Friday, January 16, 2015

Tafsir, Hadits dan Metode Penelitian

1.1 Pengertian Tafsir dan Hadits

Pengertian Tafsir
Secara etimologi tafsir ialah “keterangan” (Al-idhah) dan penjelas (Al-bayan). Tafsir adalah mashdar dari kata kerja (fiil) “fassara”. Kata itu berasal dari akar kata “Al fasr” kemudian di ubah menjadi bentuk taf’il yaitu menjadi “Al Taftsir” yang seperti penjelas atau keterangan. Dalam kitab Lisanul Arab disebutkan “tafsir” adalah “Al Faslul bayan”, yakni keterangan yang memberikan penjelasan “Fassarosy syaia” berarti “abanahu”, menjelaskan (tafsir adalah mashdar dari kata fassara).
Ada pula yang mengatakan “ Al Fasru Kasyful mughthi”, penafsiran (Al-Fasr) adalah usaha untuk menyingkapkan suatu yang tertutup. Ada pula yang mengatakan “Kasiful Muradi ‘anillafdzul musykili”, (mengungkapkan arti yang dimaksud dari lafal yang pelik). Juga dikatakan bahwa kata “tafsir” itu diambil dari kata mashdar “tafsirah” yaitu sebuah sebuah nama bagi suatu yang di pergunakan dokter untuk mengetahui suatu penyakit.
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa kata tafsir (fusara) adalah kata kerja yang terbalik dari kata “safara” yang juga berarti menyingkapkan. Pembentukan kata dari Al-Fasr menjadi bentuk taf’il yakni “Al-Tafsir” adalah untuk menunjukan arti tafsir (banyak, sering, berbuat). Menurut Ar-Raghib, kata “Al-Fasr” dan dan “As-Safr” adalah suatu kata yang berdekatan makna dan lafadnya. Yang pertama untuk menunjukan arti menampakkan (menzahirkan) makna yang ma’qul (abstrak) sedangkan yang kedua untuk menunjukan arti menampakkan benda pada penglihatan mata.

Menurut Al-Kilby dalam At Tas-hiel Tafsir ialah mensyarahkan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya dengan tujuanya.
Menurut Az Zarkassy tafsir adalah menerangkan makna-makna Al-Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
Jadi kesimpulannya tafsir ialah semacam ilmu yang membahas cara mengucapkan lafal Al-Qur’an dan kandungannya, hukumnya yang mengandung keterangan tentang hal-ihwal susunannya.
Para ulama telah bersepakat bahwa mempelajari tafsir itu hukumnya fardhu kifayah dan ini termasuk salah satu dari sekian banyak ilmu agama. Al-Ishbahani berkata, karya yang paling mulia yang dipersembahkan oleh manusia adalah tafsir Al-Qur’an. Keistimewaan suatu karya itu dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu aspek materinya, aspek tujuannya, dan tingkat kebutuhan terhadapnya. Karya tafsir sudah mencakup ketiga aspek ini.

Pengertian Hadis
Di tinjau dari segi kebahasaan kata hadis berasal dari bahasa Arab yang berarti  perbuatan, jadid (baru) dan qarib yang menunjukkan waktu dekat. Kata hadis dalam bahasa juga sering di artikan sebagai khabar yakni pemberitaan. Hadis dengan pengertian Al Khabar babyak dijumpai dalam Al-Quran.
Sedangkan menurut istilah banyak para ulama yang berbeda pendapat dalam mengartika hadis itu sendiri. Bahkan ulama hadis itu sendiri berbeda-beda pendapat dalam mengartikan hadis itu sendiri. Para ulama hadis tersebut ada yang mengartikan secara terbatas dan ada pula yang mengartikan secara luas.
Pengertian hadis secara terbatas di kemukakan oleh Jumhur ulama hadis yakni “hadis merupakan segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan dan sebagainya”. Yang dimaksudkan perkataan ialah segala sesuatu yang pernah Nabi ucapkan dalam berbagai bidang, seperti bidang hukum, akhlak, aqidah dan sebagainya, sedangkan yang dimaksudkan dengan perbuatan ialah penjelasan praktis mengenai peraturan-peraturan syari’at yang belum jelas pelaksanaannya. Misalnya cara sembahyang dan cara menghadap kiblat dalam sembahyang sunnat di atas kendaraan yang sedang berjalan.
Dalam pengertian yang luas seperti yang di kemukakan oleh para ahli hadis yang lainnya yaitu “hadis bukan hanya di sandarkan kepada Nabi Muhammad SAW saja, melainkan dapat pula disebutkan pada apa yang mauquf ( di hubungkan dengan perkataan dan sebagainya dari sahabat) dan pada apa yang maqthu’ (dihubungkan dengan perkataan dan sebagainya dari thabi’in )”. Jadi pada pendapat ini yang di maksud hadis segala yang di sandarkan kepada Nabi, sahabat dan tabi’in. Pendapat yang demikian ini di ungkapkan oleh sebagian kecil ulama hadis salah satunya yang berpendapat seperti itu adalah Al-Thiby.
Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa yang dinamakan hadis adalah segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW baik perkataan, perbuatan,  dan ketetapannya yang bisa berkaitan dengan hukum. Lain pula dengan ulama fiqh yang berpendapat bahwa hadis itu identik dengan sunnah yaitu sebagai salah satu huum taklifi, yang berarti sesuatu yang apabila di kerjakan mendapat pahala dan apabila di tinggalkan tidak mendapat siksa. Ulama fiqh bermaksud bahwa hadis bersifat syar’iyah untuk perbuatan yang dituntu mengerjakan, akan tetapi tuntunan dalam melaksanakan tidak secara pasti, sehingga di beri pahala bagi yang mengerjakan dan bagi yang meninggalkan tidak berdosa.
Perbedaan pendapat ulama dalam mendefinisikan hadis di sebabkan oleh perbedaan mereka dalam memandang pribadi rasulullah. Ulama hadis memandang rasulullah sebagai seseorang yang patut diteladani dan patut untuk dicontohi sehinnga apa saja yang bersasal dari nabi dapat diterima sebagai hadis. Para ulama ushul fiqh memandang Rasulullah sebagai pengatur undang-undang yang mengatur undang-undang kehidupan dan menciptakan dasar-dasar bagi mujtahid yang hidup sesudahnya. Lain lagi dengan ulama fiqh yang memandang pribadi Rasulullah baik perkataan, perbuatan, pernyataandan sebagainya itu merupakan suatu hukum syara’, sehingga mereka menempatkan sebagai salah satu hukum taklifi.
2.2 Fungsi Tafsir dan Hadis
Fungsi Tafsir
Al-Quran dan hadis sebagai pedoman hidup, sumber hu­kum dan ajaran dalam Islam, antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-Quran sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena itu kehadiran hadis, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi al-Quran tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.
Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi, yaitu:
1.    Bayan At-Taqrir
Bayan at-taqrir disebut juga dengan bayan dan bayan al-itsbat. Yang dimaksud dengan bayan ini ialah mene­tapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam Al-Quran. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh isi
2. Bayan Al-Tafsir
Bayan al-tafsir adalah bahwa keha­diran hadis berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan  ersyaratan/batasan (taqykl) ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum. Contoh:
"Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat". (HR. Bukhari)
Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam Al-Quran tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah:
Dan kerjakanlah shalat, tunaikan zakat, dan ruku7ah beserta orang-orang yang ruku. (QS. Al-Bagarah 43)  
3. Bayan At-Tasyri'
Bayern Al-Tasyri’ adalah mewujud­kan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-Quran atau dalam Al-Quran hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja. Abbas Mutawalli Hammadah juga menyebut bayan ini dengan "zit' 'id `ala db al-karim" .I8 Hadis Rasul SAW dalam
segala bentuknya (baik yang qauli, fi'li maupun taqriri) berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul, yang tidak terdapat dalam
Al-

Quran. Ia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para saha­bat atau yang tidak diketahuinya, dengan menunjukkan bim­bingan dan menjelaskan duduk persoalannya. 
4. Bayan al-Nasah
Untuk bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Ada yang mengikuti dan menerima fungsi hadis sebagai nasikh terhadap sebagian hukum Al-Quran dan ada juga yang menolaknya.
Kata nasakh secara bahasa berate ibthal (membatalkan), tahwil (memindahkan), dan tasyghir (mengubah). Para ulama mengartian bayan al–nasakh ini banyak yang melalui pendekatan banana, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan pendapat menta’rifkannya. Termasuk perbedaan di antara para ulama mutaakhirin dengan ulama mutaqoddimin. Menurut pendapat yang di pegang dari ulama mutaqoddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum meskipun jelas, karena telah berakhir masa keberlakuaanya serta tidak bisa di amalkan lagi dan syara’ (pembuat syariat) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan selama-lamanya (temporal).

Fungsi Hadis
Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan Allah. Kitab Al-Qur’an adalah sebagai penyempurna dari kita-kitab Allah yang pernah diturunkan sebelumnya. Al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber pokok ajaran Islam dan merupakan rujukan umat Islam dalam memahami syariat.
Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an meliputi tiga fungsi pokok, yaitu :
1.    Menguatkan dan menegaskan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.
2.    Menguraikan dan merincikan yang global (mujmal), mengkaitkan yang mutlak dan mentakhsiskan yang umum
3.    Menetapkan dan mengadakan hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Hukum yang terjadi adalah merupakan produk Hadits yang tidak ditunjukan oleh Al-Qur’an. Contohnya seperti larangan memadu perempuan dengan bibinya dari pihak ibu, haram memakan burung yang berkuku tajam, haram memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.

        2.3. Latar Belakang Penelitian Tafsir dan Hadis
Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat Al-Quran. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk islam setelah mendengar bacaan Al-Quran dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam Al-Quran, antara yang satu dengan yang lain variatif dalam memehami isi dan kandungan Al-Quran. Sebagai orang yang paling mengetahui makna Al-Quran, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rosulullah. Walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena Rosulullah sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran. Kalau pada masa Rosul para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihat.

2.4  Model-model Penelian Tafsir dan Hadis

Hadis sebagaimana Al-Qur’an banyak diteliti oleh para ahli, bahkan dapat dikatakan lebih banyak kemungkinan dibandingkan penelitian al-Qur’an. Ditinjau dari segi datangnya, Al-Qur’an diyakini secara mutawatir dari Allah. Berbeda dengan Al-Hadis tidak seluruhnya diyakini berasal dari nabi. Hal ini disebabkan sifat-sifat lafadz hadis tidak bersifat mu’jizat dan juga perhatian terhadap penulisan hadis pada zaman Rasulullah agak kurang bahkan Beliau pernah melarangnya. Dan juga karena sebab-sebab politisme lainya. Keadaan inilah yang menyebabkan para ulama’ seperti  Imam Bukhari dan Muslim yang mencurahkan segenap tenaga, fikiran dan waktunya bertahun-tahun untuk  mengadakan penelitian hadits, dan hasil penelitianya dibukukan dalam kitab Sahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Luasnya perbedaan dan pengaruhnya dari kedua macam kitab tersebut maka banyak sekali para peneliti yang menggunakan pendekatan Comparativ juga melakukan kritik. Namun demikian kritik terhadap kedua kitab tersebut tidak akan sampai menjatuhkan kesahihan keduanya.

Beberapa model penelitian hadis antara lain:
1.     Model H.M.Quraisy Shihab
Penelitian yang di lakukan oleh Qurasy syihab mengenai hadis lebih sedikit dibandingkan penelitiannya terhadap Al-Quran. Beliau hanya meneliti dua sisi dari hadis tersebut, yakni mengenai hubungan hadis dan Al-Quran dan posisi sunnah dalam tafsir.
Hasil penelitian Quraish Shihab mengenai fungsi hadis terhadap Al-Quran menekankan bahwa hadis berfungsi menjelaskan maksud dari firman-firman Allah. Seperti dalam surat An Nahl ayat 44 Allah berfrman :
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. ( Q. S An Nahl :44)
Pandangan ulama terhadap bentuk dan sifat serta fungsi hadis sangat beragam, ada yang di perselisihkan dan ada pula yang tidak. Adapun pendapat yang tidak di perselisihkan menengenai fungsi hadis terhadap Al-Quran seperti yang di ungkapkan Abu Halim, yaitu:
Pertama, fungsi hadis yaitu sekedar utuk menguatkan apa yang ada dalam Al-Quran. Oleh sebab itu Hadis menjadi sumber hukum yang kedua setelah Al-Quran.
Kedua, fungsi hadis adalah bukan hanya sekedar untuk memperkuat Al-Quran, melainkan hadis berfungsi untuk memperluas, merinci, bahkan membatasi pengertian dari ayat-ayat Al-Quran.
Selain itu hadis juaga berfungsi sebagai penetap hukum  yang tidak di dapatkan dalam Al-Quran. Sebagai contohnya yaitu : Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan “ammah ( saudari bapak ) nya dan seorang wanita dengan khalah ( saudari ibu ) nya. ( H.R Bukhari ). Dalam hadis lain sesunguhnya Allah telah mengharamkan mengawini seseorang karena sepersusuan, sebagaimana Allah telah mengharamkan karena senasan ( H.R. Bukhari dan Muslim ).

2.    Model Mustafa Al-Siba’iy
Mustafa Al-Siba’iy dikenal sebagai tokoh intelektual muslim dari mesir, selain banyak meneliti mengenai masalah-masalah sosial dan ekonomi beliau juga menulis buku-buku yang mengkaji tentang islam.
Dalam buku-bukunya itu beliau mengkaji dengan menggunakan pendekatan historis dan di sajikan secara deskriptis analitis. Yakni dalam sistem penyajian menggunakan pendekatan urutan waktu dalam sejarah. Ia berupaya mendaptkan bahan-bahan penelitian sebanyak-banyaknya dari berbagai leteratur hadis sepanjang perjalanan kurun waktu.
Hasil penelitian Mustafa Al-Siba’iy antara lain mengenai sejarah proses dan tersebarnya hadis dimulai dari masa rasulullah sampai terjadinya upaya pemalsuan hadis dan usaha para ulama untuk membendungnya, dengan melakukan pencatatan hadis.
Selanjutnya beliau juga menyampaikan hasil penelitiannya mengenai pandangan kaum Khawarij. Syi’ah, Mu’tazilah dan mutakllimin, para penulis modern dan para umat muslim umumny. Dilanjutkan dengan laporan tentang sejumlah kelompok dimasa sekarang yang mengingkari kehujjahan Al-Hadis disertai pembelaan.

3.    Model Muhammad Al- Ghazali
Muhammad Al Ghazali menyajikan hasil penelitiannya tentang hadis dalm buku al-sunnah al-Nabawiyah baina ahl Al Fiqh wa ahl al hadits. Dilihat dari segi kandungannya yang terdapat dalam buku tersebut, nampak bahwa penelitian hadis yang dilakukan Muhammad al Ghazali ini termasuk penelitian eksploratif, yaitu membahas, mengkaji dan menyelami sedalam-dalamnya berbagai persoalan aktual yang uncul dimasyarakat yang untuk kemudian di berikan status hukumnya dengan berpijak pada kontek hadis tersebut. Dengan kata lain beliau terlebih dahulu memahami hadis yang di telitinya itu dengan melihat konteksnya kemudian baru dihubungkan dengan masalah aktual yang muncul di masyarakat.

4.    Model Zain Al-Din ‘Abdl Ar Rahim bin Al husain Al iraqiy
Beliau hidup tahun 725-806 tergolong ulama generasi pertama yang banyak melakukan penelitian hadis. Bukunya yang berjudul Al Taqyid wa al Idlah Syarh Muqaddiman ibn Al Shalah adalah termasuk kitab ilmu hadis yang tertua yang banyak menjadi rujukan bagi penulis ilmu hadis generasi berikutnya.
Beliau nampaknya mencoba membangun ilmu hadis dengan menggunakan bahan-bahan hadis nabi serta berbagai pendapat para ulama yang di jumpai dalam kitab tersebut, dengan demikian, penelitiannya bersifat penelitia awal, yakni penelitian yang ditujukan untuk menemukan bahan-bahan yang digunakan untuk membangun suatu ilmu. Buku inilah yang pertama kali mengemukakan berbagai macam hadis yang di dasarkan pada kualitas sanad dan matannya, yaitu hadis yang tergolong sahih, hasan dan dha’if. Kemudian dilihat pula dari keadaan tersambung atau terputusnya sanad yang di baginya menjadi hadis musnad, muttasil, marfu’, mauquf, mursal, al munqati. Selanjutnya dilihat pula dari keadaan kualitas matannya.

5.    Model penelitian lainnya
Selanjutnya, terdapat pula model penelitian hadis yang di arahkan pada fokus kajian aspek tertentu saja misalnya Rifa’ah Fauzi Abd Muthalib pada tahun 1981, meneliti perkembangan hadis pada tahun ke dua hijriah. Selanjutnya Mahmud Abu Rayyah melalui telaah kritis terhadap hadis Nabi SAW. Dan masih banyak ulama-Ulama lain yang meneliti hadis dengan mengrahkan pada aspek tertentu saja.
Dalam masa itu ada pula yang menyusun buku-buku hadis dengan mengambil bahan-bahan pada penelitian tersebut di atas. Berdasarkan pada hasil penelitian tersebut, maka kini ilmu hadis tumbuh menjadi salah satu di siplin ilmu keislaman.



§  Manna Kholil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur-an, Pustaka Litera Antarnusa 2007,
§  Dr. Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’i,CV. Pustaka Setia, 2002, diterjemahkan dari kitab Al-Bidayah Fi At-Tafsir Al-Maudhu’i.

1 comment:

  1. Prediksi Togel Singapura Oleh Mbah Jambrong Yang Sudah Di Kalkulasikan.. Baca disini Prediksi togel singapura mbah jambrong

    ReplyDelete