong perdagangan makanan, karena dapat terjadi eksploitasi melaui penerapan tingkat harga dan laba yang berlebihan. Berkaitan dengan hal ini, ia menyatakan bahwa laba normal seharusnya berkisar antara 5 sampai 10 persen dari harga barang.
b.      Evolisi Pasar
Bagi al-Ghazali, pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”. Secara rinci, dia juga menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar. Ia menyatakan bahwa, dapat saja petani hidup di mana alat-alat pertanian tidak tersedia. Sebaliknya pandai besi dan tukang kayu hidup di mana lahan pertanian tidak ada. Namun secara alami, mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan makanan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut atau sebaliknya. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak dan tempat penyimpanan hasil pertanian di pihak lain. Tempat inilah yang kemudian didatangi pembeli sesuai kebutuhannya masing-masing sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu, dan padai besi yang tidak dapat langsung melakukan barter, juga terdorong pergi ke pasar ini. Bila di pasar juga tidak ditemukan orang yang mau melakukan barter, ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang relatif murah untuk kemudian disimpan sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang.
Selanjutnya praktek-praktek ini terjadi di berbagai kota dan negara. Orang-orang melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mendapatkan alat-alat makanan dan membawanya ke tempat lain. Urusan ekonomi orang akhirnya diorganisasikan ke kota-kota di mana tidak seluruh makanan dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada gilirannya menimbulkan kebutuhan terhadap alat transportasi. Terciptalah kelas pedagang regional dalam masyarakat. Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapatkan keuntungan, dan keuntungan ini akhirnya dimakan oleh orang lain juga.
Al-Ghazali juga memperkenalkan teori permintaan dan penawaran; jika petani tidak mendapatkan pembeli, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah, dan harga dapat diturunkan dengan menambah jumlah barang di pasar. Ia juga memperkenalkan elastisitas permintaan, ia mengidentifikasi permintaan produk makanan adalah inelastis, karena makanan adalah kebutuhan pokok. Oleh karena dalam perdagangan makanan motif mencari keuntungan yang tinggi harus diminimalisir. Jika ingin mendapatkan keuntungan tinggi dari perdagangan, selayaknya dicari barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.
Bagi Ghazali, keuntungan adalah kompensasi dari kepayahan perjalanan, risiko bisnis, dan ancaman keselamatan diri si pedagang. Walaupun, ia tidak setuju dengan keuntungan yang berlebih untuk menjadi motivasi pedagan. Bagi Ghazali keuntunganlah yang menjadi motivasi pedagang. Namun bagi Ghazali, keuntungan sesungguhnya adalah keuntungan di akhirat kelak.
c.       Etika perilaku pasar
Dalam pandangannya , pasar harus berfungsi berdasarkan etika dan moral para pelakunya. Secara khusus, ia memperingatkan larangan mengambil keuntungan dengan cara menimbun makana dab barang-barang kebutuhan dasar lainnya. Penimbunan barang merupakan kedzaliman yang besar, terutama disaat terjadi kelangkaan dan para pelakunya harus dikutuk.
Ia menganggap bahwa iklan palsu sebagai salah satu kejahatan pasar yang harus dilarang. Ia juga memperingatkan para pedagang agar tidak memberikan informasi yang salah mengenai berat,jumlah atau harga barang penjualannya.
Dalam pandangannya, pasar harus berjalan dengan bebas dan bersih dari segala bentuk penipuan.perilaku para pelaku pasar harus mencerminkan kebajikan, yakni memberikan suatu tembahan di samping keuntungan materian bagi orang lain dalam bertransaksi.
2.      Aktivitas Produksi
Al Ghazali memberikan perhatian yang cukup besar ketika menggambarkan berbagai macam aktifitas produksi dalam sebuah masyarakat, termasuk hirarki dan karakteristiknya. Fokus utamanya adalah tentang jenis aktifitas yang sesuai dengan dasas-dasar etos islam.
a.      Produksi Barang-barang Kebutuhan Dasar Sebagai Kewajiban Sosial
Seperti yang telah dikemukakan, Al Ghazali menganggap kerja adalah sebagai bagian dari ibadah seseorang. Bahkan secara khusus ia memandang bahwa produksi barang barang kebutuhan dasar sebagai kewajiban sosial (fard al- kifayah). Hal ini jika telah ada sekelompok orang yang berkecimpung di dunia usaha yang memproduksi barang-barang tersebut dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan masyarakat, maka kewajiban masyarakat telah terpenuhi. Namun jika tidak ada seorangpun yang melibatkan diri dalam kegiatan tersebut atau jika jumlah yang diproduksi tidak mencukupi kebutuhan masyarakat semua akan dimintai pertanggungjawabananya di akhirat. Dalam hal ini, pada prinsipnya negara harus bertanggung jawab dalam menjamin kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan barang-barang pokok.
b.      Hierarki Produksi
Secara garis besar, Al-Ghazali membagi aktifitas produksi kedalam tiga kelompok:
1.      Industri dasar, yakni industri-industri yang menjaga kelangsungan hidup manusia.
2.      Aktivitas penyokong, yaitu aktifitas yang bersifat tambahan bagi industri dasar.
3.      Aktivitas komplementer, yaitu aktivitas yang berkaitan dengan industri dasar.
Kelompok pertama adalah kelompok yang paling penting dan peranan pemerintah sebagai kekuatan mediasi dalam kelompok ini cukup krusial. Ketiga kelompok ini harus ditingkatkan secara aktif untuk menjamin keserasian lingkungan sosioekonomi.
c.       Tahapan Produksi, Spesialisasi, dan Keterkaitannya
Adnya tahapan produksi yang beragam sebelum produk tersebut dikonsumsi. Tahapan dan keterkaitan produksi yang beragam mensyaratkan adanya pembagian kerja, koordinasi, dan kerja sama. Beliau juga menawarkan gagasan mengenai spesialisasi dan saling ketergantungan dalam keluarga.
Al-Ghazali mengidentifikasi tiga tingkatan persaingan, yakni persaingan yang wajib yaitu persaingan yang berhubungan dengan kewajiban agama dalam rangka memperoleh keselamatan. Persaingan yang disukai yaitu yang berhubungan dengan perolehan barang kebutuhan pokok, pelengkap, dan juga membantu pemenuhan kebutuhan orang lain. Sedangkan persaingan yang tidak diperbolehkan yaitu yang berhubungan dengan barang-barang mewah. Namun demikian, ia menegaskan bahwa persaingan jangan sampai mengakibatkan kecemburuan dan melanggar hak orang lain.
3.      Barter dan Evolusi Uang
Al-Ghazali melanjutkan uraiannya, “Karena adanya perdagangan, tibulah kebutuhan akan adanya dua mata uang. Orang yang akan membeli makanan dengan kain, dari makanan ia mengetahui nilai yang sama untuk harga makanan itu, sedangkan pergaulan menghendaki terjadinya jual beli antara barang yang berbeda, seperti kain dengan makanan, hewan dengan kain. Padahal harga-harga itu tidak sama harga atau nilainnya.” 
a.      Problema Barter dan Kebutuhan Terhadap Uang
Al-Ghazali mempunyai wawasan terhadap mengenai berbagai problema barter yang dalam istilah modern disebut sebagai:
1)        Kurang memiliki angka penyebut yang sama (Lack of common denominator)
2)        Barang tidak dapat dibagi-bagi (Indivisibility of goods)
3)        Keharusan adanya dua keinginan yang sama (double coincidence of wants)
Pertukaran barter menjadi tidak efisien karena adanya perbedaan karakteristik barang-barang. Al-Ghazali menegaskan bahwa evolusi uang terjadi hanya karena kesepakatan dan kebiasaan (konvensi) yakni tidak akan ada masyarakat tanpa pertukaran barang dan tidak ada pertukaran yang efektif tanpa ekuivalensi, dan ekuivalensi demikian hanya dapat ditentukan dengan tepat bila ada ukuran yang sama. 
b.      Definisi uang
Dalam karyamya, Ihya, al-Ghazali menyadari betapa pentingnya peranan mata uang dalam sebuah sistem perekonomian. Dia menyatakan bahwa, setiap manusia memerlukan bermacam-macam materi dalam hal kebutuhan sandang pangan dan kebutuhan lainnya. (tapi) terkadang ia tidak mampu menemukan kebutuhan-kebutuhan tersebut sedangkan saat itu ia memiliki barang yang sedang tidak ia butuhkan. Karena itu diperlukan adanya suatu alat tukar (uang) dan alat pengukur nilai bagi benda-benda yang akan dipertukarkan. Karena tidak mungkin seseorang yang memiliki unta menyerahkan unta yang dimilikinya (hanya) untuk mendapatkan za’faran. Lagi pula tidak ada korelasi antara za’faran dengan unta yang dapat menunjukkan perbandingan harga antara keduanya.
Kesulitan yang digambarkan dalam ungkapan al-Ghazali tersebut akan nampak sekali dalam sebuah perekonomian yang masih menggunakan sistem barter dalam setiap transaksinya. Kesulitan-kesulitan tersebut meliputi double bahkan multiple coincidence of wants, yaitu harus ada pertemuan kebutuhan yang saling bersesuaian antara dua orang yang akan melakukan transaksi dengan barang yang dimiliki masing-masing pihak. Kesulitan lain adalah dalam hal valuation, yaitu dalam hal menentukan perbandingan nilai atau harga dari dua jenis barang yang akan dipertukarkan, misalnya satu kilogram beras dengan seekor sapi, tentu nilainya tidak sebanding dan untuk menentukan perbandingan nilainya tidak mungkin sapi tersebut harus dipotong-potong menjadi bagian kecil yang setara dengan nilai beras tersebut. Kesulitan berikutnya adalah antara kedua orang yang mempunyai kepentingan yang bersesuaian tersebut, dengan barang yang dimiliki keduanya, serta dengan ukuran perbandingan nilai yang sudah diketahui harus bertemu dalam suatu tempat untuk melakukan transaksi. Disamping itu sistem pertukaran langsung atau barter membatasi pilihan bagi pihak-pihak yang melakukan. Karena itulah ditemukannya mata uang dalam dunia perekonomian merupakan suatu revolusi besar yang tidak hanya dapat mengatasi kesulitan dalam perekonomian barter, tetapi juga membawa perkembangan yang sangat signifikan.
Dalam pandangan al-Ghazali, uang adalah nikmat Allah (barang) yang dipergunakan masyarakat sebagai mediasi atau alat untuk mendapatkan bermacam-macam kebutuhan hidupnya, yang secara substansial tidak memiliki nilai apa-apa, tetapi sangat dibutuhkan manusia dalam upaya pemenuhan bermacam-macam kebutuhan mereka (sebagai alat tukar).
Dari pernyataan tersebut dapat diambil suatu definisi uang menurut al-Ghazali, yaitu uang adalah:
1.      Barang atau benda yang berfungsi sebagai sarana mendapatkan barang lain. Dengan kata lain uang adalah barang yang disepakati fungsinya sebagai media pertukaran (medium of exchange).
2.      Benda tersebut dianggap tidak mempunyai nilai sebagai barang (nilai intrinsik).
3.      Nilai benda yang berfungsi sebagai uang ditentukan terkait dengan fungsinya sebagai alat tukar. Dengan kata lain yang lebih berperan dalam benda yang berfungsi sebagai uang adalah nilai tukar dan nilai nominalnya.
Karena itu ia mengibaratkan uang sebagai “cermin yang tidak mempunyai warna sendiri tapi mampu merefleksikan semua jenis warna”. Dengan melihat kriteria tersebut di atas dapat dilihat bahwa dalam memberikan definisi uang, al-Ghazali tidak hanya menekankan pada aspek fungsi. Definisi yang demikian lebih komprehensif dibanding dengan batasan-batasan yang dikemukakan oleh kebanyakan ekonom konvensional.
c.       Teori Evolusi Uang
Al-Ghazali juga menyadari bahwa uang tidak ditemukan dengan begitu saja. Penggunaannya dalam sistem ekonomi melalui proses yang panjang. Secara panjang lebar teori evolusi uang dalam pandangan al-Ghazali adalah materi yang paling penting adalah makanan kemudian pemukiman sebagai tempat tinggal manusia. Demikian pula tempat-tempat vital lain seperti pasar, lahan pertanian sebagai sumber penghidupan. Selanjutnya pakaian, peralatan rumah tangga, alat transportasi, peralatan berburu, peralatan pertanian dan perang. Kemudian timbullah tuntutan kebutuhan terhadap jual beli. Kemudian timbullah kebutuhan akan mata uang. Sebab seseorang yang hendak membeli makanan dengan sepotong pakaiannya, bagaimana mungkin mengetahui kadar perbandingan antara pakaian dan makanan tersebut.
Dengan keadaan yang seperti itu maka harus ada “hakim yang adil” sebagai perantara antara dua orang yang bertransaksi tersebut, yang dapat membandingkan (kebutuhan) antara yang satu dengan yang lain. Dengan demikian diperlukan suatu benda yang tahan lama karena transaksi akan berlangsung selamanya. Dan benda yang tahan lama tidak lain adalah bahan-bahan tambang (logam). Maka dibuatlah uang dari bahan emas, perak, dan tembaga.
Dalam ekonomi konvensional dikenal beberapa teori tentang penemuan uang, antara lain teori sejarah, teori kedaulatan atau penetapan penguasa, teori konvensi dan lain-lain. Teori sejarah menjelaskan bahwa dipergunakannya uang oleh suatu masyarakat pada dasarnya melalui proses dan tahapan-tahapan tertentu. Kemudian Knapp dan Keynes menyempurnakan dengan menunjukkan realitas bahwa selama belum mendapatkan pengakuan yang resmi dari penguasa, suatu benda yang berfungsi sebagai alat tukar dalam masyarakat luas sekalipun, belum dapat disebut sebagai uang, karena itu teori tersebut disebut dengan teori negara. Kemudian Davanzati dan Montanri yang secara ringkas menyatakan bahwa uang dibentuk oleh masyarakat berdasarkan mufakat atau konvensi.
Meskipun al-Ghazali dalam memberikan definisi tentang uang tidak menyebutkan harus disyahkan oleh penguasa, tetapi pada bagian lain ia mengharuskan pencetakan uang, pengesahan dan penetapan harganya hanya boleh dilakukan oleh pemerintah atau institusi resmi yang ditinjuk untuk itu. Ini merupakan kenyataan bahwa dia tidak mengingkari bahwa suatu barang tidak dapat berfungsi sebagai uang sebelum mendapatkan pengesahan dari pemerintah, meskipun seandainya masyarakat telah menggunakannya dalam proses transaksi secara luas.
Al-Ghazali menjelaskan bagaimana uang mengatasi permasalahan yang timbul dari suatu pertukaran barter, akibat negatif dari pemalsuan dan penurunan nilai mata uang, serta observasi yang mendahului observasi serupa beberapa abad kemudian yang dilakukan oleh Nicholas Oresme, Thomas Gresham, dan Richard Cantilon.
Sejarah membuktikan bahwa pada zaman sebelum Nabi, orang Arab sudah mengenal adanya mata uang, tetapi semuanya dari luar. Mereka mengenal mata uang emas, yaitu dinar dari Romawi dalam perdagangan mereka ke utara (Syria), dan mengenal mata uang perak yaitu dirham dari Persi dalam perdangan mereka ke selatan (Yaman). Barulah pada tahun ke-15 H, 4 tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW Khalid bin Walid, pahlawan Islam terkenan itu membuat mata uang sendiri di Thabariyah, daerah Syria. Ia melukisnya ada tulisan dengan huruf Yunani BON.
d.      Jenis Mata Uang
Mata uang yang berlaku pada masa al-Ghazali terbuat dari emas dan perak, yaitu dinar dan dirham, yang merupakan bahan terbaik untuk membuat mata uang. Dalam sejarah ekonomi modern, dipilihnya emas dan perak sebagai bahan mata uang memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan dengan bahan-bahan yang lainnya. Sebab kedua bahan tersebut dinilai memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai uang.
Meskipun emas dan perak dianggap sebagai bahan terbaik untuk dijadikan uang, tetapi menurut al-Ghazali hal tersebut bukanlah sebuah keharusan. Menurutnya boleh saja mata uang terbuat dari benda selain emas dan perak, tetapi pemerintah harus dapat menjaga dan mengendalikan stabilitas nilainya.
e.       Nilai Uang
Menurut al-Ghazali uang hanya dibuat sebagai standar harga barang dan alat tukar, maka uang tidak memiliki nilai intrinsik. Atau lebih tepatnya nilai intrinsik suatu mata uang yang ditunjukkan oleh real existencenya dianggap tidak pernah ada. Uang yang terbuat dari emas dengan nilai nominal satu US$ sama nilainya dengan uang kertas dengan nilai nominal yang sama. Sehingga seolah-olah nilai emas bahan uang tersebut sama dengan kertas bahan uang dengan nominal yang sama, atau dapat dikatakan nilai emas dan kertas tersebut dianggap tidak pernah ada. Ia beralasan jika uang memiliki nilai intrinsik, maka tidak akan dapat berfungsi sebagai alat tukar, karena nilainya akan berbeda-beda tergantung dari bahan pembuatnya. Setiap barang mungkin diperlukan bendanya untuk memenuhi suatu kebutuhan. Tetapi uamg tidak diperlukan bendanya dalam arti yang menjadi motif permintaannya adalah kemampuan daya beli yang terkandung di dalam uang itu.
f.       Fungsi Uang
Al-Ghazali menjelaskan beberapa fungsi yang dimiliki uang, yaitu sebagai berikut.
1.      Qiwam ad-dunya, artinya bahwa uang merupakan alat yang dapat digunakan untuk menilai barang sekaligus membandingkannya dengan barang lain.
2.      Alat at-tabadul, adalah bahwa uang merupakan sarana pertukaran barang dalam suatu transaksi.
3.      Sarana pencapaian tujuan dan untuk mendapatkan barang-barang lain.

g.      Uang yang Tidak Bermanfaat dan Penimbunan Bertentangan dengan Hukum Ilahi
Uang tidak diinginkan karena uang itu sendiri. Uang baru akan memiliki nilai jika digunakan dalam pertukaran. Ghazali menyatakan bahwa salah satu tujuan emas dan perak adalah untuk dipergunakan sebagai uang. Beliau juga mengutuk mereka yang menimbun keping-kepingan uang.
h.      Pemalsuan dan Penurunan Nilai Uang
Uang dapat diproduksi secara pribadi hanya dengan membawa emas dan perak yang sudah ditambang ke percetakan. Standar uang komoditas, dulunya muatan logam suatu koin sama nilainya dengan nilai koin tersebut sebagai uang. Jika ditemukan emas dan perak lebih banyak, persediaan uang akan naik. Harga juga akan naik, dan nilai uang akan turun.
Perhatiannya ditujukan pada problem yang muncul akibat pemalsuan dan penurunan nilai, karena mencampur logam kelas rendah dengan koin emas atau perak, atau mengikis muatan logamnya. Pemalsuan uang bukan hanya dosa perorangan tetapi berpotensi merugikan masyarakat secara umum. Penurunan nilai uang karena kecurangan pelakunya harus dihukum.
Namun, bila pencampuran logam dalam koin merupakn tindakan resmi negara dan diketahui oleh semua penggunanya, hal ini dapat diterima. Beliau membolehkan kemungkinan uang representatif (token money) yang disebut sebagai teori uang feodalistik yang menyatakan bahwa hak bendahara publik untuk mengubah muatan logam dalam mata uang merupakan monopoli penguasa foedal.
i.        Larangan Riba
Bagi Al-Ghozali larangan riba yang dipandang sama dengan bunga adalah mutlak. Seperti halnya para ilmuan Muslim dan Eropa, pada umumnya mengasumsikan bahwa nilai suatu barang tidak terkait dengan berjalannya waktu. Terdapat dua cara bunga dapat muncul dalam bentuk yang tersembunyi. Bunga dapat muncul jika ada pertukaran emas dengan emas, tepung dengan tepung, dan sebagainya, dengan jumlah yang berbeda atau dengan waktu penyerahan yang berbeda. Jika waktu penyerahan tidak segera dan ada permintaan untuk melebihkan jumlah komoditi, kelebihan ini disebut riba al-nasiah. Jika jumlah komoditas yang diperlukan tidak sama, kelebihan yang diberikan dalam pertukaran tersebut disebut riba al-fadl. Menurut Ghazali kedua bentuk transaksi tersebut hukumnya haram.
Jika pertukaran melibatkan komoditas dengan jenis yang sama, seperti logam (emas dan perak) atau bahan makanan (gandum atau gerst), hanya riba al-nasiah yang dilarang, sementara riba al-fadl diperbolehkan. Bila peukarannya antara komoditas dengan jenis yang berbeda (logam dan makanan) keduanya diperbolehkan.
4.      Perlu adanya transportasi
Imam Al-Ghazali mengikuti perkembangan ekonomi selanjutnya: “bukan mustahil bahwa antara kota dan desa terjadi perjalanan pulang pergi, untuk membeli bahan produksi pangan dari desa dan membeli alat-alat industry dan keperluan sandang dari kota. Mereka harus saling memindahkan barang-barang itu dan menjadikan usasa itu sebagai mata pencaharian, sehingga kota mempunyai semua alat-alat industry, dan desa menghasilkan semua macam produksi pangan. Dalam hal ini, diperlukan adanya pengangkutan, untuk membawa segala barang-barang kebutuhan itu.”
Adapun bergerak untuk pengangkutan ini ialah keinginan untuk mengumpulkan barang-barang yang sudah pasti mendatangkan kepayahan sepanjanh siang dan malam dalam perjalanan. Mereka mencari-cari barang yang diperlukan dan beresiko yang harus dipikulnya ialah adanya perampokan dalam perjalanan, atau kezaliman para penguasa dalam menetapkan cukai (yang tinggi).
Tidak semua pedagang keliling mempunyai transportasi sendiri, sehingga ia memerlukan kendaraan orang lain untuk membawa barang-barang dagangannya. Dengan demikian, timbullah transaksi lain yang dinamakan sewa menyewa, yang di dalam hukum islam dinamakan Ijarah, dan juga upah-mengupah serta gaji-menggaji, yang dinamakan kira. Semua itu menjadi mata pencaharian kusus pula dalam perkembangan ekonomi.
Dalam membicarakan soal transaksi ini, Tuhan telah memperingatkannya dalam surat Quraisy, bahwa kaum Quraisy Mekah mendapat kelonggaran besar dalam perdagangannya dengan luar negeri pada musim dingin di utara, yaitu daerah Syam (Syria sekarang). Empat bangsa (daerah) yang berhubungan dengan Quraisy adalah Syria, Persia, Yaman, dan Ethiopia.
Mengenai alat-alat transportasi pada mulanya kendaraan yang digunakan masih tertarik oleh hewan, kemudian berubah mengikuti perkembangan hubungan ekonomi. Sesudah beribu-ribu tahun hidup dalam kampong yang primitive, yang setiap orang tidak ada kecualinya, memeras tenaga untuk menghasilkan makanan, pakaian, dan perumahan, yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup semata, maka dalam waktu hurang dari satu abad saja, penduduk hamper seluruh dunia Barat telah menjadi pemakai barang-barang dagangan.
Perubahan yang diciptakan oleh industrialisasi begitu revolusioner sehingga tidak ada bandingannya dalam sejarah kebudayaan mana pun juga.
Memang benar pendapat Emery Reves bahwa selama masa 10.000 tahun, transportasi baru dijalankan oleh hewan dan perubahan besar baru terjadi pada abad ke-19. Pada Al-Ghazali juga diakuinya sendiri, hewan adalah satu-satunya kendaraan di daratan, di samping adanya kapal-kapal untuk pengangkutan di lautan. Peristiwa ini disebutkan juga dalam surat Az-zukhruf ayat 12 – 14, An-Nahl ayat 5 – 8, dan Yasin ayat 4 – 44, yaitu adanya kendaraan hewan di daratan, yaitu kuda, unta, keledai, dan kewan-hewan kendaraan adanya kapal di lautan.
Akan tetapi semua ayat itu sudah menjadikan adanya kendaraan lain yang akan menjadi transportasi manusia. Dalam surat Al-Isra ayat 70, disebutkan bahwa memiliki alat transportasi di darat dan di laut menjadi kehormatan besar bagi manusia, dibandingkan dengan segala makhluk yang lainnya. Di samping itu, ada pula transportasi lain, yang disebutkan sebagai berikut:
a)      Dalam surat An-Nahl ayat 8 disebutkan:
Artinya:
نَ تَعْلَمُوْ لَا مَا يَخْلُقُ وَ  
 “Dan Tuhan bakal menjadikan pengangkatan yang belum kamu ketahui.”
b)      Dalam surat Yasin ayat 42 ditegaskan:
Artinya:
نَ كَبُوْ يَرْ مَا مِثْلِهِ مِنْ لَهُمْ خَلَقْنَا وَ
“Dan kamu ciptakan untuk mereka yang akan mereka kendarai seperti bahtera itu.”

5.      Ekonomi Jasa
Sesudah munculnya transportasi sebagai satu cabang ekonomi penting, lahirlah cabang usaha lain yang dinamakan ekonomi jasa. 
Segala barang dagangan yang harus diangkut tidak mampu diangkut dengan tenaga manusia sendiri. Untuk itu, diperlukan alat pengangkut (hewan kendaraan) untuk mengangkut barang-barang itu. Tidak semua pedagang yang mempunyai alat kendaraan sehingga timbullah transaksi antara si pedagang dengan pemilik kendaraan yang dinamakan ijarah (sewa-menyewa). Lalu, pekerjaan sewa-menyewa, upah-mengupah dengan gaji-menggaji menjadi suatu cabang perekonomian pula.
Perkembangan ekonomi meningkat pada hubungan jasa di antara manusia, yaitu antara pemilik barang dagangan dengan pemilik kendaraan, dan selanjutnya antara pengusaha atau pedagang yang memiliki modal dan buruh yang mempunyai tenaga. Hubungan inilah yang dalam istilah hokum fiqh islam dinamakan Ijarah atau menurut Al-Ghazali Kira.
Karena ini berlaku dalam segala bidang dan lapangan ekonomi yang meliputi seluruh kepentingan hidup manusia, hubungan kerja menjadi suatu mata pencaharian manusia yang penting. Pada mulanya hanya di kalangan pemilik harta dengan pemilik kendaraan sehingga terjadi sewa-menyewa, tetapi kemudian terjadilah perkembangan baru antara si pemilik, baik pedagang ataukah pemilik kendaraan dengan kuli atau pekerjaan yang mengangkat barang mereka ke dalam kendaraan. Kemudian karena usaha masing-masing bertambah besar, mereka memerlukan pekerja atau pegawai yang akan menjalankan perusahaannya baik dalam bidang administrasi maupun lapangan operasional.
Terjadilah hokum hubungan kerja antara pemilik modal dan pekerja yang kemudian terkenal dengan majikan dengan buruh, pembesar dengan pegawai, dan pengusaha dengan anak buahnya.
6.      Institusi Perbankan
Imam Al-Ghazali menyebutkan perlu adanya percetakan uang dengan perluanya usaha perbankan. Bersamaan dengan berdiriny kantor percetakan uang tersebut, oleh pemerintah, dalam dunia perekonomian muncul kebutuhan lain yang tidak kurang pentingnya, yaitu institusi perbankan. Dalam tingkatannya yang pertama, institusi ini bertugas menjadi tempat penukaran mata uang yang berlainan, dan juga sebagai perantara untuk mengirimkan uang ke daerah-daerah yang lain.
Dunia Islam di zaman AL-Ghazali sudah mengenal adanya pasar-pasar internasional, tempat bertemunya segala perdagangan dari berbagai bangsa, dan stasiun berkumpulnya segala barang dagangan dari Timur dan Barat.
Adapun mata uang yang diperhunakan di pasar-pasar ialah mata uang emas(dinar), dan mata uang perak(dirham). Uang dinar beredar di wilayah-wilayah sebelah barat Negara Islam, sedangkan uang dirham beredar di Irak dan Persi. Akan tetapi, pada abad ke-4 mulai beredar uang dinar di Irak dan daerah lainnya, sedangkan diwilayah sebelah timur tetap memakai uang dirham.
Nilai uang dinar adalah 14 dirham, tetapi selalu turun naik dari waktu ke waktu dan nilainyapun berbeda dari suatu daerah dengan daerah yang lain. Bahkan, nilainya pernah turun menjadi 10 dirham, berbeda 13 dirham, bahkan naik menjadi 15 dirham.
Berhati-hatilah terhadap riba, karena pekerjaan perbankan selalu menghadapi persoalan tukar-menukar keuangan dan senantiasa berada di pinggir dosa, Al-Ghazali berulangkali memperingatkan supaya para banker dan semua orang yang berhubungan dengan bank, berhati-hati terhadap dosa riba.
7.      Peran Negara dan Keuangan Publik
Negara dan agama merupakan tiang yang tidak dapat dipisahkan. Negara sebagai lembaga yang penting bagi berjalannya aktivitas ekonomi. Sedangkan agama adalah fondasinya dan penguasa yang mewakili negara adalah pelindungnya. Apabila salah satu dari tiang tersebut lemah, masyarakat akan ambruk.
a.      Perlunya pemerintahan terhadap mata uang
Untuk mengulangi pembuatan dan penempatan mata uang, Al-Ghazali tidaklah menyerahkannya kepada kemauan masing-masing golongan dan tidak cukup dengan keputusan bersama dari masyarakat. Untuk itu, diperlukan adanya instansi resmi yang akan berdiri dengan adil bagi segala pihak. Kemudian Al-Ghazali melanjutkan uaiannya:
“Persoalan ini tidak selamanya sama atau bernilai sama maka diperlukan adanya pengusaha adil sebagai perantara antara pihak yang berjual-beli. Dalam hal ini, keadilan sangat dituntut dalam penukaran buarang kebutuhan.
Unsur pemerintah sebagai instansi resmi yang memberikan keadilan bukanlah berdiri diluar pagar hubungan ekonomi, tetapi merupaka syarat penting yang tidak dapat diabaikan. Al-Ghazali menegaskan bahwa tugas pemerintah adalah melakukan keadilan antara seluruh rakyat yang saling bertukar kepentingan dan kebutuhan hidup itu.
Pada mulanya dipahami orang bahwa peemrintah hanya diperlukan sekedar menyediakan mata uang, sedangkan dalam soal ekonomi selanjutnya, pemerintah hanya sebagai penonton yang membebaskan ekonomi rakyat dengan sepenuhnya tanpa ikatan apa pun.”
Akan tetapi, Al-Ghazali memajukan karakter pengusaha itu, suatu pemerintah yang adil aktif menjalankan keadilan dalam hubungan ekonomi baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen seluruh rajyat harus mendapatkan keadilan dalam ekonominya dan dalam seluruh penghidupan.
Berdasarkan pendapatnya inilah, Al-Ghazali menjalankan suatu konsepsi politik kenegaraan yang dinamakan Negara moral yang pemerintahannya menyertai rakyat dalam ekonominya demi tegaknya keadilan dan akhlak dalam segala lapangan.
b.      Kemajuan Ekonomi Melalui Keadilan, Kedamaian, dan Stabilitas
Untuk meningkatkan kemakmuran perekonomian,negara harus menegakkan keadilan, kedamaian, keamanan, serta stabilitas. Apabila terjadi ketidakadilan dan penindasan, maka penduduk akan berpindah ke daerah lain dan mereka tentunya akan meninggalkan sawah dan ladang. Hal itu mengakibatkan pendapatan publik menurun dan kas negara kosong, sehingga kebahagiaan dan kemakmuran menghilang.
Al-Ghazali menekankan bahwa negara juga harus mengambil tindakan untuk menegakan kondisi keamanan secara internal dan eksternal. Diperlukan seorang tentara untuk melindungi rakyat dari kejahatan. Diperlukan pula peradilan untuk menyelesaikan sengketa, serta hukum dan peraturan untuk mengawasi perilaku orang-orang agar mereka tidak berbuat seenaknya.
Al-Ghazali juga mendukung al-hisabah – sebuah badan pengawas yang dipakai banyak negara Islam pada waktu itu, dan berfungsi mengawasi praktik pasar yang merugikan. Praktik-praktik yang perlu diawasi diantaranya seperti timbangan serta ukuran yang tidak benar, iklan palsu, pengakuan laba palsu, transaksi barang haram, kontrak yang cacat, kesepakatan yang mengandung penipuan, dan lain-lain.
c.       Keuangan Publik
Al- Ghazali memberikan penjelasan yang rinci mengenai peran dan fungsi keuangan publik. Ia memperhatikan kedua sisi anggaran , baik sisi pendapatan maupun sisi pengeluaran.
1)      Sumber- sumber Pendapatan Negara
Berkaitan dengan berbagai sumber pendapatan negara, Al-Ghazali memulai dengan pembahasan mengenai pendapatan yang seharusnya dikumpulkan dari seluruh penduduk, baik muslim maupun non muslim, berdasarkan hukum Islam.
Al- Ghazali menyebutkan bahwa salah satu sumber pendapatan yang halal adalah harta tanpa ahli waris pemiliknya, tidak dapat dilacak, ditambah sumbangan sedekahah atau wakaf yang tidak ada pengelolanya.
Pajak- pajak yang dikumpulkan dari non muslim berupa Ghanimah, Fai, jaziyah dan upeti atau amwal al masalih. Ghanimah  adalah pajak atas harta yang disita setelah atau selama perang. Fai adalah kepemilikan yang diperoleh tanpa melalui peperangan.jaziyah dikumpulkan dari kaum non – muslim sebagai imbalan dari dua keuntungan : pembebasan wajib militer dan perlindungan hak- hak sebagai penduduk.
Disamping itu, Al- Ghazali juga memberikan pemikiran tentang hal- hal lain yang berkaitan dengan permasalahan pajak seperti administrasi pajak dan pembagian beban diantara para pembayar pajak.
2)      Utang Publik
Dengan melihat kondisi ekonomi, Al-Ghazali mengzinkan utang publik jika memungkinkan untuk menjamin pembayaran kembali dari pendapatan dimasa yang akan datang. contoh utang seperti ini adalah revenue bonds yang digunakan secara luas oleh pemerintah pusat dan lokal di Amerika Serikat.
3)      Pengeluaran Publik
Penggambaran fungsional dari pengeluaran publik yang direkomendasikan Al- Ghazali bersifat agak luas dan longgar, yakni penegakan keadilan dan stabilitas negara, serta pengembangan suatu masyarakat yang makmur. Mengenai pembangunan masyarakat secara umum Al- Ghazali menunjukkan perlunya membangun infrastruktur sosioekonomi. Al- Ghazali mengakui “ Konsumsi bersama” dan aspek spill- over dari barang- barang publik. Di lain tempat ia menyatakan bahwa pengeluaran publik dapat diadakan untuk fungsi- fungsi seperti pendidikan, hukum dan administrasi publik, pertahanan dan pelayanan kesehatan.


DAFTAR PUSTAKA
Dimyati, Ahmad. 2008. Teori Keuangan Islam “Rekonstruksi Metodologis Terhadap Teori Keuangan Al-Ghazali”. Yogyakarta: UII Pres
Karim, Adiwarman Aswar. 2001. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press
Sudarsono, Heri. 2004. Konsep Ekonomi Islam “Suatu Pengantar”. Yogyakarta: Ekonisia
Abdullah Zakiy Al-Kaaf, 2002, Ekonomi Dalam Perspektif Islam, Bandung: Pustka Setia.
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004
Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahan, Bandung, J-Art,2004


0 komentar:

Post a Comment